Wacana Buaya Riska Balik ke Bontang

BKSDA Kaltim Sarankan Konservasi Ex Situ untuk Buaya Riska

Menurut Deny, dua hal tersebut merupakan solusi yang disebut dengan Konservasi Ex Situ, yang telah diatur dalam peraturan Kementerian Lingkungan Hidup

Penulis: Muhammad Ridwan | Editor: Budi Susilo
TRIBUNKALTIM.CO/MUHAMMAD RIDWAN
Kepala Sub Bagian Tata Usaha BKSDA Kaltim Deny Mardiono dalam rapat dengar pendapat, bersama DPRD, TNK dan Pemkot Bontang, Selasa (14/11/2023). Lantaran secara khusus, jika pilihannya adalah penangkaran tidak diperkenankan adanya peragaan. 

TRIBUNKALTIM.CO, BONTANG - Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) memberikan dua pilihan, jika Pemerintah Kota Bontang ingin membawa pulang Buaya Riska dari penangkaran Teritip, Balikpapan. Yaitu Penangkaran atau konservasi.

Opsi tersebut, kata Kepala Sub Bagian Tata Usaha BKSDA Kaltim, Deny Mardiono juga telah disampaikan saat pihaknya diundang Pj Gubernur Kalimantan Timur Akmal Malik, untuk berdiskusi pada 27 Oktober lalu.

Menurut Deny, dua hal tersebut merupakan solusi yang disebut dengan Konservasi Ex Situ, yang telah diatur dalam peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Untuk penangkaran di aturan pada Peraturan Menteri KLHK P19 Tahun 2013.

Baca juga: Inilah Alasan Buaya Riska Akan Dikembalikan ke Habitatnya di Sungai Guntung Bontang

Kemudian untuk Konservasi, di aturan dalam Permen KLHK Nomor 22 tahun 2019.

"Silakan yang mana mau ditempuh," kata Denny dalam rapat dengar pendapat DPRD Bontang, Selasa (14/11/2023).

Ia menjelaskan, dari dua opsi itu yang paling berpeluang adalah pola konservasi.

Hal tersebut juga sudah menjadi kesimpulan dari hasil pertemuan dengan Akmal Malik.

Lantaran secara khusus, jika pilihannya adalah penangkaran tidak diperkenankan adanya peragaan.

Baca juga: 3 Lokasi Disurvei Pemkot untuk Rencana Habitat Buaya Riska di Bontang 

"Jadi penangkaran ini murni pengembang biakan saja," bebernya.

Sementara jika bentuknya adalah lembaga konservasi diizinkan ada kegiatan yang sifatnya interaksi, tetapi dalam batas tertentu.

"Maksudnya peragaan sesuai standar. Tidak dibolehkan dicium (buaya) atau dielus-elus dan sebagainya,"bebernya.

Menurut Denny, hal tersebut diatur secara ketat atas dasar keamanan dan keselamatan manusia. Pasalnya, buaya adalah satwa liar yang memiliki sifat predator dan hal itu tidak akan hilang.

Kalau kita memberi peluang kepada pengelola lembaga konservasi untuk melakukan peragaan, seperti mencium itu sama saja menyerahkan nyawa orang.

"Siapa yang akan menjamin?, namanya satwa liar pasti punya sifat buas. Itu tidak akan hilang," bebernya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved