Tribun Kaltim Hari Ini

Cerita Warga Kelurahan Karang Balik Tarakan Alami Longsor Kedua Setelah Tahun 1995

Longsor yang terjadi di RT 4 Kelurahan Karang Balik Kota Tarakan pekan lalu diprediksi bisa kembali terulang jika curah hujan cukup tinggi.

Penulis: Jino Prayudi Kartono | Editor: Mathias Masan Ola
TRIBUNKALTARA.COM/ANDI PAUSIAH
PENAMPAKAN DARI ATAS - Kondisi longsor dan penampakan dari atas lereng menunggu sentuhan pemerintah. 

TRIBUNKALTIM.CO, TARAKAN - Longsor yang terjadi di RT 4 Kelurahan Karang Balik Kota Tarakan pekan lalu diprediksi bisa kembali terulang jika curah hujan cukup tinggi.

Warga yang yang mendiami wilayah TKP longsor cukup was-was tiap kali hujan mengguyur.

Siring menjadi solusi sementara namun untuk membangun siring butuh biaya besar.

Baca juga: Sejarah 4 April: Kecelakaan Kereta Api Malabar 86 Akibat Tanah Longsor Tepat 10 Tahun yang Lalu

Abdul Rahman, warga yang tinggal hanya berjarak satu sampai dua meter dari lokasi longsor menjelaskan untuk membangun siring setidaknya butuh minimal Rp50 juta untuk pembangunan awal.

Namun nilai ini diperkirakan masih sedikit. Jika saja dia memiliki uang Rp100 juta, dia pasti akan menyiring lokasi longsor.

Dia mengulas bagaimana longsor terjadi persis di belakang rumahnya pada 18 April 2024 pukul 07.00 Wita.

Bersamaan saat itu terjadi hujan deras dengan intensitasnya cukup tinggi. Dia juga mengakui wilayah Kelurahan Karang Balik curah hujan yang terjadi cukup tinggi.

“Air mengalir di pipa cukup tinggi. Ini juga faktor yang membuat keropos tanahnya tergerus sampai tidak bisa menahan,” ujarnya.

Baca juga: Hujan Deras, Dua Rumah di Kelurahan Damai Balikpapan Rusak Akibat Tanah Longsor

Adapun pipa yang mengalirkan air dimaksud adalah pipa pembuangan warga dan juga aliran air drainase di daerah lereng. Sebenarnya, ada pohon bambu yang sudah tertanam sejak lama. Bahkan di area lereng longsoran cukup banyak sampai ke bawah.

Namun, karena bambu berakar serabut, bukan berakar tunggang tak mampu menahan muatan air dalam tanah dan mempertahankan kepadatan tanah di lereng.

Padahal jika dilihat, tanah yang ada di lereng istilahnya warga di sana menyebutnya tanah gunung.

“Tanahnya ini tanah asli, cuma karena ada arus air, jadi terus mengikis akhirnya di bawah bambu tergerus, ibaratnya bambu berdiri hanya sebelah kakinya. Memang tanda-tanda mau longsor itu sudah lama. Ini kan dari tiang rumah sudah banyak lari. Saat kejadian, bambunya langsung terangkat turun ke bawah,” ujarnya.

Sebenarnya cukup banyak bambu di area lereng menopang. Ada ratusan batang bambu tumbuh di atas lereng. Hanya saja, kondisinya air terus mengalir dari atas dan minim pepohonan besar.

Baca juga: Tinjau Kampung Buyung-buyung dan Pilanjau, BPBD Berau Ingatkan Warga Waspadai Longsor dan Banjir

Saat dia berusia 13 tahun pernah menjadi saksi bencana yang menimpa salah satu rumah. Ini adalah longsor kedua setelah cukup lama kejadian ini tak pernah terjadi. Yang tertimpa di area dapur diperkirakan terjadi 1995-an.

Abdul Rahman sendiri mengakui sudah tinggal di rumah itu sejak kelas 2 SD. Perkiraan sekitar usia 8 tahun. Artinya rumahnya sudah dibangun sang ayah sejak kurang lebih tahun 1990-an.

Halaman
12
Sumber: Tribun kaltara
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved