Sejarah

Sejarah 28 April: Hari Puisi Nasional, Diperingati untuk Mengenang Wafatnya Sastrawan Indonesia

Hari Puisi Nasional merupakan peringatan nasional Indonesia yang diperingati setiap 28 April.

Penulis: Tribun Kaltim | Editor: Nisa Zakiyah
Education - Seattle PI
Hari Puisi Nasional - Ilustrasi. Sejarah 28 April: Hari Puisi Nasional, diperingati untuk mengenang wafatnya sastrawan Indonesia. 

TRIBUNKALTIM.CO - Hari Puisi Nasional merupakan peringatan nasional Indonesia yang diperingati setiap 28 April.

Hari ini diperingati untuk mengenang wafatnya penyair kenamaan, Chairil Anwar, pada 28 April 1949.

Melansir berbagai sumber, diketahui Chairil Anwar berperan penting dalam perkembangan sastra Indonesia.

Baca juga: Sejarah 26 April: Hari Wafatnya Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional

Karya-karyanya telah membawa pembaruan dalam kesusasteraan Indonesia.

Ia merupakan pelopor angkatan kesusasteraan baru yang disebut Angkatan 45.

Secara garis besar, ciri-ciri angkatan 45 adalah penghematan bahasa, kebebasan pribadi, individualisme, berpikir lebih kritis, dan dinamis.

Chairil Anwar membawa aliran baru yang disebut ekspresionisme, suatu aliran seni yang menghendaki kedekatan pada sumber asal pikiran dan keinsyafan.

Karya-karyanya masih banyak dinikmati hingga kini dan telah mempengaruhi banyak sastrawan dan seniman di Indonesia.

lihat fotoPenyair Chairil Anwar yang identik dengan peringatan Hari Puisi Nasional.
Penyair Chairil Anwar yang identik dengan peringatan Hari Puisi Nasional.

Chairil Anwar telah melahirkan 96 karya, termasuk 70 puisi

Semua karya dari Chairil Anwar sudah dikompilasikan dalam bentuk tiga buku.

Di mana ketiga buku tersebut adalah Deru Campur Debu yang rilis pada tahun 1949.

Lalu ada buku dengan judul Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus yang dirilis pada tahun 1949.

Dan buku dengan judul Tiga Menguak Takdir yang merupakan kumpulan puisi bersama Asrul Sani dan Rivai Apin yang dirilis pada tahun 1950.

Perlu diketahui juga jika buku tersebut juga sudah diterjemahkan dalam bentuk bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol.

Baca juga: Sejarah Terbentuknya Sheila On 7 yang Ternyata Berasal dari Nama Ini

Sosok Chairil Anwar

Chairil Anwa adalah seorang penyair yang lahir di Medan pada tanggal 26 Juli 2006.

Ia adalah putra dari mantan Bupati Indragiri Riau. Selain itu, Chairil Anwar juga masih memiliki keluarga Sutan Syahrir.

Yang mana Sutan Syahrir adalah seorang Perdana Menteri pertama di Indonesia.

Chairil Anwar mengenyam Pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) yang selanjutnya di MULO namun tak sampai tamat.

Meski memiliki latar belakang Pendidikan yang cukup terbatas, namun Chairil Anwar memiliki kemampuan untuk menguasai tiga Bahasa sekaligus yaitu Bahasa Inggris, Belanda dan Bahasa Jerman.

Awal mula Chairil Anwar mengenal dunia sastra adalah ketika ia memasuki usia 19 tahun.

Akan tetapi, meski dirinya memiliki banyak karya yang sudah dibuat, nama Chairil Anwar mulai dikenal adalah ketika tulisannya dimuat pada Majalah Nisan di tahun 1942.

Seiring berjalannya waktu, Chairil Anwar menciptakan berbagai macam karya yang sampai saat ini masih terus dikenal.

Misalnya seperti karya puisi dengan judul “Aku” dan “Krawang Bekasi”.

Bisa dibilang jika Wanita adalah dunia kedua bagi Chairil Anwar dan sastra tetap menjadi yang pertama bagi dirinya.

Dalam kehidupannya, nenek merupakan orang terdekat dalam kehidupan Chairil Anwar.

Dalam perjalanan hidupnya, Chairil Anwar memang pernah menjalin hubungan dengan banyak Wanita.

Namun hanya nama Hapsah yang pernah dinikahi oleh Chairil Anwar meskipun hubungan rumah tangga mereka tak berlangsung dalam waktu lama.

Perceraian dalam hubungan rumah tangga sang penyair puisi “Aku” tak lain karena gaya hidup dari Chairil Anwar yang tak berubah.

Bahkan, ketika Chairil Anwar sudah memiliki istri dan seorang anak.

Pernikahan Chairil Anwar dan Hapsah dikaruniai seorang putri Bernama Evawani Chairil Anwar yang saat ini memilih profesi sebagai seorang notaris.

Chairil Anwar meninggal dunia memasuki usia yang belum genap 27 tahun.

Meski ada beberapa versi yang menyebabkan kematiannya.

Namun penyakit TBC yang paling pasti menyebabkan Chairil Anwar meninggal dunia.

Sebagai bentuk penghormatan, dibangunlah patung dada Chairil Anwar di Kawasan Jakarta dan hari dimana dirinya meninggal dunia diperingati sebagai Hari Chairil Anwar oleh para pengagumnya.

Baca juga: Sejarah 24 April: Hari Angkutan Nasional, Ternyata Sudah Ada Sebelum Indonesia Merdeka

10 Karya Puisi Karya Chairil Anwar

Berikut ini adalah beberapa contoh puisi Chairil Anwar yang begitu popular.

1. Aku

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.

Baca juga: Sejarah 19 April: Hari Pertahanan Sipil alias Hansip yang Kini Sudah Berganti Nama

2. Sendiri

Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya
Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama
Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!

3. Sia-sia

Penghabisan kali itu kau datang
Membawaku karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
Darah dan suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: Untukmu.
Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.
Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

4. Krawang-Bekasi

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi.

5. Penghidupan

Lautan maha dalam
Mukul dentur selama
Nguji tenaga pematang kita
Mukul dentur selama
Hingga hancur remuk redam Kurnia Bahagia
Kecil setumpuk
Sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk.

6. Tak Sepadan

Aku kira,
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros.
Dikutuk sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa apa
Aku terpanggang tinggal rangka.

7. Suara Malam

Dunia badai dan topan
Manusia mengingatkan “Kebakaran di Hutan”*
Jadi ke mana
Untuk damai dan reda?
Mati.
Barang kali ini diam kaku saja
Dengan ketenangan selama bersatu
Mengatasi suka dan duka
Kekebalan terhadap debu dan nafsu.
Berbaring tak sedar
Seperti kapal pecah di dasar lautan
Jemu dipukul ombak besar.
Atau ini.
Peleburan dalam Tiada
Dan sekali akan menghadap cahaya.
Ya Allah! Badanku terbakar – segala samar.
Aku sudah melewati batas.
Kembali? Pintu tertutup dengan keras.

8. Nisan

Untuk nenekanda,
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta.

9. Ajakan

Ida
Menembus sudah caya
Udara tebal kabut
Kaca hitam lumut
Pecah pencar sekarang
Di ruang legah lapang
Mari ria lagi
Tujuh belas tahun kembali
Bersepeda sama gandengan
Kita jalani ini jalan
Ria bahagia
Tak acuh apa-apa
Gembira girang
Biar hujan datang
Kita mandi-basahkan diri
Tahu pasti sebentar kering lagi.

10. Pelarian

I
Tak tertahan lagi
Remang miang sengketa di sini
Dalam lari
Dihempaskannya pintu keras tak berhingga.
Hancur-luluh sepi seketika
Dan paduan dua jiwa.
II
Dari kelam ke malam
Tertawa-meringis malam menerimanya
Ini batu baru tercampung dalam gelita
“Mau apa? Rayu dan pelupa,
Aku ada! Pilih saja!
Bujuk dibeli?
Atau sungai sunyi?
Mari! Mari!
Turut saja!”
Tak kuasa …terengkam
Ia dicengkam malam. (*)

Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Kaltim dan Google News Tribun Kaltim untuk pembaruan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved