Berita Samarinda Tekini

FISIPOL UWGM Samarinda Gelar Seminar Nasional dengan Pembicara Dosen UGM Dr Mada Sukmajati

Seminar Nasional yang digelar oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) UWGM Samarinda diselenggarakan di ruang serbaguna Kampus Biru.

Penulis: Mohammad Fairoussaniy | Editor: Nur Pratama
TribunKaltim.co/Mohammad Fairoussaniy
Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Mada Sukmajati saat hadir dalam seminar nasional di Universitas Widya Gama Mahakam (UWGM) Samarinda, Selasa (2/7/2024). 

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Seminar Nasional yang digelar oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) UWGM Samarinda diselenggarakan di ruang serbaguna Kampus Biru, Jalan Wahid Hasyim II.

Jelang Pilkada serentak 2024 muncul dalam kerangka pemikiran pemilih anti intelektualisme yang dapat menimbulkan kondisi pragmatisme.

Hal ini diucapkan, Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Mada Sukmajati saat hadir dalam seminar nasional di Universitas Widya Gama Mahakam (UWGM) Samarinda, Selasa (2/7/2024).

Mahasiswa(i) kalangan akademisi serta beberapa aktivis kampus membahas tema “Menjaga Kualitas Demokrasi dalam Pilkada 2025”.

Dalam pemaparannya, Dr. Mada mengungkapkan upaya untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang luber dan jurdil termasuk di dalamnya adalah Pilkada ini perlu terus dilakukan terutama di kalangan civitas akademika.

Baca juga: Progres Proyek Normalisasi Sungai Karang Mumus Samarinda, Warga Mulai Bongkar Mandiri

Penyakit lama memang belum terobati anti-intelektual.

Tak hanya di Indonesia, negara lain pun demikian, sehingga ia berharap jangan sampai bangsa ini menjadi yang malas berdiskusi secara terbuka.

Perbedaan pendapat masih sering diselesaikan selesaikan lewat jalur lain.

Dalam konteks Pilkada, bisa memanfaatkan aparat negara atau menggunakan ideologis agama sebagai tukang pukul.

Pendeknya, berat kepala kalau harus berdebat dengan data.

Sehingga pemilih gagap bertingkah sebagai intelektual dan memilih jalan pintas kala berhadapan dengan posisi yang berseberangan.

“Apalagi di tengah gelombang anti intelektualisme yang sekarang ini sedang melanda, tidak hanya Indonesia sebenarnya, juga banyak di belahan dunia yang lain.

Gelombang pragmatisme, apalagi sudah tidak peduli lagi dengan ilmu pengetahuan, seperti ada buku judulnya matinya kebakaran, orang merasa kalau sudah Googling itu sudah pintar gitu ya, tanpa harus dia belajar secara serius dan seterusnya dan lain sebagainya. Nah disitulah kemudian benteng terakhir dari intelektualisme,” beber Dr. Mada.

Dalam kalangan civitas akademika, tentu mengkhawatirkan tantangan terbesar dalam Pilkada 2024 di Indonesia, yakni ketidak percayaan pada sistem pemerintahan.

Ketidak percayaan terhadap pejabat dan calon pemimpin yang dianggap tidak dapat mengubah keadaan membuat pemilih memilih pendekatan pragmatis.

Sehingga berpikir bahwa menerima uang adalah satu-satunya keuntungan langsung dari pemilihan.

Minimnya literasi politik juga berkontribusi terhadap kurangnya kesadaran tentang dampak jangka panjang dari memilih berdasarkan uang.

Tanpa pendidikan politik yang memadai dan akses terbatas terhadap informasi politik yang seimbang dan berkualitas, terutama di pedesaan dan daerah terpencil, banyak pemilih tidak menyadari bahayanya.

“Kita akan berharap tidak larut di dalam gelombang-gelombang tadi dan disitulah peran civitas akademika menjadi garda terdepan dalam mempertahankan apa yang dinamakan intelektualisme peradaban, akal sehat dan seterusnya. Ya jadi saya sangat berterima kasih mengapresiasi forum seperti ini, karena ada anak–anak muda disini, kaum milenial yang toh tongkat estafet kepemimpinan kita baik tingkat nasional maupun daerah akan diberikan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia, Kaltim juga Samarinda khususnya ada di kalian (kaum muda),” sambung Dr. Mada.

*Indeks Kerawanan di Pilkada 2024 yang Kompleks Jadi Tantangan Penyelenggara*

Dr. Mada juga menyinggung beberapa problem yang akan dihadapi dalam demokrasi Pilkada 2024 akan sangat kompleks.

Dalam edisi tiga edisi Pemilu sebelumnya sudah berkembang politik uang, sejak Pemilu 2014, semakin brutal di tahun 2019, dan makin brutal lagi di tahun 2024 kemarin.

Trend yang sama sebenarnya juga sedang dan akan terjadi di Pilkada nanti terkait dengan politik uang.

Indeks Kerawanan akan kompleks tak hanya politik uang, tetapi tantangan yang lain juga harus siap dihadapi seperti penggunaan aparat negara yang tidak netral juga jadi persoalan.

“Menjelang Pilkada kita Bawaslu sudah membuat indeks kerawanan pemilu dan sebentar lagi juga akan di launching sekitar Agustus Kalau saya tidak salah menangkap informasi, akan di launching juga indeks kerawanan Pilkada 2024, mengidentifikasi selain politik uang itu ada kerawanan soal netralitas Aparatur Negara, ya ASN TNI–Polri,” jelasnya.

Belum lagi politik identitas yang beberapa episode Pemilu, baik Pilpres, Pileg dan Pilkada sangat lekat digembar–gemborkan menjadi suatu sekat antar pemilih, sehingga memicu perbedaan yang runcing satu dengan lainnya.

Sehingga masyarakat, sebagai pemilih, hanya mementingkan yang ia dukung, dan memilih saling adu argumen dengan posisi yang berseberangan.

“Kemudian juga berkembangnya politik identitas, dan beberapa tantangan lain yang sebagian besar sebenarnya terlihat di Pemilu 2024 yang lalu dan tentu saja menjelang perhelatan Pilkada ini kita berharap hal-hal seperti itu bisa kita rem. Ya, bisa kita antisipasi karena seperti pepatah mengatakan, hanya keledai yang jatuh di lubang yang sama dua kali,” pungkas Dr. Mada.

Sebagai informasi, acara ini dihadiri langsung Rektor UWGM Samarinda, Prof. Husaini Usman, Rektor Universitas Borneo Tarakan (UBT) Kaltara, Prof. Adri Patton dan Dekan FISIPOL UWGM Samarinda, Dr. Abdul Rofik yang sempat juga menjadi pembicara dalam forum.(*)

Ikuti berita populer lainnya di saluran WhatsApp Tribun Kaltim

 

 

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved