Berita Nasional Terkini

Keras Sindiran PDIP ke Presiden, Jokowi Tabrak Etika dan Moral Demi Anak, Menantu Bahkan Cucu

PDI Perjuangan (PDIP) kembali melontarkan sindiran keras kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).

TWITTER/@MataNajwa
Presiden Joko Widodo bersama keluarga. PDIP menyinggung soal kiprah Jokowi di perpolitikan Tanah Air. 

TRIBUNKALTIM.CO - PDI Perjuangan (PDIP) kembali melontarkan sindiran keras kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).

PDIP terang-terangan mengungkapkan Jokowi telah mencetak sejarah dalam perpolitikan Indonesia.

Perpolitikan yang dimaksud PDIP, yakni Jokowi aktif mendorong anggota keluarganya untuk maju dalam kancah politik Tanah Air.

Hal ini diungkapkan Ketua DPP PDIP, Djarot Saiful Hidayat.

Baca juga: Tim Hukum PDIP Bongkar Hal yang Buat Nyali Kusnadi Ciut, Hingga Pasrahkan Barang Hasto Digeledah KPK

Baca juga: Prediksi KBM vs PDIP-PKS di Pilkada Bogor 2024 dan Hasil Survei Dua Lembaga

Mulanya, Djarot menanggapi menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution yang mendapatkan dukungan dari banyak parpol untuk maju di Pilkada Sumut 2024.

Bahkan, Bobby bisa jadi melawan kotak kosong lantaran sudah didukung tujuh partai politik.

Djarot mengaku PDIP tidak mau nantinya Bobby dibiarkan melawan kotak kosong di Pilkada Sumut 2024.

Dia menyatakan bahwa dukungan besar kepada Bobby tidak terlepas dari peran Jokowi.

"Kita melihat sejarah yang perlu dicatat sejarah perpolitikan yang perlu kita catat bersama, sejak masa Pak Jokowi inilah anak-anak dan menantu sama keluarga terdekatnya itu terlibat aktif di dalam politik," kata Djarot di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (11/7/2024).

Sepanjang Indonesia berdiri, kata Djarot, tidak ada satu pun presiden yang pernah memajukkan keluarga dekatnya seperti Jokowi.

Tidak hanya anak, Jokowi juga memajukan menantu hingga saudaranya untuk menduduki posisi penting.

"Sejak presiden Soekarno, Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Gus Dur, Bu Mega, Pak SBY, baru kali ini. Mulai dari anaknya, menantunya, mungkin cucunya, mungkin saudaranya akan disiapkan," ungkapnya.

Baca juga: PDIP Sebut Jokowi Terlalu Percaya Diri Imbas tak Jadi Berkantor di IKN Bulan Juli 2024

Parahnya, sambungnya, Jokowi memajukkan keluarga terdekatnya dengan cara melawan prosedur demokrasi.

Dia bilang, eks Gubernur DKI Jakarta itu juga tidak segan menabrak etika dan moral.

"Di dalam demokrasi prosedural oke tapi di dalam demokrasi dalam politik itu ada etika dan moral, sepanjang itu memenuhi aturan silakan tapi begitu aturan itu direkayasa ini kalau menurut saya cacat etika cacat moral. Ini pendidikan politik yang kurang baik, zaman Pak Harto selama sekian puluh tahun itu tidak pernah itu anak-anaknya terlibat politik praktis cuma dia di bisnis, Sekarang ini politik iya bisnis iya," pungkasnya.

Sebagai informasi, keluarga terdekat Presiden Jokowi memang sudah dan akan menduduki jabatan strategis di tanah air.

Mereka menduduki jabatan itu ketika Jokowi masih aktif menjadi presiden RI.

Di antaranya, putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden RI terpilih 2024-2029.

Lalu, putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep yang santer diisukan dimajukan di Pilkada Jakarta atau Jawa Barat.

Kemudian, menantu Presiden Jokowi yang juga Wali Kota Medan, Bobby Nasution yang dimajukkan di Pilkada Sumatera Utara 2024.

Bahayanya Pemilu Tanpa Didasar Moral dan Etik

Baca juga: DPD PDIP Kaltim Tegaskan Tetap Usung Edi–Rendi di Pilkada Kukar

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menjelaskan soal bahayanya gelaran pemilihan umum (pemilu) jika hanya berdasarkan ketentuan hukum, tanpa memandang pentingnya etika.

Peneliti Perludem, Kahfi Adlan Hafiz mulanya menyinggung sebuah buku berjudul 'How Democracies Die', yang di antaranya menerangkan pemilu sebagai ajang pemilihan pemimpin dengan mekanisme demokrasi bisa menyebabkan keruntuhan negara demokrasi itu sendiri.

"Di mana negara demokrasi runtuh oleh orang yang dipilih melalui mekanisme demokrasi yang namanya pemilu," ucap Kahfi, dalam diskusi publik bertajuk 'Politik Dinasti dan Putusan MA: Apa Respon Publik dan Media?', yang digelar secara virtual, pada Jumat (14/6/2024).

"Kenapa runtuh? Karena mereka hanya bersandarkan hanya pada ketentuan hukum, bukan ketentuan etik, artinya batasan-batasan etik itu tidak digunakan untuk kemudian membatasi diri untuk melakukan apapun yang bisa mempertahankan kekuasaannya," tambahnya.

Kahfi mencotohkan peristiwa yang dinilai tidak melanggar hukum, tapi mengesampingkan pentingnya etika.

Misalnya, genosida yang dilakukan Jerman era kepemimpinan Adolf Hitler dan Israel saat ini.

"Itu juga pakai landasan hukum, tetapi landasan etikanya kan yang hilang," ucapnya.

Ia menuturkan, saat ini ada banyak sekali problem etika, yang bukan hanya terjadi di pemerintahan, tapi juga di penyelenggara pemilu.

Baca juga: DPD PDIP Kaltim Tegaskan Tetap Usung Edi–Rendi di Pilkada Kukar

Contohnya, ketika anggota KPU RI hampir semuanya mendapatkan sanksi etik peringatan keras dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI.

"Termasuk, misalnya, oke, memang keluarga Presiden atau keluarga politik itu tidak dilarang untuk maju dalam konteks hukum, tapi dalam konteks etik harusnya itu yang dipikirkan, karena dia akan membawa pemerintahan atau pemilu itu penuh dengan konflik kepentingan. Rawan sekali ada yang namanya nepotisme dan favoritisme," kata Kahfi.

"Jadi, itu yang kemudian jadi berbahaya, sehingga publik harus menimbang betul bahwa politik dinasti ini enggak akan berhasil di negara demokrasi dan negara demokrasi tidak akan berhasil kalau dijalankan dengan politik dinasti itu sendiri," kata Kahfi.

MA Ubah Aturan Calon Gubernur jadi 30 Tahun

MA mengabulkan permohonan Partai Garuda terkait aturan syarat batas minimal usia calon kepala daerah.

Hal tersebut ditegaskan MA melalui Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 yang diputus pada Rabu (29/5/2024).

"Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon: Partai Garda Republik Indonesia (Partai Garuda)," demikian amar putusan tersebut sebagaimana tersedia di laman resmi MA.

MA menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2016.

Baca juga: PDIP Jajaki Koalisi dengan PPP di Pilkada Kaltim 2024, Kans Isran Noor Jadi Penantang Rudy Masud

Melalui putusan tersebut, MA mengamanatkan KPU untuk mengubah Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU, dari yang semula mensyaratkan calon gubernur (cagub) dan wakil cagub minimal berusia 30 tahun terhitung sejak penetapan pasangan calon menjadi setelah pelantikan calon terpilih.

Adapun Pasal 4 Ayat (1) huruf d PKPU yang dinyatakan bertentangan tersebut berbunyi:

"berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon",

Sedangkan MA mengubah Pasal a quo menjadi:

"....berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih".

Selanjutnya, MA memerintahkan KPU RI untuk mencabut Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota tersebut.

Putusan MA ini diduga menjadi karpet merah putra Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, untuk maju di pemilihan gubernur (Pilgub) 2024 nanti.

Sebelumnya, MK juga mengabulkan gugatan terkait batas usia capres-cawapres oleh mahasiswa Universitas Surakarta (Unsa), Almas Tsaqibbirru pada 16 Oktober 2023 lalu.

Baca juga: Sinyal PDIP Mulai Melunak ke Klan Jokowi, Puan Buka Opsi Dukung Kaesang dan Bobby di Pilkada 2024

Pada gugatan ini, pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Anwar Usman, di dalam persidangan, Senin (16/10/2023).

Sehingga Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi:

"Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."

Namun, putusan tersebut kontroversial.

Bahkan, dinilai tidak sah oleh sejumlah pakar.

Sebab, dalam putusan itu kental akan dugaan konflik kepentingan antara Anwar Usman dengan keponakannya, yakni putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.

Putusan tersebut diduga memuluskan langkah Gibran maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024. (*)

Ikuti berita populer lainnya di Google News Tribun Kaltim

Ikuti berita populer lainnya di saluran WhatsApp Tribun Kaltim

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Elite PDIP Sebut Jokowi Cetak Sejarah Jadi Presiden yang Gencar Majukan Keluarga ke Politik Aktif

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved