Berita Nasional Terkini

Beda dengan Perintah Gibran, Mayoritas Guru Ingin PPDB Zonasi Dipertahankan dan Setuju UN Dihapus

Beda dengan perintah Wapres Gibran, mayoritas guru ingin PPDB Zonasi dipertahankan dan setuju UN dihapus.

TRIBUNKALTIM.CO/NURILA FIRDAUS
ILUSTRASI- SMPN 1 Sangatta Utara, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Beda dengan perintah Wapres Gibran Rakabuming Raka, mayoritas guru ingin PPDB Zonasi dipertahankan dan setuju UN dihapus. 

TRIBUNKALTIM.CO - Beda dengan perintah Wapres Gibran, mayoritas guru ingin PPDB Zonasi dipertahankan dan setuju UN dihapus.

Seperti diketahui, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka meminta Mendikdasmen Prof Abdul Mu'ti untuk menghapus PPDB Zonasi.

Namun, dari hasil survei Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukkan, 87,6 persen orang setuju Ujian Nasional (UN) dihapus dan 72,3 persen setuju sistem zonasi dipertahankan. 

Baca juga: Gibran Minta PPDB Zonasi Dihapus, Wakil Ketua Komisi X DPR RI: Masalah Bukan pada Kebijakannya

Survei ini dilakukan pada 912 guru yang terdiri dari 58,9 persen guru di jenjang SMP/MTs, 25 persen guru SMA/MA/SMK, 10,1 persen guru SD/MI, dan 6 persen guru SLB di 15 provinsi.

Selain itu, survei FSGI melibatkan sekitar 56,4 persen responden guru perempuan dan 43,6 persen guru laki-laki menggunakan Google Forms pada 17-22 November 2024.

Alasan responden guru setuju UN dihapus

Dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Minggu (24/11/2024), 87,6 persen responden guru yang setuju UN dihapus memberikan sejumlah alasan.

Pertama, pelaksanaan UN sebagai penentu kelulusan dinilai menimbulkan banyak kecurangan sistematis, terstruktur, dan masif di masa lalu.

Responden menilai, pelaksanaan UN sebagai penentu kelulusan siswa juga menimbulkan tekanan psikis pada peserta didik.

Alasan lainnya, UN dinilai tidak tepat menjadi penentu kelulusan peserta didik ketika standar pendidikan di setiap sekolah dan daerah berbeda-beda.

Beberapa guru lainnya beranggapan, UN dapat digunakan sebagai parameter pemetaan kualitas pendidikan.

Namun, dengan catatan tidak dilakukan setiap tahun dan tidak semua sekolah atau hanya mengambil sekolah sebagai sampel.

Di sisi lain, kondisi dan kualitas sekolah belum merata, sehingga kebijakan UN sebagai penentu kelulusan menjadi tidak adil.

Untuk itu, saat kualitas semua sekolah di Indonesia sudah rata, standardisasi pendidikan nasional melalui kebijakan UN bisa dilaksanakan, sehingga memenuhi rasa keadilan bagi semua.

Tidak hanya itu, alasan lainnya, mayoritas guru menilai perlu adanya evaluasi Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) yang sudah diterapkan sebagai pengganti UN dalam lima tahun terakhir.

"FSGI mendorong Presiden Prabowo Subianto tidak buru-buru menghidupkan UN kembali, tetapi meminta presiden memerintahkan evaluasi dulu kebijakan ANBK yang sudah diterapkan sebagai pengganti UN di masa Mendikbud Ristek Nadiem Makarim," imbau FSGI.

Baca juga: PPDB Zonasi Dihapus Sesuai Perintah Wapres Gibran? Mendikdasmen Ungkap Proses yang Sedang Berjalan

Sistem zonasi dinilai lebih berkeadilan

Sementara itu, sekitar 72,3 persen responden guru yang setuju dengan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi dipertahankan mengungkap beberapa alasannya.

Salah satunya, lebih melindungi peserta didik selama perjalanan dari dan ke sekolah serta menjamin tumbuh kembang anak secara optimal.

Sistem zonasi juga dinilai lebih berkeadilan karena semua anak dengan latar belakang dan kondisi apa pun dapat mengakses sekolah negeri selama kuota masih tersedia.

Terlebih, PPDB tidak hanya melalui jalur zonasi, tetapi juga menyediakan jalur lain seperti prestasi, afirmasi, dan perpindahan tugas orangtua sesuai kondisi peserta didik.

Melalui PPDB zonasi, daerah turut terdorong untuk menambah sekolah negeri baru guna memenuhi hak atas pendidikan anak-anak di wilayahnya.

Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo mengatakan, akar masalah sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya bukan karena ada kecurangan atau tidak.

Namun, persoalan ini berasal dari kemauan pemerintah daerah untuk memenuhi hak atas pendidikan anak-anak di wilayahnya.

Heru menilai, seperti apa pun sistemnya, jika pemerintah daerah tak pernah membangun sekolah negeri baru di kelurahan atau kecamatan yang tidak memiliki sekolah negeri, permasalahan yang dihadapi akan tetap sama.

"Terutama SMAN dan SMKN yang jumlahnya minim hampir di seluruh provinsi di Indonesia, maka permasalahan yang dihadapi akan tetap sama, yaitu hanya sekitar 30-40 persen peserta didik yang dapat bersekolah di sekolah negeri," ujar Heru.

Baca juga: Jawaban Mendikdasmen soal Perintah Wapres Gibran agar PPDB Zonasi Dihapus, Paling Lambat Maret 2025

Karenanya, jika PPDB sistem zonasi diganti, belum tentu menjamin mayoritas anak Indonesia usia sekolah akan tertampung di sekolah negeri, mengingat jumlahnya yang memang terbatas.

Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti menyampaikan, sistem PPDB sebelumnya nyaris tak ada gejolak karena diserahkan kepada mekanisme pasar.

Sistem PPDB sebelumnya juga dianggap lebih menguntungkan kelompok tertentu yang mampu secara ekonomi.

Bahkan, hasil penelitian Balitbang Kemendikbud selama delapan tahun menunjukkan, anak-anak dari keluarga tidak mampu justru mengeluarkan biaya pendidikan lebih tinggi karena tak berhasil menembus sekolah negeri lantaran kalah nilai.

"Sistem PPDB zonasi justru menghendaki kehadiran negara agar sekolah negeri dapat diakses oleh siapa pun, baik pintar atau tidak, kaya atau tidak, dan seterusnya. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi RI," pungkas Retno. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com 

Ikuti berita populer lainnya di Google News, Channel WA, dan Telegram

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved