Berita Kaltara Terkini

11 Tahun Kerja di Perbatasan, dr Yuanti Dipecat, Alasan DPRD Nunukan Minta Statusnya Dikembalikan

11 tahun mengabdi di perbatasan, dr Yuanti malah dipecat Pemkab. DRPD Nunukan minta dr Yuanti dan 3 dokter lainnya yang dipecat dikembalikan statusnya

Editor: Amalia Husnul A
TribunKaltara.com/Febrianus Felis
DOKTER PERBATASAN DIPECAT - dr Yuanti Yunus Konda saat mengadukan nasibnya yang dipecat sebagai ASN Pemkab Nunukan kepada anggota DPRD Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara), Selasa (20/05/2025) sore. Kanan: Ketua Komisi I DPRD Nunukan saat menerima pengaduan 4 dokter yang dipecat sebagai ASN di Pemkab Nunukan. 11 tahun mengabdi di perbatasan, dr Yuanti malah dipecat Pemkab. DRPD Nunukan minta dr Yuanti dan 3 dokter lainnya yang dipecat dikembalikan statusnya. (TribunKaltara.com/Febrianus Felis) 

TRIBUNKALTIM.CO - Polemik dr Yuanti Yunus Konda dan 3 dokter lainnya yang dipecat Pemkab Nunukan sampai ke telinga DPRD Nunukan

Setelah dipecat, dr Yuanti Yunus Konda yang sudah 11 tahun ini mengabdi sebagai dokter di salah satu Puskesmas yang ada di perbatasan RI mengadukan nasibnya kepada wakil rakyat di DPRD Nunukan.

Kepada DPRD Nunukan, dr Yuanti Yunus Konda mengungkap perjuangannya selama 11 tahun mengabdi di perbatasan Indonesia-Malaysia bahkan izin belajar yang tak kunjung disetujui membuatnya berupaya untuk melanjutkan sekolah dokter spesialis dengan biaya sendiri.

Namun, dr Yuanti Yunus Konda masih terganjat status dokter PNS yang masih terganjal bahkan ia malah dipecat.

Baca juga: Apa Salah Saya? Curhat Pilu Dokter Yuanti Dipecat dari PNS Usai 11 Tahun Mengabdi di Perbatasan RI

Sebelumnya, Pemkab Nunukan memberhentikan 4 orang dokter dengan hormat tidak atas permintaan sendiri.

Empat dokter yang dipecat oleh Pemkab Nunukan tersebut adalah dr Andi Hariyanti, dr Wahyu Rahmad Hariyadie, dr Yuanti Yunus Konda, dan dr Fitriani.

Keputusan untuk mengembalikan status keempat dokter tersebut disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat yang dipimpin oleh Ketua Komisi I DPRD Nunukan, Andi Mulyono.

Rabu (21/5/2025), Andi Mulyono mengatakan, "Kami sepakat meminta kepada pemerintah daerah untuk memulihkan status empat dokter yang sebelumnya diberhentikan."

DOKTER DIPECAT - Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Nunukan, Andi Mulyono pimpin Rapat Dengar Pendapat di Kantor DPRD Nunukan, Selasa (20/05/2025), siang. Rapat membahas nasib 4 dokter yang dipecat Pemkab Nunukan.
DOKTER PERBATASAN DIPECAT - Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Nunukan, Andi Mulyono pimpin Rapat Dengar Pendapat di Kantor DPRD Nunukan, Selasa (20/05/2025), siang. Rapat membahas nasib 4 dokter yang dipecat Pemkab Nunukan. Sudah 11 tahun mengabdi di perbatasan, dr Yuanti malah dipecat Pemkab. DRPD Nunukan minta dr Yuanti dan 3 dokter lainnya yang dipecat dikembalikan statusnya (TribunKaltara.com/Febrianus Felis)

Selanjutnya, Mulyono menegaskan pentingnya kebijakan Pemkab Nunukan yang berpihak pada kebutuhan daerah, bukan sekadar berpegang kaku pada aturan.

"Ketika kita punya hal yang sangat urgen, seperti tenaga dokter. Jangan saklek dengan aturan, kita butuh dokter!.

Ini wilayah perbatasan negara, harus bijak menimbang untung-rugi kebijakan. Melihat aturan pakai kacamata kuda, yang dirugikan itu masyarakat," ucap Mulyono.

Lanjut Mulyono,"Mereka dipecat di tengah keterbatasan tenaga medis, padahal kabupaten ini masih sangat bergantung pada dokter umum dan spesialis," tambahnya.

Anggota DPRD lainnya, Ahmad Triyadi menyebut kejadian pemecatan 4 dokter ini sebagai fenomena luar biasa yang tidak boleh dianggap sepele. 

"Nunukan kekurangan dokter, tapi malah kita dengar kabar pemecatan. Harusnya Dinas Kesehatan bisa harmonis.

Kalau izin belajar dipersulit, kapan rumah sakit bisa terakreditasi?" ujar Ahmad Triyadi.

Ahmad Triyadi menyampaikan bahwa tiga Rumah Sakit Pratama (RSP) di Kabupaten Nunukan masih dalam tahap pengembangan dan sangat membutuhkan dokter spesialis agar bisa lulus akreditasi. 

"Apakah menangani penyakit paru, jantung, bedah cukup pakai dokter umum? Kan tidak bisa begitu," tuturnya.

Hal serupa dikatakan Anggota DPRD Nunukan lainnya Gat Khaleb yang mengkritisi keras sistem yang berjalan di Pemkab Nunukan. 

Ia heran mengapa dokter yang sekolah dengan biaya pribadi justru mendapat ganjaran pemecatan.

"Kabupaten Malinau sekolahkan ratusan dokter pakai uang daerah. Nunukan malah ribut, dokter dibiayai sendiri tapi dipersulit izin belajarnya.

Ini aneh. Ada yang salah dengan mindset kita," ungkapnya.

Gat juga menyebut soal minimnya penghargaan terhadap dokter yang mengabdi di perbatasan.

"Malinau itu untuk dokter spesialis digaji Rp70-80 juta. Di Nunukan, yang kerja di pelosok hanya Rp11 jutaan.

Ini ironis," imbuhnya.

11 Tahun Mengabdi di Perbatasan

Sebelumnya, Selasa (20/05/2025) dr Yuanti Yunus Konda menyampaikan nasibnya yang diberhentikan Pemkab Nunukan kepada DPRD Nunukan.

Air mata dr Yuanti Yunus tak terbendung, dan suaranya sampai bergetar menahan sesak di dada saat menyampaikan curahan hati (curhat) usai dipecat sebagai PNS, setelah 11 mengabdi di pelosok perbatasan RI-Malaysia.

Bahkan, dr Yuanti Yunus dipecat sebagai PNS tanpa diberi kesempatan untuk membela diri.

TRIBUNKALTARA.COM / FELIS
DOKTER KALTARA DIPECAT - Detik-detik dr Yuanti Yunus Konda (kanan) saat tak bisa membendungi air mata di hadapan para Anggota DPRD Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara) usai dipecat sebagai ASN Pemkab Nunukan, Selasa (20/05/2025), sore.
DOKTER PERBATASAN DIPECAT - Detik-detik dr Yuanti Yunus Konda (kanan) saat tak bisa membendungi air mata di hadapan para Anggota DPRD Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara) usai dipecat sebagai ASN Pemkab Nunukan, Selasa (20/05/2025), sore. 11 tahun mengabdi di perbatasan, dr Yuanti malah dipecat Pemkab. DRPD Nunukan minta dr Yuanti dan 3 dokter lainnya yang dipecat dikembalikan statusnya (TRIBUNKALTARA.COM / FELIS)

Di hadapan para anggota DPRD Nunukan yang hadir, ia mengungkap kisah pilu di balik SK (surat keputusan) pemecatannya sebagai ASN pada 26 Maret 2025, yang salinannya dia terima melalui pesan WhatsApp pada 14 April 2025.

"Saya sudah 11 tahun mengabdi, bertugas di daerah perbatasan, tapi akhirnya yang saya dapat hanyalah pemecatan.

Saya bertanya-tanya, apa salah saya? Apakah pengabdian ini tidak berarti?" ucap Yuanti sambil terisak, sesekali mengusap air mata dengan selembar tisu.

Yuanti adalah dokter yang selama ini lama bertugas di Puskesmas Mansalong, Kecamatan Lumbis, wilayah 3T di Kabupaten Nunukan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. 

Terakhir, sebelum menempuh pendidikan dokter spesialis di Universitas Indonesia, Jakarta, dia bertugas di Puskesmas Nunukan.

Selama bertugas, ia harus berjauhan dari keluarga. 

Hanya tinggal berdua bersama anaknya yang masih kecil, sementara sang suami bekerja di Papua.

"Ketika anak saya baru berusia setahun, saya ditugaskan mendampingi akreditasi Puskesmas dari Mansalong ke Sebatik. Saya tidak menolak.

Ketika Covid-19 melanda, saya ikut membantu penanganan meski tempat tugas saya jauh dari kota. Saya lakukan semua dengan ikhlas," kata Yuanti.

Namun impiannya untuk menjadi dokter spesialis justru terbentur statusnya sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil). 

Padahal, sejak tahun 2017 ia telah berulang kali mengajukan izin belajar, namun tak pernah disetujui.

Pada 2022, dengan tekad dan biaya sendiri, ia memutuskan mengambil Spesialis Akupuntur Medis di Universitas Indonesia.

"Saya sudah 8 tahun menjadi PNS. Menurut aturan, sudah cukup untuk bisa melanjutkan pendidikan. Tapi saya tidak pernah diberi izin. Akhirnya saya sekolah dengan biaya sendiri. Tapi balasannya? SP1, SP2, SP3, lalu pemecatan. Saya tidak menyangka," ucapnya.

Selain izin yang tak kunjung diberikan, Yuanti juga harus membayar Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) lebih mahal karena usianya sudah melewati 35 tahun. 

Mirisnya, setelah mendapatkan rekomendasi untuk menempuh pendidikan spesialis dari atasan langsungnya di Puskesmas Nunukan, justru atasan langsungnya pula yang mengeluarkan surat panggilan dan berita acara pemeriksaan, sehingga menjadi dasar pemecatannya.

"Kalau memang saya dianggap melanggar, kenapa tidak diproses dari awal? Kenapa harus menunggu tiga tahun? Apakah memecat dokter menjadi sebuah prestasi bagi Dinas Kesehatan?," ujarnya dengan nada protes dan mata sembab.

Dari pantauan TribunKaltara.com, dengan suara bergetar, ia meminta agar Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nunukan bisa berpikir lebih panjang dalam mengambil keputusan terhadap tenaga kesehatan. 

Jika memang tak lagi dibutuhkan, ia berharap bisa dimutasi ke daerah lain, bukan diberhentikan.

"Saya sekolah bukan untuk meninggalkan tugas. Tapi saya tidak mau berhenti sampai pensiun hanya sebagai dokter umum.

Ada syarat umur maksimal bagi dokter yang ikut program pendidikan dokter spesialis (PPDS). Maksimal usia 35 tahun.

Kalau memang tidak dibutuhkan di Nunukan, keluarkan saja surat mutasi. Biar saya bisa mengabdi di tempat lain," tuturnya.

Setelah menerima SK pemberhentian, Yuanti sempat mencoba berdiskusi dengan Dinas Kesehatan dan BKPSDM.

Namun, jawaban yang diterima hanya menyarankan agar ia bertanya langsung ke Badan Kepegawaian Negara (BKN).

"Saya tidak ingin mempermalukan daerah ini. Makanya saya tidak pergi ke BKN. Saya lebih memilih menyampaikan suara saya di sini.

Terima kasih DPRD telah memberikan saya ruang untuk bicara," ungkapnya Yuanti dengan mata berkaca-kaca.

Baca juga: Apa Salah Saya? Curhat Pilu Dokter Yuanti Dipecat dari PNS Usai 11 Tahun Mengabdi di Perbatasan RI

(*)

Ikuti berita populer lainnya di saluran berikut: Channel WA, Facebook, X (Twitter), YouTube, Threads, Telegram

Artikel ini telah tayang di TribunKaltara.com dengan judul DPRD Nunukan Kaltara Sepakat Minta Dokter Dipecat Dikembalikan: Jangan Saklek, Kita Butuh Mereka! dan 11 Tahun Mengabdi di Perbatasan RI-Malaysia, dr Yuanti Dipecat, Tangis Pecah di Gedung DPRD Nunukan.
Sumber: Tribun kaltara
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved