Berita Nasional Terkini
Opsi Jabatan DPRD Diperpanjang Imbas Putusan MK Pisahkan Pemilu, Pakar Hukum Sebut Pilihan Logis
Opsi jabatan DPRD diperpanjang imbas putusan MK pisahkan Pemilu, pakar hukum sebut pilihan logis.
TRIBUNKALTIM.CO - Opsi jabatan DPRD diperpanjang imbas putusan MK pisahkan Pemilu, pakar hukum sebut pilihan logis.
MK memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden-wakil presiden.
Sedangkan pemilihan legislatif (Pileg) anggota DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Pengajar Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, perpanjangan jabatan anggota DPRD hasil Pemilu 2024 adalah pilihan paling logis untuk menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Pemilu Nasional dengan Pemilu Daerah.
Baca juga: MK Putuskan Pilkada 2029 tak Lagi Serentak, Mahkamah Konstitusi Beber Masalah dan Kualitas Pemilu
"Pilihan logis satu-satunya adalah memperpanjang masa jabatan anggota DPRD hasil pemilu DPRD tahun 2024," kata Titi saat dihubungi melalui pesan singkat, Senin (30/6/2025).
Titi menjelaskan, perpanjangan masa jabatan anggota DPRD bisa dilakukan sebagai respons masa transisi menuju keserentakan pemilu yang konstitusional sesuai putusan MK.
Dia menyebut, pemilu setiap lima tahun sebagaimana ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 harus dilaksanakan tanpa kecuali ketika model keserentakan sudah sesuai Putusan MK, yaitu berupa pemilu serentak nasional pada 2029 dan pemilu serentak daerah pada 2031.
Titi menyebut, dalam preseden ketatanegaraan sebelumnya, pernah terjadi penataan masa jabatan DPRD berupa perpanjangan atau pemendekan masa jabatan karena penyesuaian jadwal pemilu DPRD.
"Misalnya hasil Pemilu 1971 yang menjabat sampai Pemilu 1977 atau menjabat sampai 6 tahun. Lalu, hasil Pemilu 1997 yang hanya menjabat sampai Pemilu 1999 atau selama 2 tahun saja," imbuhnya.
Dia juga mengusulkan agar jabatan kepala daerah yang dipilih 2024 bisa diperpanjang sama dengan masa jabatan DPRD.
"Maka untuk masa transisi ini sebaiknya masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pilkada serentak 2024 juga diperpanjang sampai dengan terpilihnya kepala daerah hasil pemilu daerah tahun 2031," tandasnya.

Adapun Putusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah itu tertuang dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Keputusan tersebut menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal harus dilakukan secara terpisah mulai tahun 2029. Putusan yang dibacakan MK pada Kamis (26/6/2025) tersebut menyatakan, keserentakan penyelenggaraan pemilu yang konstitusional adalah dengan memisahkan pelaksanaan pemilihan umum nasional yang mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden, dengan pemilu lokal yang meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.
MK juga menyatakan bahwa pemilu lokal dilaksanakan dalam rentang waktu antara dua tahun hingga dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden-Wakil Presiden dan DPR-DPD.
Baca juga: Masa Jabatan DPRD Disebut Harus Diperpanjang Imbas Putusan MK, Rizqinizamy: Itu Satu-satunya Cara
DPR dan Pemerintah Gelar Rapat Tertutup
DPR RI mulai menggelar rapat bersama perwakilan pemerintah untuk membahas tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Pemilu nasional dan daerah, Senin (30/6/2025).
Agenda rapat tertutup pada Senin (30/6/2025) itu diungkap oleh Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda saat menjelaskan soal sikap DPR RI terhadap putusan MK tersebut.
“Ya tadi kami baru saja diundang oleh pimpinan DPR, Bapak Sufmi Dasco Ahmad dan pimpinan yang lain, membicarakan terkait dengan respons DPR soal putusan Mahkamah Konstitusi terbaru yang memberikan gambaran kepada kita bahwa pemilu ke depan harus dilakukan dengan dua model pemilu,” ujar Rifqinizamy saat ditemui di Gedung DPR RI, Senin (30/6/2025).
Menurut Rifqinizamy, rapat tersebut tidak hanya melibatkan Komisi II yang membidangi urusan kepemiluan, tetapi juga Komisi III dan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Selain itu, lanjut Rifqinizamy hadir pula sejumlah menteri dan perwakilan lembaga. Namun, dia tidak menjelaskan secara terperinci siapa saja pejabat yang hadir.
Politikus Nasdem itu hanya menegaskan bahwa pembahasan soal putusan MK tersebut dilakukan secara mendalam antara DPR RI bersama perwakilan pemerintah.
“Pimpinan DPR lengkap, kemudian pimpinan Komisi II, pimpinan Komisi III, pimpinan Badan Legislasi. Ditambah dengan para menteri terkait, beserta lembaga negara terkait. Jadi kami tadi mendiskusikannya dengan cukup dalam dan komprehensif,” kata Rifqinizamy.
Meski begitu, Rifqinizamy menegaskan bahwa DPR RI belum menentukan sikap resmi ataupun langkah yang akan diambil untuk menindaklanjuti putusan MK.
Sebab, Pimpinan DPR dan komisi terkait bersepakat untuk terlebih dahulu melakukan kajian secara mendalam soal perintah pemisahan pemilu nasional dan daerah.
“DPR belum memberikan sikap resmi, izinkan kami melakukan penelaahan secara serius terhadap putusan MK tersebut, yang saya kira putusan MK itu juga kalau kita bandingkan dengan putusan MK sebelumnya terkesan kontradiktif,” kata Rifqinizamy.
Rifqinizamy pun menyinggung putusan MK sebelumnya, yakni Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang dalam pertimbangan hukumnya memberikan arahan kepada pembentuk undang-undang memilih salah satu dari enam model keserentakan pemilu.
Menurut dia, model yang kemudian digunakan adalah pemilu serentak, seperti yang dilaksanakan pada Pemilu 2024 lalu.
“Karena sebelumnya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2019 melalui putusan Nomor 55 tahun 2019. Itu dalam pertimbangan hukumnya, bukan dalam amar putusannya, memberikan guidance kepada pembentuk undang-undang untuk memilih 1 dari 6 model keserentakan pemilu, yang 1 dari 6 model keserentakan pemilu itu sendiri sudah kita laksanakan pada pemilu tahun 2024 yang lalu,” ungkap Rifqinizamy.
Kini, Rifqinizamy menilai bahwa MK melalui putusan terbarunya justru telah menetapkan sendiri satu model pelaksanaan pemilu, dengan memisahkan pemilihan level nasional dan daerah.
“Tetapi kemudian pada tahun 2025 ini MK tiba-tiba dalam tanda kutip, bukan memberikan peluang kepada kami pembentuk undang-undang untuk kemudian menetapkan 1 dari 6 model itu di dalam revisi UU Pemilu yang baru,” ucap Rifqinizamy.
“Tetapi MK sendiri yang kemudian menetapkan salah satu model ini. Nah karena itu sekali lagi izinkan kami melakukan pendalaman dan penelaahan,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029.
Artinya, pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden. Sedangkan, pemilihan anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilakukan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyampaikan bahwa Mahkamah mempertimbangkan pembentuk undang-undang yang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019. Selanjutnya, MK melihat DPR maupun pemerintah sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan Pemilu.
"Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional," ujar Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
Di samping itu, Saldi menjelaskan bahwa MK tidak bisa menentukan secara spesifik waktu pelaksanaan pemilu nasional dengan daerah.
Namun, MK mengusulkan pilkada dan pileg DPRD dapat digelar paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR/DPD dan presiden/wakil presiden.
"Menurut Mahkamah, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota," ujar Saldi. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dan Artikel ini telah tayang di Kompas.com
Ikuti berita populer lainnya di saluran berikut: Channel WA, Facebook, X (Twitter), YouTube, Threads, Telegram
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.