Berita Bontang Terkini

Terasi Bontang Warisan Orangtua, Penopang Hidup Haji Niong hingga Ujung Senja

Terasi Bontang warisan orangtua, kisah Haji Niong menopang hidup hingga ujung senja.

Penulis: Muhammad Ridwan | Editor: Rita Noor Shobah
TRIBUNKALTIM.CO/MUHAMMAD RIDWAN
PEMBUAT TERASI BONTANG - Masniah yang akrab disapa Haji Niong mengemas terasi ke dalam plastik di kampung nelayan Bontang Kuala, Kota Bontang, Kaltim, Kamis (7/8/2025). Ini kisah Haji Niong pembuat terasi di kota Bontang. (TRIBUNKALTIM.CO/MUHAMMAD RIDWAN) 

TRIBUNKALTIM.CO, BONTANG –  Seorang perempuan tua, Masniah (70), setia menjalani rutinitasnya, menjemur terasi ditemani aroma laut yang menyengat dan suara riak air di sudut kampung nelayan, Bontang Kuala, Kota Bontang, Kalimantan Timur.

Masniah lebih dikenal dengan sapaan Haji Niong.

Di usia senjanya, Haji Niong tak bisa hanya duduk manis menikmati hari tua.

Ia tetap bekerja keras, melanjutkan pekerjaan warisan orangtua: membuat terasi khas Bontang.

Terasi khas Bontang ini sangat terkenal di Kalimantan Timur. Karena rasanya yang khas dan enak untuk dipadupadankan dengan olahan masakan.

Pembuat terasi ini banyak berada di Bontang Kuala. 

Baca juga: Peluh Kecil di Ujung Pelabuhan Klotok Penajam PPU

Bontang Kuala adalah sebuah kelurahan pesisir di Kecamatan Bontang Utara, Kota Bontang.

Wilayah ini dikenal sebagai kampung nelayan dengan ciri khas pemukiman di atas laut, yakni rumah-rumah yang berdiri atas air.

Bontang Kuala tak hanya tempat tinggal, tetapi juga destinasi wisata budaya dan ekowisata.

Bagi Haji Niong, mengolah udang menjadi terasi tak hanya warisan keterampilan dari orangtuanya, tetapi juga 'nafas' hidupnya.

Perempuan 4 anak ini bergantung hidup dari membuat terasi dan menjualnya.

“Dari dulu hidup saya ya dari terasi ini. Orangtua ajarkan, lalu saya teruskan sampai sekarang,” tutur Haji Niong pelan namun penuh keyakinan, Rabu (7/8/2025).

Kini, tubuhnya mulai renta, dan sang suami mengalami kelumpuhan.

Namun Haji Niong tetap bertahan.

Ia tinggal bersama anak perempuannya—seorang janda dengan tiga anak—yang turut membantu melanjutkan usaha keluarga.

“Anak ada 4, satu meninggal. Yang tinggal sama saya anak perempuan, janda. Bantu-bantu juga kalau saya bikin terasi,” katanya.

Baca juga: Dari Tambang ke Angkringan, Kisah Perjuangan Merry Bangun UMKM Sukses di Taman Bersemi Sangatta

Dari Bikin Terasi ke Tanah Suci

Haji Niong pernah mereguk sukses dari membuat dan menjual terasi.

Terasi bukan hanya menghidupi Haji Niong, tapi juga pernah membawanya ke tanah suci.

Pada tahun 1994, dari hasil menjemur dan menumbuk udang, ia berhasil mengumpulkan Rp 7 juta—biaya naik haji kala itu.

Setiap rupiah dikumpulkan dengan sabar, setiap ekor udang yang diolah menjadi saksi ketekunan seorang perempuan yang tak menyerah pada keadaan.

Bertahan di Tengah Sulitnya Bahan Baku

Selain kesuksesan, pekerjaan Haji Niong ini juga bukan tanpa kendala.

Mendapatkan bahan baku udang kini tak semudah dulu.

Ia harus mendatangkannya dari nelayan di Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim.

Sistemnya pun masih konvensional: Berutang dulu, bayar belakangan.

“Bon dulu. Biasa ngambil setengah pikul (50 kilogram) bayar separuh. Sisanya nanti, kalau sudah ada hasilnya,” ungkapnya.

Haji Niong menjual terasinya dengan harga bervariasi.

Terasi bubuk dijual Rp 15 ribu per cup, terasi kering ukuran kecil Rp 5 ribu, dan ukuran besar Rp 20 ribu per bungkus.

Dari situ, ia membagi penghasilan untuk membayar penumbuk, membeli bahan, dan menyisakan sedikit untuk kebutuhan harian.

“Penghasilan nggak menentu. Kadang-kadang dapat Rp 40 ribu. Kadang bisa dapat ratusan ribu, apalagi jika musim liburan,” ujarnya.

Baca juga: Kisah Pasutri di Kampung Timur Balikpapan, Rakit Sendiri Mesin Giling Daging 

Jadi Nafas Kehidupan

Meski penghasilan tak menentu, ia tetap bersyukur.

Baginya, yang penting bisa tetap bekerja dan tidak bergantung kebutuhan hidup pada anak atau orang lain.

“Kalau masih bisa kerja, ya kerja. Saya syukuri saja,” ucapnya dengan senyum tipis.

Dalam sunyi rumah kayu di tepi laut itu, Haji Niong menjadikan terasi bukan sekadar pangan, melainkan nafas kehidupan.

Di balik aroma menyengat khas laut, ada ketekunan dan doa panjang seorang ibu yang ingin tetap berdiri—meski usia memintanya untuk duduk. (*)

 

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved