Sambut 91 Tahun Sumpah Pemuda, Pemuda di Samarinda Deklarasikan Bangun Persaudaraan untuk Perdamaian
Sambut 91 Tahun Sumpah Pemuda, Pemuda di Samarinda Deklarasikan Bangun Persaudaraan untuk Perdamaian
TRIBUNKALTIM.CO SAMARINDA - Sambut 91 Tahun Sumpah Pemuda, Pemuda di Samarinda Deklarasikan Bangun Persaudaraan untuk Perdamaian
Memperingati sumpah pemuda, tidak hanya sekedar momentum peringatan, juga hafalan perayaan yang diadakan euforia semata, tiap tahunnnya.
Namun yang paling penting ialah, sejarah kaum muda, dalam perjalanan menuju kemerdekaan sebuah bangsa.
Terhitung sembilan puluh satu tahun usia perlawanan sejarahnya dimulai sejak 28 Oktober 1928 hingga sekarang.
• Ingin Mencari Sensasi Lain, Peserta Enggang Trail Run Nikmati Medan Perlombaan di Samarinda
• Jika Tol Balikpapan-Samarinda Beroperasi Nanti, Ini Imbauan Dirlantas Polda Kaltim
• Walikota Samarinda Syahari Jaang Tinjau Pembangunan Tangki BBM dan LGP oleh Pertamina di Palaran
Proses sejarahnya, kaum muda membangun persatuan atas dasar kesamaan rasa kecintaan tanah air dengan menjiwai nasionalisme, untuk memerdekakan sebuah bangsa,
yang masa itu terjajah oleh kolonialisme dan kapitalisme, untuk mengusai segala sektor sumber daya kehidupan, terutama sumber daya alam beserta isinya.
"Mari kita merawat ingatan pentingnya sejarah, sumpah Pemuda adalah hasil dari dua kali pertemuan para pemuda Indonesia kala itu yang terlibat dalam dua kali kongres," kata Himas Aksi Damai Sapa Pemuda Kaltim, Yohanes Ricardo Nanga Wara, Minggu (27/10/2019).
Di saat pelaksanaan kongres Pemuda I, pada (30 April 1926 – 2 Mei 1926 lalu, di Jakarta), kaum muda saat itu, terdiri dari berbagai daerah, untuk berbicara mempelopori persatuan bangsa, ada Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, dan Jong Ambon.
Kemudian, di kongres Pemuda II, yang dilaksanakan pada 27 – 28 Oktober 1928 lalu, juga bertempat di Jakarta, malah sampai melahirkan Sumpah Pemuda.
"Agenda kongres tersebut, pertama kalinya lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan didepan khalayak ramai, diiringi alunan biola oleh sang pencipta, yaitu Wage Rudolf Supratman.
Walau kondisi masa itu diperketat penjagaan oleh aparat pemerintah Belanda.
Tapi lagi-lagi, sorak sorai nyanyian itu, menjadi bentuk perlawanan terhadap kolonialisme sekalipun, dihadangkan dengan bentuk ancaman," tandas Ricardo.
Ia menyerukan sebuah pertanyaan, terkait apa refleksi kaum muda hari ini?
Dia pun menjawab "Tentunya sejarah bukan menjadi cerita atau dongeng, tapi acuan substansi sejarah untuk tidak digeneralisir apalagi dilupakan," ucapnya.
Berangkat dari sejarah, yanh artinya kaum muda, mesti memiliki jiwa patriotisme, nasionalisme untuk menolak penindasan manusia atas manusia,