50 pohon sawit produktif miliknya, habis rata dengan tanah. Portal untuk masuk ke lahannya pun, turut dirusak.
"Saya kaget karena tiba-tiba itu langsung habis tanpa izin ke saya, tanpa seizin lurah juga," ungkap Tita.
Ia mencoba mengkonfirmasi hal itu, baik kepada bank tanah, maupun kepada pemerintah kelurahan.
Bank Tanah hanya mengatakan kepada dirinya agar mengikhlaskan lahan itu.
Sementara pihak kelurahan mengatakan bahwa ia harus menunggu hasil rapat terlebih dahulu.
Baca juga: Dampak Rumah ASN di IKN Nusantara Belum Siap 100 Persen, Perpindahan PNS Molor dan Jumlah Jadi 6.000
Kata Tita, pada dasarnya ia tidak masalah jika lahannya dipakai untuk kepentingan pembangunan bandara pun jalan tol.
Tetapi seharusnya ada pemberitahuan terlebih dulu, apabila ingin beraktifitas di lahan miliknya.
Setidaknya, ada 8 hektar lahannya yang masuk dalam kawasan pembangunan bandara pun jalan tol.
"Belum tahu penggantiannya berapa, tadi dari provinsi juga menyampaikan kalau akan ada ganti rugi," ucapnya.
Makmur, warga Kelurahan Gersik, juga menyampaikan keluhannya.
Dengan nada meninggi ia mengatakan bahwa realita di lapangan berbeda dengan apa yang disampaikan dalam sosialisasi.
Dalam sosialisasi, pengurusan kejelasan atau legalitas lahan mereka seolah terdengar mudah. Namun saat melakukan pengurusan, ia mengaku sulit.
Saat mengurus ke kelurahan, ia diarahkan ke pemerintah daerah, lalu diarahkan lagi ke provinsi, lalu diminta lagi menghadap ke pihak bank tanah.
"Kami mendapatkan pelayanan di kelurahan juga tidak maksimal, fasilitasi masyarakat untuk hal itu," tegasnya.
Sudah beberapa kali sosialisasi, namun tak ada hasil yang mereka bawa pulang. Terutama mengenai kejelasan harga tanam tumbuh mereka. Padahal, proyek terus berjalan.