TRIBUNNEWS.COM - Pertemuan Megawati sebagai Ketum partai pemenang Pileg 2024 dengan Prabowo, capres pemenang Pilpres 2024 dinantikan banyak pihak.
Sikap politik PDIP yang sampai saat ini masih bias, dipercaya bakal terungkap usai Megawati dan Prabowo Subianto bertemu.
Terjawab Hasto Kristiyanto bakal mengatur pertemuan antara Megawati dan Prabowo Subianto.
Kabarnya PDIP setting pertemuan tersebut usai proses hukum PDIP di MK selesai.
Selengkapnya ada dalam artikel ini.
Baca juga: Harta dan Profil Ahmad Luthfi, Kapolda Masuk Bursa Cagub Jateng 2024, Saingan Sama Nusron dan Pacul
Baca juga: Jokowi Izinkan Airlangga, Sri Mulyani, Risma dan Muhadjir Bersaksi Pada Sidang Gugatan Pilpres di MK
Baca juga: Terbaru Hasil Survei Pilkada 2024 Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat: Perang Bintang Nasional
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto buka suara mengenai rencana pertemuan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri dengan calon presiden pemenang Pilpres 2024, Prabowo Subianto.
Hasto mengatakan, sejatinya tidak ada persoalan bagi Megawati dan Prabowo untuk bertemu.
"Tentu untuk Bu Mega dan Pak Prabowo enggak ada persoalan untuk bertemu," kata Hasto di kawasan Cikini, Jakarta, Selasa (2/4/2024).
Namun, dia menuturkan, pertemuan tersebut baiknya dilakukan setelah seluruh proses persidangan sengketa Pilpres 2024 di MK selesai.
"Tetapi tentu saja momentum yang tepat setelah seluruh tahapan MK dan proses hukum dilakukan PDIP," ujar Hasto.
Hasto enggan berspekulasi mengenai sinyal PDIP akan bergabung dengan pemerintahan Prabowo seusai pertemuan itu nantinya.
Dia mengungkapkan, dalam rekam jejaknya, PDIP sudah pernah berada di dalam maupun luar pemerintahan.
Hasto menambahkan, keputusan strategis terkait sikap PDIP akan mempertimbangkan semua aspek.
"Keputusan strategis akan dipertimbangkan dengan melibatkan berbagai variabel politik ekonomi sosial budaya dan suasana kebatinan rakyat," imbuhnya.
Baca juga: PDIP Mahulu Buka Pendaftaran Calon Kepala Daerah Mahakam Ulu untuk Pilkada 2024
Sebelumnya, Ketua DPP PDIP, Said Abdullah mengatakan, pertemuan antara Megawati dengan Prabowo akan digelar setelah proses sidang gugatan di MK selesai.
Namun, kata dia, sebelum bertemu Megawati, Prabowo lebih dulu bertemu dengan Ketua DPP PDIP, Puan Maharani.
"Sebelum bertemu Ibu Megawati, didahului pertemuan dengan Mbak Puan. Itu nanti setelah sidang MK," kata Said di Surabaya, Jawa Timur, Senin (1/4/2024).
Baca juga: Makna Lagu Fireflies - Owl City, Viral di TikTok jadi Sound Ramadhan Vibes 2024
Upaya Jokowi Kudeta Megawati
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto ungkap upaya Presiden Jokowi ambil alih kursi Ketua Umum PDIP dari Megawati Soekarnoputri, utus menteri power full.
Hasto Kristiyanto makin berani dan blak-blakan mengungkap hal-hal yang selama ini tak diketahui umum.
Belakangan Hasto juga makin sering mengkritik kinerja Presiden Jokowi.
Terbaru, Hasto mengungkapkan Presiden Joko Widodo sempat berupaya ingin mengambil alih kursi Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
Hal itu terungkap saat dirinya menjadi narasumber dalam diskusi bedah buku berjudul "NU, PNI, dan Kekerasan Pemilu 1971” karya Ken Ward (1972) di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (2/4/2024).
Peristiwa tersebut, menurut Hasto, dilakukan Jokowi jauh sebelum Pemilu 2024 berlangsung.
"Rencana pengambilalihan Partai Golkar dan PDI Perjuangan. Jadi, jauh sebelum pemilu, beberapa bulan, antara lima-enam bulan. Ada seorang menteri power full," kata Hasto.
Hasto mengatakan dalam kabinet Jokowi, ada menteri power full dan menteri superpower full.
Namun, yang mendapat tugas untuk menjembatani pengambilalihan kursi ketum PDIP ialah menteri power full.
"Supaya enggak salah, ini ditugaskan untuk bertemu Ryaas Rasyid oleh Presiden Jokowi. Pak Ryaas Rasyid ditugaskan untuk membujuk Bu Mega, agar kepemimpinan PDI Perjuangan diserahkan kepada Pak Jokowi. Jadi, dalam rangka kendaraan politik. Untuk 21 tahun ke depan," kata Hasto.
Menurut Hasto, upaya-upaya yang dilakukan Jokowi perlu diwaspadai semua pihak, tidak hanya PDI-P.
Upaya itu dinilai juga untuk mempertahankan kekuasaan yang saat ini dimilikinya.
Melihat upaya tersebut, Hasto menjadi teringat akan sosok Presiden Kedua RI Soeharto yang juga dinilai ingin mempertahankan kekuasaan.
"Nah ini harus kita lihat, mewaspadai bahwa ketika berbagai saripati kecurangan pemilu 1971, yang menurut saya 1971 saja enggak cukup, ditambah 2009, menghasilkan 2024 kendaraan politiknya sama," pungkas Hasto.
Ada Kemiripan Jokowi dengan Soeharto
Hasto Kristiyanto mengatakan, ada kemiripan antara Soeharto dan Joko Widodo (Jokowi) dalam upaya mempertahankan kepemimpinannya lewat Pemilu.
Menurut Hasto, Soeharto dan Jokowi sama-sama menggunakan abuse of power seperti memakai aparat negara.
Hal itu disampaikan Hasto dalam sebuah acara Bedah Buku “NU, PNI, dan Kekerasan Pemilu 1971” karya Ken Ward (1972) di kawasan Cikini, Jakarta, Selasa (2/4/2024).
Hasto menuturkan, ketika membaca buku ini tak hanya muncul wajah Soeharto, namun juga melihat wajah Jokowi.
"Saya mencoba menghilangkan Pak Jokowi, tetapi sulit. Maklum 23 tahun bersama Pak Jokowi. Tetapi apakah karakternya (Jokowi dan Soeharto) sama? Nanti kita lihat," kata Hasto membuka paparannya.
Hasto menyampaikan kekerasan terpampang jelas pada Pemilu 1971 ketika Soeharto ingin mempertahankan kekuasaannya.
Hal itulah yang akhirnya menjadi titik konsolidasi kekuatan otoriter sampai 27 tahun kemudian.
Dia mengungkapkan, berbahagialah jurnalis yang saat ini masih bisa bekerja dengan bebas.
Namun, sudah ada intimidasi terhadap jurnalis dalam bekerja pada saat ini.
Hasto juga menyampaikan pada Pemilu 1971, Badan Pengawas Pemilu (kini KPU) ikut bermain.
Hasto menyatakan hal itu pun terlihat pada saat ini, kecuali DKPP yang masih menunjukkan kredibilitasnya.
"Yang lain kita lihat bagian dari skenario abuse of power tersebut," ujarnya.
Menurut Hasto, Soeharto punya waktu 18 bulan untuk mempersiapkan skenario mempertahankan kepemimpinan lewat operator politiknya, yakni Ali Murtopo, Amir Mahfud, dan Sujono Mardani.
"Kalau Pak Jokowi berapa bulan? Saya belum bisa menjawab. Nah, kalau diukur pertama Pak LBP (Luhut Binsar Pandjaitan) mengatakan bahwa di PDIP sebenarnya banyak 70 persen, saya lupa angkanya, yang setuju perpanjangan jabatan pada 11 Maret 2022, itu artinya 19 bulan dipersiapkan. Kalau ditinjau Pak Anwar Usman menikah pada Juni itu 16 bulan," ucapnya.
Kemudian, kata dia, Soeharto membangun narasi pembangunan nasional, stabilitas politik, keamanan, akselerasi, dan modernisasi pembangunan 25 tahun ke depan dengan mimpi.
Para akademisi saat itu pun masuk dalam suatu kampanye akselerasi modernisasi.
Namun, prosesnya minus kebebasan, demokrasi, dan hak untuk berserikat.
"Ini yang terjadi dan saya coba bandingkan kekuasaan Soeharto dan Jokowi sebenarnya ada kemiripan," ungkap Hasto.
Sementara sisi abuse of power era Soeharto ialah menggunakan Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri, ABRI, dan Operasi Khusus (OPSUS).
Sedangkan era Jokowi lewat TNI, Polri, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Agama, Kejaksaan Agung.
Kemudian, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian perdagangan, Kementerian Perekonomian, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kementerian BUMN, dan Badan Pangan Nasional. (*)
Ikuti berita menarik lainnya di saluran whatsapp dan google news Tribun Kaltim
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Hasto Sebut Pertemuan Megawati & Prabowo Sebaiknya Setelah Proses Sidang Sengketa Pilpres Selesai