Masalah batas wilayah ini sendiri telah mencuat sejak tahun 2000 dan bahkan sudah ditegaskan melalui Permendagri Nomor 25 Tahun 2005, yang mengatur batas wilayah antara Kota Bontang, Kutim, dan Kukar.
Namun, hingga kini persoalan belum juga menemukan penyelesaian final.
Ardiansyah Sulaiman menyatakan kehadiran Pemkab Kutim dalam mediasi merupakan bentuk sportivitas dalam menjalankan amanat Mahkamah Konstitusi (MK), yang meminta adanya proses klarifikasi melalui mediasi sebelum pengambilan keputusan akhir.
"Meski wilayah yang disengketakan hanya sekitar 164 hektare, tetapi di sana banyak aktivitas warga Kutai Timur. Bahkan warga Bontang yang membuka usaha di sana tidak kami larang, tetapi secara administratif, Kampung Sidrap tetap wilayah Kutim," imbuhnya.
Sementara hasil mediasi belum menghasilkan kesepakatan, Pemprov Kaltim menyatakan akan melakukan survei langsung ke lapangan untuk memverifikasi kondisi terkini di Kampung Sidrap, yang akan menjadi bahan pertimbangan pengambilan keputusan final.
Sikap Pemkot Bontang
Wakil Walikota Bontang Agus Haris saat dihubungi mengungkapkan mediasi ini adalah langkah yang disarankan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Faktanya, Kutai Timur enggan menyerahkan Kampung Sidrap, kata Agus, walaupun secara geografis Kampung Sidrap berada sangat dekat dengan wilayah Kota Bontang.
“Kutai Timur tetap menolak Kampung Sidrap masuk ke Bontang,” ungkapnya kepada TribunKaltim.co, Jumat (1/8/2025).
Penolakan itu disampaikan langsung oleh Bupati Kutim, Ardiansyah Sulaiman, dalam forum.
“Kami bisa memahami, karena mereka punya agenda pembentukan desa baru. Tapi kami juga tidak bisa abaikan aspirasi warga tujuh RT di Kampung Sidrap yang ingin masuk Bontang,” ujarnya.
Meski demikian Agus Haris mengkritik pemaparan Kutai Timur yang dinilainya tidak menyentuh akar persoalan.
“Yang dijelaskan hanya program umum Desa Martadinata. Padahal yang dipersoalkan tujuh RT di Kampung Sidrap. Seharusnya bicara fakta lapangan, bukan manipulasi data,” ucapnya.
Pemkot Bontang sendiri, kata dia, menyampaikan video testimoni warga dan menyerahkan data pendukung ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kalau dari dulu Kutai Timur serius seperti ini, mungkin persoalan ini tidak berlarut sampai puluhan tahun,” tandasnya.