Program Makan Bergizi Gratis

Evaluasi Kasus Keracunan, BGN Hormati Keputusan Anak Tak Mau Makan MBG karena Trauma

Evaluasi kasus keracunan, BGN hormati keputusan anak tak mau makan MBG sementara waktu karena trauma.

TRIBUNKALTIM.CO/RAYNALDI PASKALIS
MAKAN BERGIZI GRATIS - Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana saat di wawancarai usai menghadiri Rakernas X PKK di Samarinda Convention Hall, Selasa (8/7/2025). Badan Gizi Nasional (BGN) menegaskan bahwa setiap kasus keracunan yang terjadi dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) akan ditindaklanjuti dengan evaluasi menyeluruh. (TRIBUNKALTIM.CO / RAYNALDI PASKALIS) 

TRIBUNKALTIM.CO –  Evaluasi kasus keracunan, BGN hormati keputusan anak tak mau makan MBG sementara waktu karena trauma.

Badan Gizi Nasional (BGN) menegaskan bahwa setiap kasus keracunan yang terjadi dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) akan ditindaklanjuti dengan evaluasi menyeluruh.

Program Makan Bergizi Gratis adalah inisiatif nasional yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto untuk meningkatkan kualitas gizi masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak sekolah, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita.

Program ini merupakan bagian dari visi besar menuju Indonesia Emas 2045, dengan fokus pada pembangunan sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan produktif.

Baca juga: Temuan Food Tray Non Halal dalam Program MBG, DPR Minta Audit dan Ganti Produk

Kepala BGN, Dadan Hindayana, menyampaikan bahwa perhatian khusus juga diberikan kepada anak-anak yang mengalami trauma akibat insiden tersebut.

“Untuk trauma-trauma yang terjadi, termasuk juga penghentian sementara Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi atau SPPG yang mengalami kejadian adalah bagian dari evaluasi kami setiap kali ada SPPG yang mengalami kejadian,” ujar Dadan, Senin (22/9/2025).

Ia menjelaskan bahwa penghentian sementara operasional SPPG dilakukan untuk memberi ruang bagi proses analisis dan pemulihan, termasuk pendampingan psikologis bagi anak-anak terdampak.

“Maka kami minta setop untuk beroperasi sambil melakukan evaluasi, analisis, termasuk bagaimana membuat recovery terhadap anak yang trauma,” lanjutnya.

Respons terhadap Anak yang Enggan Konsumsi Makanan MBG

Dadan juga menekankan bahwa BGN menghormati keputusan anak-anak yang memilih untuk sementara waktu tidak mengonsumsi makanan dari program MBG pasca insiden.

“Bagi anak yang tidak ingin menerima untuk sementara waktu, kita harus hormati,” ujarnya.

Namun, ia mencatat bahwa mayoritas anak yang sempat terdampak justru menunjukkan keinginan untuk kembali mengikuti program.

Baca juga: Besaran Uang Operasional Kader Posyandu Pengantar MBG, Bisa Raup Rp400 Ribu per Bulan

“Banyak kasus kejadian anak-anak itu ingin kembali mengonsumsi makanan-makanan berikutnya,” tambahnya.

Menurut Dadan, hanya sebagian kecil anak yang mengalami trauma berkepanjangan. Sebagian besar anak-anak yang sempat terlibat dalam insiden keracunan telah kembali mengikuti program MBG dengan antusias.

“Jadi hanya sebagian kecil yang mengalami trauma, tapi sebagian besar mereka kembali mengonsumsi makanan-makanan berikutnya,” jelasnya.

“Dan alhamdulillah seperti yang sudah saya sampaikan, sekarang ini sebagian besar anak memang senang dengan program makanan-makanan berikutnya,” tutup Dadan.

Jumlah Siswa Keracunan MBG

Istana melalui Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Muhammad Qodari mengatakan bahwa pemerintah tidak buta dan tuli terhadap sejumlah kasus keracunan  program Makan Bergizi Gratis (MBG). 

Menurutnya sejumlah lembaga pemerintah mencatat kasus keracunan MBG, mulai dari Badan Gizi Nasional (BGN), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), maupun Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Baca juga: Sisi Lain MBG: Senyum Orangtua Murid, Untung Tipis Pelaku Bisnis Sosial

“Masyarakat harus tahu bahwa pemerintah itu tidak buta dan tuli, alias tone deaf," katanya.

"Jadi ada data dari tiga lembaga sebagai berikut BGN, 46 kasus keracunan, dengan jumlah penderita 5.080, ini data per 17 September. Kedua dari Kemenkes, 60 kasus dengan 5.207 penderita, data 16 September."

"Kemudian BPOM, 55 kasus dengan 5.320 penderita, data per 10 September 2025,” kata Qodari di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (22/9/2025).

Qodari mengatakan bahwa berdasarkan data dari tiga lembaga tersebut, kasus keracunan menimpa lima ribuan penerima manfaat.

Tidak hanya lembaga pemerintah, data dari elemen masyarakat juga mencatat kasus keracunan berada di angka tersebut.

"Kemudian dari elemen masyarakat ada namanya Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia. Mantau lewat media, mencatat 5.360 siswa,” katanya.

Menurut Qodari hasil kajian BPOM,  puncak kejadian keracunan terjadi pada Agustus 2025, dengan sebaran terbanyak di Jawa Barat.

Adapun penyebab utama keracunan tersebut di antaranya adalah higienitas makanan, suhu dan ketidaksesuaian pengolahan pangan, kontaminasi silang, serta indikasi alergi pada penerima manfaat.

“Ini contoh bahwa pemerintah tidak tone deaf, tidak buta dan tuli. Pak Mensesneg kan sudah merespons juga kan, Jumat kemarin kan, mengakui adanya itu minta maaf dan akan evaluasi. Ini saya tambahkan data-datanya,” pungkasnya.

Baca juga: MBG Diguncang Kasus Keracunan, KPAI Usul Hentikan Sementara

DPR Usul Sekolah yang Sediakan MBG

Sementara itu Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Yahya Zaini menilai Badan Gizi Nasional (BGN) bersama DPR serta pihak-pihak terkait harus mencari solusi dan alternatif pengelolaan MBG agar masalah keracunan massal tak terjadi lagi.

Misalnya, menunjuk pihak sekolah untuk menyediakan menu MBG yang kualitasnya lebih terjamin dan fresh saat disajikan kepada para siswa. 

"Mengingat banyaknya kasus keracunan, perlu dipikirkan alternatif MBG dikelola sekolah bersama komite sekolah," kata Yahya Zaini dalam keterangannya, Senin (22/9/2025). 

Seperti diketahui, saat ini MBG melibatkan mitra seperti yayasan dan UMKM untuk operasional dapur dan penyaluran makanannya. 

Yahya mengusulkan agar pengelolaan diberikan kepada masing-masing sekolah untuk mengantisipasi berbagai persoalan yang ada, sekaligus karena pihak sekolah lebih memahami karakter anak-anak didiknya yang mendapat fasilitas program MBG.

"Karena akan lebih terjamin higienitas dan keamanannya serta sesuai selera anak-anak sekolah. Mereka sudah paham selera anak-anak sekolahnya," sambungnya.

Adapun program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai terobosan pemenuhan gizi anak sekolah dan menjadi program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto justru menimbulkan banyak persoalan, terutama maraknya keracunan massal di berbagai daerah.

Sejak Januari hingga September 2025, sedikitnya 5.626 kasus keracunan terjadi di 17 provinsi.

Banyak daerah harus menanggung biaya perawatan korban di puskesmas maupun rumah sakit, meski di saat bersamaan alokasi transfer ke daerah justru dipangkas dari Rp864,1 triliun (APBN 2025) menjadi Rp650 triliun dalam RAPBN 2026.

Terbaru, keracunan massal MBG terjadi di Kab Banggai Kepulauan.

Kemudian ada juga keracunan MBG di Garut, Tasikmalaya, hingga Bau Bau Sulawesi Tenggara.

Belum lagi muncul isu soal instruksi agar masalah keracunan MBG tidak dipublikasi alias dirahasiakan.

Selain masalah keracunan, Yahya juga menyoroti rendahnya serapan anggaran BGN. Di mana anggaran MBG hingga September hanya terserap Rp13,2 triliun atau 18,6 persen dari alokasi Rp71 triliun. 

Padahal, klaim pelaksanaan MBG telah berlangsung di 38 provinsi dengan jumlah penerima manfaat mencapai 22 juta. Akan tetapi, angka tersebut tidak dapat diverifikasi karena minimnya informasi yang dapat diakses publik. 

Apalagi, laporan Transparency International Indonesia menemukan bahwa sejumlah menu MBG tidak mencapai nilai rata-rata Rp10 ribu per penerima manfaat.

Belum lagi, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa juga telah mewanti-wanti BGN bahwa jika sampai akhir Oktober anggaran untuk melaksanakan MBG tidak terserap, maka pihaknya akan menarik alokasi dana untuk keperluan lain. 

Yahya pun menyinggung pernyataan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana yang mengungkapkan alasan serapan anggaran MBG masih rendah lantaran banyak pihak tidak yakin terhadap jalannya program tersebut.

Karena itu, ia meminta BGN mencari alternatif pengelolaan MBG agar target dari program unggulan Presiden Prabowo ini dapat segera tercapai. 

"Ini juga untuk mempercepat pencapaian target yang ditentukan. Mengingat serapan anggaran BGN masih rendah sekitar 22  persen," terang Yahya. 

Lanjutnya, Ia menyebut pihak ketiga yang bekerja sama untuk pelaksanaan MBG masih tetap bisa dilanjutkan.

Hal ini, kata Yahya, dapat dilakukan sambil evaluasi tata kelola pelaksanaan MBG.

"Bagi yayasan yang sudah bekerjasama dengan BGN tetap dapat dilanjutkan sambil memperbaiki tata kelola dan keamanan makanannya," sebutnya. 

Yahya pun mendesak Pemerintah untuk segera memperbaiki mekanisme pelaporan anggaran MBG.

Bila perlu, ia menyarankan BGN membuka kanal pengaduan publik dan memastikan akuntabilitas belanja agar hak anak untuk memperoleh makanan bergizi dan aman benar-benar terpenuhi. 

"Karena transparansi dan akuntabilitas yang lemah, dikhawatirkan akan memperbesar risiko penyalahgunaan anggaran," jelas Yahya Zaini.  (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com 

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Istana Tegaskan Pemerintah Tidak 'Tone Deaf' dalam Kasus Keracunan MBG

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved