Mushola Ponpes Al Khoziny Ambruk
Identifikasi Korban Ambruknya Mushala Ponpes Al Khoziny Terkendala Kondisi, Penjelasan Tim DVI
Jenazah korban ambruknya mushala Ponpes Al Khoziny sulit teridentifikasi, ini penjelasan Tim DVI.
TRIBUNKALTIM.CO - Jenazah korban ambruknya mushala Ponpes Al Khoziny sulit teridentifikasi, ini penjelasan Tim DVI.
Proses identifikasi korban meninggal dunia akibat runtuhnya bangunan mushala Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, masih menghadapi tantangan besar.
Hingga Jumat (3/10/2025), tim Search and Rescue (SAR) gabungan telah menemukan sembilan jenazah tambahan, namun belum satu pun berhasil dikenali.
Baca juga: Tragedi Ambruknya Mushala Ponpes Al Khoziny, 54 Korban Masih Dicari, Kesaksian Korban Selamat
Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polda Jawa Timur terus berupaya melakukan identifikasi, meski sejumlah kendala teknis dan biologis menghambat proses tersebut.
Disaster Victim Identification (DVI) adalah proses sistematis dan ilmiah yang digunakan untuk mengenali korban jiwa dalam situasi bencana massal, seperti gempa bumi, kecelakaan pesawat, kebakaran besar, atau bangunan runtuh.
Tujuan utamanya adalah memastikan identitas korban secara akurat agar dapat disampaikan kepada keluarga dan diproses sesuai hukum serta etika kemanusiaan.
Kombes Pol Wahyu Hidajati, Kepala DVI Polda Jatim, menjelaskan bahwa jenazah yang ditemukan beberapa hari setelah kematian mengalami perubahan fisik yang signifikan, sehingga sulit dikenali secara kasat mata.
“Kondisinya jauh berbeda dibanding hari pertama karena ada proses pembusukan. Harus ada ilmu tambahan agar jenazahnya tidak tertukar,” ujar Wahyu, Sabtu (4/10/2025).

Barang Pribadi Tidak Cukup untuk Proses Identifikasi
Menurut Wahyu, proses identifikasi tidak bisa hanya mengandalkan barang pribadi seperti pakaian atau sarung.
Di lingkungan pesantren, santri kerap saling meminjam barang, sehingga metode ini tidak cukup akurat.
Identifikasi melalui sidik jari juga sulit dilakukan karena kondisi jenazah yang sudah tidak segar.
Ditambah lagi, mayoritas korban adalah santri yang belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), sehingga tidak tercatat dalam sistem kependudukan.
Alternatif lain adalah pemeriksaan gigi. Namun, metode ini hanya efektif jika korban memiliki ciri khas seperti gigi gingsul, tambalan, atau bentuk gigi yang unik. “Kalau giginya bagus semua, susah dikenali,” tambah Wahyu.
Metode paling akurat adalah pencocokan DNA. Sejak Kamis (2/10/2025), tim DVI telah mengumpulkan 59 sampel DNA dari keluarga korban melalui air liur, darah, dan rambut.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.