Program Makan Bergizi Gratis
Korban MBG Bisa Tuntut Ganti Rugi, LPSK Buka Peluang Restitusi Bagi Ribuan Anak yang Keracunan
Korban MBG bisa tuntut ganti rugi, LPSK buka peluang restitusi bagi ribuan anak yang keracunan.
TRIBUNKALTIM.CO - Kasus keracunan akibat Makan Bergizi Gratis (MBG) marak di berbagai daerah.
Kasus keracunan MBG telah terjadi secara luas di berbagai wilayah Indonesia dan menjadi perhatian serius pemerintah.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan korban keracunan MBG bisa mengajukan ganti rugi.
Total kasus keracunan MBG mencapai 75 insiden dengan lebih dari 6.000 korban sejak Januari hingga Oktober 2025.
Baca juga: Keracunan Massal MBG, Pelanggaran HAM atau Kelalaian Teknis? Ini Kata Dosen UGM dan Natalius Pigai
Pulau Jawa mencatat jumlah korban terbanyak, yaitu lebih dari 4.000 orang.
Gejala umum yang dialami korban meliputi mual, muntah, pusing, ruam, dan dalam beberapa kasus kejang-kejang.
Penyebab utama keracunan adalah pelanggaran terhadap Standar Operasional Prosedur (SOP) oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), seperti:
Pembelian bahan baku terlalu jauh dari hari penyajian.
Proses memasak dan distribusi melebihi batas waktu aman. Sanitasi dapur yang buruk dan kontaminasi bakteri/jamur.
Orang tua murid mulai khawatir dan banyak yang memilih membawakan bekal sendiri untuk anak-anak mereka.
Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan evaluasi menyeluruh dan perbaikan program MBG, meskipun ia menyebut tingkat kesalahan hanya 0,0017 persen dari total penerima manfaat.
Pemerintah menutup sementara dapur-dapur MBG yang melanggar SOP dan melakukan investigasi menyeluruh.
Program MBG yang awalnya bertujuan meningkatkan gizi anak-anak kini menghadapi tantangan besar dalam hal keamanan pangan.
Koordinasi lintas kementerian dan lembaga sedang berlangsung untuk memastikan makanan MBG aman dan layak konsumsi.
Beberapa pihak bahkan mulai menuntut penghentian program MBG hingga sistem pengawasan diperketat.
LPSK menyatakan korban keracunan makan bergizi gratis (MBG) dapat mengajukan restitusi atau ganti rugi.
Restitusi atau ganti rugi adalah bentuk kompensasi atau pengembalian atas kerugian yang dialami seseorang akibat tindakan pihak lain.
Dalam konteks hukum dan sosial, keduanya memiliki makna yang mirip namun bisa berbeda tergantung
penggunaannya.
Restitusi adalah pengembalian hak atau harta kepada pihak yang dirugikan, biasanya dalam kasus pidana atau pelanggaran hukum.
Ganti rugi adalah pembayaran atau kompensasi atas kerugian yang dialami, baik secara materiil maupun immateriil.
Contoh: Dalam kasus kecelakaan lalu lintas, pelaku bisa diwajibkan membayar ganti rugi atas kerusakan kendaraan dan biaya pengobatan korban.
Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias mengatakan korban keracunan MBG dapat mengajukan perlindungan restitusi bila kasus dinyatakan aparat penegak hukum memenuhi unsur tindak pidana.
Pasalnya secara prosedur perlindungan diberikan LPSK, termasuk fasilitasi penghitungan ganti rugi hanya dapat diberikan kepada korban dan saksi dari suatu tindak pidana.
"Kalau ada tindak pidananya, dibawa ke ranah pidana maka mereka bisa mengajukan restitusi," kata
Susilaningtias di Ciracas, Jakarta Timur, Minggu (5/10).
Unsur tindak pidana ini setidaknya ditunjukkan dengan adanya penyelidikan yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap kasus keracunan MBG di sejumlah wilayah.
Bila dinyatakan terdapat tindak pidana LPSK dapat melakukan penghitungan restitusi atas kerugian dialami korban, untuk selanjutnya dibebankan kepada pelaku lewat proses sidang pidana.
Selain restitusi, LPSK menyatakan korban keracunan MBG juga dapat mengajukan permohonan perlindungan untuk mendapatkan bantuan perawatan medis dan pendampingan psikologi.
"Kedua juga mungkin (mengajukan) bantuan biaya pengobatan dan psikologis (pemulihan trauma) karena
itu adalah hak-hak korban (tindak pidana). Asalkan ada tindak pidana," ujarnya.
Sehingga LPSK menyatakan terbuka bila ada orangtua dari anak korban keracunan MBG yang menempuh jalur hukum, lalu mengajukan permohonan perlindungan kepada LPSK.
Susilaningtias menuturkan bila terdapat korban keracunan MBG yang mengajukan perlindungan, maka LPSK akan melakukan penelaahan untuk memastikan bentuk perlindungan.
"Kalau belum dibawa ke ranah pidana tidak bisa. LPSK terbuka, nanti kita telaah lebih lanjut. Tapi syarat utama memang ada tindak pidana, dan kedua benar-benar korban," tuturnya.
Baca juga: Perpres MBG Segera Terbit, Fokus ke Keamanan dan Pengawasan Makanan
Diserahkan ke Kantin Sekolah
Guru Besar Departemen Manajemen FEB UGM, Prof Dr R Agus Sartono berpendapat belajar dari pengalaman di negara maju, program makan bergizi gratis (MBG) merupakan ide yang bagus.
Belajar dari praktik baik negara maju, kata Agus Sartono, program MBG dilaksanakan melalui kantin sekolah.
“Tantangannya di implementasi, persoalan muncul bukan pada ide besar, tetapi pada delivery mechanism sehingga belakangan ini muncul pandangan negatif dan berbagai kasus keracunan muncul,” ujar Agus Sartono, melalui keterangan resminya, Minggu (5/10).
Program ini sesungguhnya memberikan banyak manfaat, pertama setidaknya bertujuan memperbaiki gizi anak di usia pertumbuhan melalui asupan yang cukup.
Kedua, membangun kohesi sosial karena anak mendapatkan makanan yang sama, dan harapannya akan tumbuh empati dan kepedulian sosial.
Ketiga, melalui program ini memberi pelajaran anak berperilaku tertib saat mengantri mengambil makanan, dan membersihkan makanan. Keempat, anak tumbuh sikap bertanggung jawab untuk mengambil secukupnya, dan bertanggung jawab untuk tidak membuang-buang makanan.
Kelima, memberikan multiplier effect pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan, dan keenam,
terciptanya lapangan kerja serta mencegah urbanisasi.
Dalam pandangannya, jika dilihat dari sasaran yang ingin dicapai, setidaknya terdapat 28,2 juta siswa SD/MI, 13,4 juta siswa SMP/MTs, 12,2 juta siswa SMK/MA/SMA, dan Dikmas/SLB 2,3 juta siswa sehingga total ada sekitar 55,1 juta yang harus dilayani. Semua itu tersebar di 329 ribu satuan pendidikan, dan belum termasuk lebih dari 20 ribu pesantren.
“Dengan anggaran 15 ribu rupiah per siswa, maka setidaknya dibutuhkan dana sebesar Rp 247,95 triliun,” ucapnya.
Menurutnya, implementasi program MBG dengan dana Rp 247,95 triliun ini jauh lebih besar dari dana desa 2025 sekitar Rp 71 triliun. Sementara itu, anggaran pendidikan yang ditransfer ke daerah tahun 2025 sebesar Rp 347 triliun sehingga terdapat Rp 665,95 triliun dana berputar di daerah.
“Jumlah yang sangat besar tentunya, dan diharapkan akan mendongkrak konsumsi dan menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi. Namun kembali ke pertanyaan awal riuhnya program MBG, persoalan muncul pada delivery mechanism,” paparnya.
Agus menyampaikan sudah banyak program yang sasaran dan basisnya mengarah untuk siswa serta masyarakat tidak mampu seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Kartu Indonesia Pintar (KIP),
Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial atau bansos. Program-program tersebut selama ini menyasar setidaknya 20 persen pada keluarga tidak mampu. Pada tahun 2010 penyaluran BOS sempat mengalami persoalan dan akhirnya didistribusikan langsung ke satuan pendidikan, dan BOS ini diberikan ke sekolah/madrasah/satuan pendidikan berbasis pada besar kecilnya siswa.
Baca juga: Sebaran Jumlah Kasus Keracunan MBG, Wilayah 2 Catat Angka Tertinggi
“Pertanyaannya, kenapa MBG yang tujuannya sangat bagus tidak dilakukan menggunakan mekanisme yang sudah ada? Bukankah UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur bahwa pendidikan merupakan urusan konkuren dan daerah diberi kewenangan? Kabupaten/Kota mengelola
SD/SMP, Provinsi mengelola SMK/SMA dan pendidikan berbasis agama masih dibawah Kemenag,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, Agus Sartono berpandangan ada baiknya daerah-daerah diberikan kewenangan sesuai
undang-undang, dan Badan Gizi Nasional (BGN) hanya melakukan monitoring.
Dengan cara dan pemberdayaan Pemerintahan Daerah, menurutnya, akan menjamin kemudahan dalam koordinasi dan tingkat keberhasilan akan jauh lebih baik. Belajar dari praktik baik negara maju, kata Agus Sartono, program MBG dilaksanakan melalui kantin sekolah.
Cara ini, disebutnya, lebih baik dibanding dengan cara atau sistem sistem yang diterapkan di Indonesia saat ini.
Melalui kantin sekolah maka makanan akan tersaji fresh, dan menghindari makanan basi.
Dengan skala relatif kecil dan lebih terkontrol mestinya cara-cara seperti ini bisa dilakukan di Indonesia.
“Sekolah bersama komite sekolah saya kira mampu mengelola ini dengan baik,” urainya.
Jika itu diterapkan, lanjut Agus, kebutuhan bahan baku bisa dipenuhi dari UMKM di sekitar sekolah sehingga tercipta sirkulasi ekonomi yang baik.
Dengan demikian sekolah mendapatkan dana utuh sebesar Rp 15 ribu per porsi, bukan seperti yang terjadi selama ini hanya sekitar Rp 7.000 per porsi.
Alternatif lain, dana bisa diberikan secara tunai kepada siswa, dan melibatkan orang tua untuk membelanjakan dan menyiapkan bekal kepada putra putrinya.
"Jika sampai satu bulan tidak membawa bisa memanggil orang tuanya, dan jika masih terus bisa dihentikan. Cara seperti ini saya kira tidak saja menanggulangi praktek pemburu rente, tetapi juga dipercaya akan lebih efektif. Dana dapat ditransfer langsung ke siswa setiap bulan seperti halnya KIP, atau
seperti penyaluran BOS,” tuturnya.
Menurutnya penyaluran MBG melalui Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi (SPPG) dinilai hanya menguntungkan pengusaha besar yang mampu terlibat dalam program mulia ini.
Baginya, sungguh menyedihkan jika unit cost 15.000 rupiah per porsi per anak pada akhirnya tinggal 7.000 rupiah saja.
Dia menyebut Program Makan Bergizi Gratis pun bisa menjadi "Makar Bergiri Gratis"bagi pengusaha besar karena mereka mendapat keuntungan yang besar secara “gratis”.
“Jika margin per porsi diambil 2000 rupiah dan satu SPG melayani 3.000 rupiah porsi, maka per bulan keuntungan yang diperoleh sebesar 150 juta rupiah atau 1,8 M rupiah per tahun," pungkasnya.
Istana Pastikan Tak Dihentikan
Pemerintah memastikan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tetap berjalan meski Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur tata kelolanya belum rampung.
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana, dan Ketua Dewan Energi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bahwa tidak ada rencana moratorium, dan penyempurnaan regulasi sedang dilakukan lintas kementerian.
"Minggu ini harus selesai. Tapi bukan karena Perpres belum ada kemudian program MBG tidak jalan. Tidak," kata Prasetyo usai menghadiri HUT ke-80 TNI di Monas, Jakarta, Minggu (5/10).
Prasetyo menjelaskan bahwa proses penyempurnaan Perpres ini merupakan bagian dari evaluasi menyeluruh pemerintah terhadap pelaksanaan MBG, menyusul lonjakan kasus keracunan makanan MBG di berbagai daerah.
Berdasarkan data BPOM per Kamis (2/10), tercatat 9.089 korban di 83 kabupaten/kota pada 28 provinsi.
JPPI melaporkan 8.649 anak terdampak hingga 27 September, termasuk 3.289 kasus baru dalam dua pekan terakhir.
Sementara BGN mencatat 6.517 kasus hingga akhir September. Lonjakan kasus terjadi sejak Juli, dengan puncaknya pada September yang mencatat 61 kejadian luar biasa (KLB).
Wilayah terdampak terbesar adalah Jawa Barat, termasuk Cipongkor dan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat.
"Apalagi dengan beberapa masukan dan kejadian beberapa waktu belakangan. Dan memang semangatnya
kita kan tentu ingin program ini berjalan dengan sebaik-baiknya. Jadi tunggu mohon waktu agak sebentar
supaya semuanya," ujar Prasetyo.
Ia menambahkan bahwa pemerintah tidak menggunakan istilah "sempurna", melainkan berupaya mengantisipasi sebanyak mungkin celah yang berpotensi menimbulkan masalah.
"Sebagai bentuk dari evaluasi dan perbaikan ke depan," tambahnya.
Situasi ini memicu desakan moratorium dari sejumlah organisasi masyarakat, lembaga advokasi anak, dan anggota legislatif.
Mereka meminta distribusi MBG dihentikan sementara hingga tata kelola dan pengawasan diperketat.
Namun Kepala BGN Dadan Hindayana menegaskan bahwa program tetap dijalankan sepanjang tidak ada perintah penghentian dari Presiden Prabowo Subianto.
"Di luar perintah itu, saya tetap melaksanakan," kata Dadan (2/10).
Ia menyebut banyak anak dan orang tua menantikan manfaat program ini.
Luhut Pandjaitan menyatakan bahwa MBG tidak perlu dihentikan karena proses perbaikan sedang berjalan.
Ia menyebut data pelaksanaan sudah diverifikasi dan menunjukkan tren membaik.
"Gak usah dihentikan. Kita lihat bagus kok. Kalau kurang di sana sini, ya kita perbaikin," ujarnya.
Luhut juga menyoroti dampak ekonomi MBG, termasuk penyerapan tenaga kerja dan meningkatnya permintaan bahan pangan.
Ia menyebut mulai terjadi kekurangan pasokan pisang, telur, ayam, ikan, dan sayuran.
"Pemda harus bangun kebun sayur, kebun pisang, dan seterusnya," katanya.
BGN memastikan Perpres Tata Kelola MBG akan segera terbit untuk memperjelas peran kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.
"Dengan Perpres, tata kelola MBG menjadi lebih kuat, transparan, dan akuntabel," kata Dadan.
Program MBG merupakan salah satu janji kampanye Presiden Prabowo yang mulai dijalankan sejak September 2025, menyasar anak-anak sekolah dasar dan madrasah.
Pemerintah menekankan bahwa evaluasi dan perbaikan terus dilakukan, bukan penghentian.
Ikuti berita populer lainnya di saluran berikut: Channel WA, Facebook, X (Twitter), YouTube, Threads, Telegram
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.