Berita Nasional Terkini
Gugat Uang Pensiun DPR ke MK, Syamsul Jahidin: Ketimpangan Nyata Bagi Rakyat Indonesia
Gugat uang pensiun DPR ke Mahkamah Konstitusi, Syamsul Jahidin: Ketimpangan nyata bagi rakyat Indonesia.
Penulis: Rita Noor Shobah | Editor: Heriani AM
TRIBUNKALTIM.CO - Syamsul Jahidin dan Lita Linggayani dengan tegas mengatakan uang pensiun seumur hidup untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI adalah bentuk ketimpangan nyata bagi rakyat Indonesia.
Pengacara konstitusional Syamsul Hajidin bersama psikolog dr. Lita Linggayani Gading resmi mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan tersebut menyoroti aturan tunjangan pensiun seumur hidup bagi mantan anggota DPR yang dinilai menciptakan ketimpangan dan merugikan keuangan negara.
Langkah hukum ini diajukan dalam perkara nomor 176/PUU-XXIII/2025, sebagai respons atas pernyataan sejumlah pimpinan DPR RI.
Baca juga: Gugat ke MK, Warga Minta DPR RI Dicoret dari Penerima Pensiun Seumur Hidup
Ketua DPR Puan Maharani sebelumnya menyebut bahwa gugatan tidak bisa dilakukan sepihak, sementara Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa lembaganya taat pada aturan yang berlaku.
Namun, menurut Syamsul, pernyataan tersebut bersifat normatif dan tidak menyentuh substansi keadilan sosial yang seharusnya menjadi landasan utama.
“Justru undang-undang itulah yang sedang kami uji. Kalau mau adil, harus dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Hanya itu caranya,” ujar Syamsul dalam wawancara, Senin (6/10/2025).
Tunjangan Seumur Hidup Dinilai Tidak Adil
Salah satu poin utama gugatan adalah keberadaan tunjangan pensiun seumur hidup bagi mantan anggota DPR, yang menurut Syamsul dan dr. Lita Gading menciptakan ketimpangan nyata.
Mereka menilai, seorang anggota DPR yang hanya menjabat selama beberapa bulan tetap berhak menerima pensiun, sementara rakyat biasa seperti ASN, TNI, dan Polri harus bekerja puluhan tahun untuk mendapatkan hak serupa.
“Ini angka besar untuk masa kerja yang sangat singkat. Rakyat Indonesia harus tahu, tidak ada yang memperhatikan hal ini selama puluhan tahun,” tegas Syamsul.
Berdasarkan perhitungan kasar, total anggaran pensiun untuk mantan anggota DPR bisa mencapai Rp226 miliar per tahun, dengan rata-rata Rp3,6 juta per orang.
Bahkan, ketua komisi bisa menerima hingga Rp16 juta per bulan, sementara ketua DPRD daerah bisa mencapai Rp30–40 juta.
Baca juga: Respons Puan Maharani soal Gugatan ke MK agar Tunjangan Pensiun Anggota DPR Dihapus
Latar Belakang Gugatan: Ketimpangan dan Keresahan Publik
Syamsul juga menyoroti berbagai keresahan publik yang menjadi latar belakang gugatan ini.
Di antaranya adalah fenomena artis yang menjadi anggota DPR tanpa kompetensi di bidang legislasi, serta ketimpangan gaji antara pensiunan DPR dan tenaga honorer di daerah yang hanya menerima Rp400 ribu per bulan.
“Anggota DPR yang seharusnya menjadi wakil rakyat, justru menikmati hak istimewa yang tidak sebanding dengan kontribusinya. Ini bukan sekadar keinginan, tapi keharusan untuk menggugat,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa gugatan ini murni berasal dari keresahan pribadi dan tidak ditunggangi oleh pihak manapun.
“Daripada memberi pensiunan DPR, lebih baik menggaji guru honorer. Negara harus adil,” tambahnya.
Sidang Perdana Dijadwalkan 10 Oktober
Sidang pendahuluan perkara ini dijadwalkan berlangsung di Mahkamah Konstitusi pada 10 Oktober 2025.
Syamsul menyatakan telah menyiapkan seluruh dokumen dan argumen hukum yang diperlukan untuk mendukung proses persidangan.
Melalui gugatan ini, Syamsul dan dr. Lita berharap MK dapat meninjau kembali Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 yang telah berlaku selama lebih dari empat dekade, dan mendorong reformasi sistem tunjangan pensiun agar lebih adil dan berpihak kepada kepentingan rakyat.
Baca juga: Gugatan Dana Pensiun DPR Jadi Pintu Masuk Reformasi Politik Versi KAMSRI
Sosok Lita Gading dan Syamsul Jahidin
Lita Linggayani Gading, yang akrab disapa dr. Lita Gading, lahir di Jakarta pada 10 September 1975.
Sebagai psikolog berpengalaman lebih dari dua dekade, ia dikenal sebagai praktisi klinis yang vokal dalam isu kesehatan jiwa dan sosial.
Pendidikannya yang solid di bidang psikologi menjadikannya narasumber andalan di media massa, termasuk komentarnya pada Mei 2024 tentang kasus kesurupan saksi pembunuhan Vina Cirebon yang menyoroti aspek kejiwaan.
Lita juga sempat menjadi sorotan pada Juli 2025 ketika dilaporkan ke polisi oleh musisi Ahmad Dhani atas tuduhan perundungan anak—kasus yang masih bergulir.
Di luar klinik, ia menjajal dunia hiburan sebagai artis televisi, membahas topik trauma dan gangguan mental yang sering terabaikan.
"Keadilan sosial dimulai dari pemahaman hak dan kewajiban yang adil," ujarnya dalam sebuah wawancara.
Sosok Syamsul Jahidin
Bersama Lita, Syamsul Jahidin membawa kekuatan hukum ke gugatan ini.
Pria asal Lombok ini adalah pengacara konstitusional dan managing partner di ANF Law Firm (terdaftar AHU-0000456-AH.01.22 Tahun 2022).
Saat ini, Syamsul sedang menempuh doktor (Dr. cand.) di Universitas 17 Agustus 1945 (UTA'45), setelah gelar S.I.Kom, S.H, magister hukum militer, dan komunikasi di STHM.
Sertifikasinya mencakup M.M, CIRP, CCSMS, CCA, dan C.Med, menjadikannya ahli di litigasi, kepailitan, mediasi, serta advokasi konstitusional.
Sebagai dosen hukum dan anggota Dewan Pengacara Nasional (DPN), ia aktif berbagi ilmu melalui Instagram @syamsul_jahidin, di mana ia membahas kasus-kasus kompleks dan ekspansi firma hukumnya.
"Hukum adalah alat untuk keadilan sosial," tulisnya dalam salah satu postingan, yang kini menjadi mantra bagi ribuan pengikutnya.
Gugatan ini lahir dari frustrasi bersama atas tunjangan pensiun DPR yang dianggap tak proporsional.
Yang Digugat
Berdasarkan Surat Menteri Keuangan No. S-520/MK.02/2016 dan Surat Edaran Setjen DPR No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, mantan anggota DPR yang menjabat hanya satu periode (lima tahun) berhak atas 60 persen gaji pokok seumur hidup, plus tunjangan hari tua Rp15 juta sekali bayar.
Sejak 1980, sekitar 5.175 penerima telah membebani APBN hingga Rp226 miliar.
"Rakyat bekerja 10-35 tahun untuk pensiun, sementara dewan hanya lima tahun sudah seumur hidup. Ini tidak adil," tegas Lita, yang merasa dirugikan sebagai wajib pajak.
Syamsul menambahkan bahwa status DPR sebagai Lembaga Tinggi Negara tak boleh jadi alasan hak istimewa, bertentangan dengan asas keadilan sosial UUD 1945.
Respons Puan Maharani
Ketua DPR RI Puan Maharani menanggapi gugatan warga tentang tunjangan pensiun anggota DPR yang diajukan ke MK.
Menurut Puan, aspirasi publik adalah hal yang sah dan perlu dihargai, namun pelaksanaannya tetap harus mengacu pada aturan hukum yang berlaku.
“Kita hargai aspirasi, tapi semuanya itu ada aturannya. Kita lihat dulu aturannya,” ujar Puan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (2/10/2025).
Puan menekankan bahwa regulasi soal pensiun tidak bisa dipandang dari sudut satu lembaga saja.
Ia menyebut, aturan tersebut bersifat menyeluruh dan berlaku lintas institusi.
“Tidak bisa kita hanya berbicara kepada satu lembaga atau lembaga, tapi aturannya ini kan menyeluruh. Jadi kita lihat aturan yang ada,” lanjut Ketua DPP PDIP itu.
Gugatan tersebut diajukan oleh dua warga, Lita Gading dan Syamsul Jahidin, yang resmi mendaftarkan permohonan uji materiil ke MK. Perkara tersebut teregister dengan nomor 176/PUU-XXIII/2025, sebagaimana tercantum di laman resmi MK pada Rabu (1/10/2025).
Dalam permohonannya, mereka meminta MK menguji Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi Negara, serta Bekas Pimpinan dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara. Fokus uji materi berada pada Pasal 1 huruf A dan F, serta Pasal 12.
Pemohon menilai, Pasal 1 huruf A membuka celah bagi anggota DPR yang hanya menjabat selama lima tahun untuk tetap memperoleh pensiun seumur hidup, bahkan dapat diwariskan. Mereka juga menyoroti besarnya beban APBN untuk membiayai pensiun DPR, yang disebut mencapai Rp226.015.434.000.
Skema pensiun DPR diatur dalam Pasal 13 UU 12/1980, yang menetapkan bahwa besaran pensiun pokok sebulan adalah 1 persen dari dasar pensiun untuk tiap satu bulan masa jabatan, dengan ketentuan minimal 6?n maksimal 75?ri dasar pensiun. Berdasarkan Surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2016 dan Surat Edaran Setjen DPR RI Nomor KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, pensiun DPR diperkirakan mencapai sekitar 60?ri gaji pokok.
Pemberian pensiun ini berlaku seumur hidup dan dapat diteruskan kepada pasangan yang masih hidup dengan jumlah lebih kecil apabila anggota DPR meninggal dunia. Selain itu, anggota DPR juga menerima Tunjangan Hari Tua (THT) sebesar Rp15 juta yang dibayarkan satu kali setelah masa jabatan berakhir.
Isu tunjangan DPR mencuat tak lama setelah demonstrasi besar-besaran yang berlangsung pada 25–31 Agustus 2025 di sejumlah kota, termasuk Jakarta, Bandung, dan Makassar.
Aksi yang semula digerakkan oleh mahasiswa dan kelompok sipil untuk menolak revisi UU Minerba dan RUU Keamanan Digital, berubah menjadi rusuh setelah muncul kabar kenaikan tunjangan rumah DPR dari Rp3,75 juta menjadi Rp50 juta per bulan. Kenaikan itu disebut sebagai kompensasi atas penghapusan rumah dinas anggota DPR.
Dalam pernyataan sebelumnya, Puan Maharani menyebut bahwa tunjangan tersebut bukan kenaikan gaji, melainkan penyesuaian fasilitas.
Namun, publik menilai nominalnya tidak proporsional di tengah tekanan ekonomi dan pemangkasan anggaran kementerian.
Respons Dasco
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, merespons soal adanya gugatan yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait aturan anggota DPR RI mendapatkan uang pensiun seumur hidup.
Aturan yang digugat adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan Administrasi Pimpinan dan Anggota Lembaga Tinggi Negara.
Gugatan permohonan uji materi itu masuk ke MK dengan nomor perkara 176/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh psikiater Lita Linggayani dan mahasiswa Syamsul Jahidin pada 30 September 2025.
Dasco mengatakan, selama ini DPR hanya mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.
Aturan soal anggota DPR bisa menerima uang pensiun seumur hidup ini juga dinilai Dasco sudah ada sejak lama.
"Ya sebenarnya kalau anggota DPR itu kan hanya mengikuti karena itu produk undang-undang yang sudah ada, sejak beberapa waktu yang lalu," kata Dasco dilansir Kompas TV, Jumat (3/10/2025).
Namun, terkait gugatan atas aturan penerimaan uang pensiun untuk Anggota DPR ini, Dasco menyebut DPR akan tunduk.
Sehingga apapun putusan MK atas gugatan aturan uang pensiun Anggota DPR, Dasco mengaku pihaknya akan patuh dan mengikutinya.
"Nah apapun itu kami akan tunduk dan patuh pada hukum apa namanya putusan Mahkamah Konstitusi."
"Apapun yang diputuskan kita akan ikut. Demikian," imbuh Dasco. (*)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Sindir Puan dan Dasco, Syamsul Ngotot Gugat Tunjangan Pensiunan DPR ke MK
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.