Berita Nasional Terkini
Link Live Streaming Pemakaman Pakubuwono XIII, Silsilah, Beda Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran
Live streaming pemakaman Pakubuwono XIII disiarkan dari Imogiri hari ini. Simak link resmi dan tonton nonton lewat HP
Ringkasan Berita:
- Prosesi pemakaman Pakubuwono XIII digelar hari ini, Rabu (5/11/2025), di Kompleks Makam Raja-Raja Mataram, Imogiri, Yogyakarta.
- Acara dimulai pukul 09.00 WIB dengan kirab jenazah dari Keraton Surakarta menuju Imogiri..
- Masyarakat dapat menonton melalui YouTube Keraton Surakarta, YouTube Pemkot Surakarta, dan Kompas TV.
- Pihak keraton mengimbau publik untuk mengakses link resmi guna menghindari tautan palsu di media sosial.
- Cek juga silsilah Keraton Solo dan perbedaannya dengan Pura Mangkunegaran.
TRIBUNKALTIM.CO - Prosesi pemakaman Sri Susuhunan Pakubuwono XIII disiarkan secara langsung hari ini, Rabu (5/11/2025), dari Kompleks Makam Raja-Raja Mataram, Imogiri, Bantul, Yogyakarta.
Live streaming pemakaman ini dapat disaksikan melalui kanal resmi Keraton Surakarta Hadiningrat serta sejumlah media nasional.
Siaran langsung dimulai sekitar pukul 09.00 WIB, diawali dengan kirab jenazah dari Keraton Surakarta menuju Imogiri.
Ribuan masyarakat turut menyaksikan prosesi sakral ini, baik langsung di lokasi maupun melalui tayangan daring.
Link Live Streaming Pemakaman Pakubuwono XIII
Siaran langsung dapat diakses melalui kanal berikut:
YouTube Keraton Surakarta Hadiningrat: youtube.com/@keratonsurakarta
YouTube Pemkot Surakarta: youtube.com/@pemkotsurakarta
TV Nasional: Kompas TV Link KLIK
Pihak keraton mengimbau masyarakat untuk hanya menonton melalui kanal resmi guna menghindari tautan palsu yang beredar di media sosial.
Baca juga: Sosok KGPAA Purbaya, Putra Mahkota Keraton Solo yang Jadi Sorotan Setelah Pakubuwono XIII Meninggal
Silsilah Keraton Solo dari Pakubuwono I hingga XIII
Wafatnya Sri Susuhunan Pakubuwono XIII pada Minggu (2/11/2025) menutup satu babak penting dalam sejarah panjang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, salah satu pusat peradaban Jawa yang berdiri lebih dari dua setengah abad.
Kepergiannya bukan hanya meninggalkan duka bagi masyarakat Solo, tetapi juga menjadi momen untuk kembali menelusuri silsilah para raja Keraton Solo, yang akarnya berasal dari Kerajaan Mataram Islam.
Asal-usul Keraton Kasunanan Surakarta
Dikutip dari Kompas.com, Keraton Solo atau Kasunanan Surakarta berdiri setelah Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, yang mengakhiri perang saudara antara Pangeran Prabasuyasa (Pakubuwono II), Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I), dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa).
Dalam perjanjian itu, wilayah Kerajaan Mataram Islam dibagi dua: Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dipimpin keturunan Pakubuwono.
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dipimpin Sultan Hamengkubuwono I.
Sejak saat itu, Surakarta berkembang menjadi pusat budaya dan spiritual Jawa, di mana gelar “Pakubuwono” menjadi simbol keberlanjutan tradisi Mataram.
Awal Dinasti Pakubuwono
Dinasti ini dimulai oleh Pakubuwono I (Pangeran Puger), putra Amangkurat I dan cucu Sultan Agung, raja besar Mataram.
a memimpin dari Keraton Kartasura sebelum pusat kerajaan dipindahkan ke Desa Sala pada 1745, yang kemudian menjadi Keraton Surakarta Hadiningrat.
Gelar panjang yang diwariskan kepada keturunannya adalah: “Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa.”
Daftar dan Silsilah Raja Keraton Surakarta
1. Pakubuwono I (1704–1719)
Nama asli: Pangeran Puger.
Dikenal sebagai raja yang berhasil menegakkan kembali legitimasi Mataram pascaperang saudara.
2. Pakubuwono II (1726–1749)
Nama asli: Raden Mas Prabasuyasa.
Memindahkan pusat kerajaan dari Kartasura ke Desa Sala akibat kerusuhan, yang menandai berdirinya Keraton Surakarta pada 1745.
3. Pakubuwono III (1749–1788)
Nama asli: Raden Mas Suryadi.
Pemerintahannya diwarnai konflik internal hingga lahirnya Perjanjian Giyanti (1755) yang memisahkan Surakarta dan Yogyakarta.
Baca juga: Alasan Putra Mahkota Keraton Solo Buat Status Nyesel Gabung Republik: Pertamax Oplosan hingga Sritex
4. Pakubuwono IV (1788–1820)
Nama asli: Raden Mas Subadya.
Raja religius yang menolak dominasi VOC dan dikenal dengan julukan Sunan Bagus karena ketampanannya.
5. Pakubuwono V (1820–1823)
Nama asli: Raden Mas Sugandi.
Berkuasa singkat, namun terkenal dengan kekayaan dan kesaktiannya.
6. Pakubuwono VI (1823–1830)
Nama asli: Raden Mas Sapardan.
Mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajahan Belanda.
Akhir hayatnya diasingkan ke Ambon hingga wafat pada 1849.
7. Pakubuwono VII (1830–1858)
Nama asli: Raden Mas Malikis Solihin.
Era stabilitas politik dan kemajuan kesusastraan Jawa di Surakarta.
8. Pakubuwono VIII (1858–1861)
Nama asli: Gusti Raden Mas Kuseini.
Raja pertama yang tidak berpoligami, naik takhta karena pendahulunya tidak memiliki putra mahkota.
9. Pakubuwono IX (1861–1893) Nama asli: Gusti Raden Mas Duksina. Memperkuat pembangunan fisik keraton dan memperindah kota Surakarta.
10. Pakubuwono X (1893–1939)
Nama asli: Gusti Raden Mas Sayyidin Malikul Husna.
Dikenal sebagai raja paling berpengaruh, mendukung pergerakan nasional, dan membawa Keraton Solo ke masa keemasan.
11. Pakubuwono XI (1939–1945)
Nama asli: Raden Mas Ontoseno.
Berkuasa di masa sulit pendudukan Jepang, ketika banyak aset keraton disita.
Baca juga: Wali Kota Balikpapan Terima Penghargaan Kereta Garuda Kencana Bermodel Eropa Dari Keraton Jogja
12. Pakubuwono XII (1945–2004)
Nama asli: Raden Mas Suryo Guritno.
Raja yang mendukung kemerdekaan Indonesia melalui Dekret Keraton Surakarta (1 September 1945).
Namun, status Daerah Istimewa Surakarta dicabut pada 1946 akibat kekacauan politik.
13. Pakubuwono XIII (2004–2025)
Nama asli: Kanjeng Gusti Pangeran Hangabehi (R.M. Suryo Partono).
Menjadi raja setelah konflik internal selama delapan tahun pasca wafatnya PB XII.
Dikenal menjaga adat, melestarikan budaya, dan menunjuk KGPH Purbaya sebagai putra mahkota pada 2022.
Wafat pada 2 November 2025, dan dimakamkan di Makam Raja-Raja Mataram, Imogiri, Yogyakarta.
Perjalanan Panjang Dinasti Pakubuwono Silsilah Keraton Surakarta menggambarkan kesinambungan darah Mataram Islam yang bertahan di tengah pergantian zaman, dari era kerajaan, masa kolonial, hingga kemerdekaan Republik Indonesia.
Meski kini kekuasaan politiknya telah beralih ke pemerintahan sipil, Keraton Solo tetap menjadi penjaga nilai-nilai luhur budaya Jawa.
Dinasti Pakubuwono menjadi bukti bahwa warisan spiritual, adat, dan tradisi dapat hidup berdampingan dengan modernitas.
5 Beda Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran
Kota Surakarta atau Solo memiliki dua ikon budaya dan sejarah yakni Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran.
Meskipun keduanya adalah pecahan dari Kerajaan Mataram Islam, namun ada perbedaan antara Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran.
Keraton Solo berlokasi di Jalan Kamandungan, Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon. Sedangkan, Pura Mangkunegaran berada di Jalan Ronggowarsito Nomor 83, Keprabon, Kecamatan Banjarsari.
Lantas, apa beda Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran? Berikut ulasannya seperti dihimpun Kompas.com.
1. Sejarah
Keraton Solo atau yang memiliki nama lengkap Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berdiri pada 1745, seperti dikutip dari laman Pemerintah Kota Surakarta.
Keraton Solo didirikan oleh Pakubuwono III sebagai pengganti Keraton Kartasura yang hancur akibat Geger Pecinan pada 1743.
Kemudian, pusat pemerintahan dipincahkan ke Desa Sala, atau yang kini dikenal sebagai Kota Solo.
Keraton Solo merupakan pecahan dari Kerajaan Mataram Islam.
Melalui Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, Kerajaan Mataram Islam terbagi menjadi Kasunanan Surakarta (Keraton Solo) dan Kasultanan Ngayogyakarta (Keraton Yogyakarta).
Keraton Solo dipimpin oleh Sunan Pakubuwono III, sedangkan Keraton Yogyakarta dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I.
Kedua pemimpin tersebut merupakan kakak adik, putra dari Sunan Amangkurat IV, penguasa Kerajaan Mataram Islam.
Sejarah Pura Mangkunegaran
Sementara itu, Pura Mangkunegaran berdiri setelah Keraton Solo, tepatnya pada 1757-1946.
Berdirinya Pura Mangkunegaran berawal dari kekecewaan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyowo yang tidak diikutkan dalam Perjanjian Giyanti.
Padahal, Raden Mas Said merupakan anak dari putra tertua Sunan Amangkurat IV, yang bernama Pangeran Arya Mangkunegara.
Namun, Pangeran Arya Mangkunegara diasingkan ke Srilanka hingga meninggal di sana karena melawan VOC.
Akibat kekecewaan itu, Raden Mas Said melakukan perlawanan baik kepada Sunan Pakubuwono III, Sultan Hamengkubuwono I, maupun VOC.
Sebagai jalan tengah, akhirnya digelar jalan damai melalui Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757.
Dalam perjanjian itu, Raden Mas Said diakui sebagai pangeran serta diberi wilayah otonom, yang merupakan cikal bakal Pura Mangkunegaran.
2. Status pemerintahan
Keraton Solo merupakan sebuah kerajaan atau kasunanan yang dipimpin langsung oleh seorang raja yang bergelar sunan.
Sementara itu, Pura Mangkunegaran merupakan sebuah kadipaten yang berada di bawah pemerintahan Keraton Solo.
Berdasarkan informasi dalam website Pemerintah Kota Solo, setiap pengangkatan pemimpin Pura Mangkunegaran harus mendapat persetujuan dari Pakubuwono III dan Belanda.
3. Gelar penguasa
Penguasa Keraton Solo berhak menyandang gelar sunan atau sultan.
Saat ini, Keraton Solo dipimpin oleh Sunan Pakubuwono XII.
Sedangkan, penguasa Pura Mangkunegaran tidak berhak menyandang gelar sunan ataupun sultan.
Sebab, status pemerintahannya adalah kadipaten yang berada di bawah kasunanan dan kasultanan, seperti dikutip dari Kompas.com (10/10/2021).
Apabila penguasa Keraton Solo bergelar Sunan Pakubuwono, maka gelar penguasa Kadipaten Mangkunegaran adalah Pangeran Adipati Aryo Mangkunegara.
Saat ini, Pura Mangkunegaran dipimpin oleh Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwa yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara X.
4. Wilayah kekuasaan
Lihat Foto Pelataran Kedaton Keraton Surakarta atau Keraton Solo(Wikimedia Commons) Cakupan wilayah antara Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran pun berbeda.
Mengutip dari situs Pemerintah Kota Solo, Mangkunegara I memiliki daerah kekuasan meliputi wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara, dan Kedu, sebagaimana tertulis dalam Perjanjian Salatiga.
Kemudian, pada September 1946, Mangkunegara VIII menyatakan bergabung dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun, revolusi sosial di Solo pada 1945-1946, menyebabkan Pura Mangkunegaran kehilangan kedaulatannya.
Walaupun demikian, Pura Mangkunegaran tetap memegang komitmen untuk menjalankan fungsinya sebagai penjaga budaya.
Sementara, sejak pengakuan de facto pada 16 Juni 1956, Pemerintah Kota Solo memiliki kewenangan mengatur daerahnya sendiri.
Maka, sejak itu Keraton Kasunanan Solo dan Pura Mangkunegaran tidak memiliki kekuasaan dalam pemerintahan.
Kini, keberadaan keduanya merupakan cagar budaya yang dilestarikan sekaligus wisata sejarah di Kota Solo.
5. Alun-alun
Pura Mangkunegaran memiliki alun-alun, seperti yang dimiliki oleh Keraton Solo.
Penataan Keraton Solo mengikuti konsep catur gatra tunggal atau empat unsur sebuah kota.
Meliputi istana kerajaan, alun-alun, masjid, dan pasar atau pusat perekonomian.
Oleh sebab itu, lokasi Keraton Solo dekat dengan Masjid Agung, Pasar Klewer, dan alun-alun.
Ikuti berita populer lainnya di saluran berikut: Channel WA, Facebook, X (Twitter), YouTube, Threads, Telegram
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltim/foto/bank/originals/20251102_Putra-Mahkota-Keraton-Solo_2.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.