Berita Nasional Terkini

Para Mantan Hakim yang Jadi Terdakwa Kasus Suap CPO Protes Dituntut Maksimal, Ini Alasan Mereka

Para terdakwa kasus dugaan suap majelis hakim pemberi vonis lepas atau ontslag kepada tiga korporasi CPO protes mendapat tuntutan maksilam dari JPU.

Kompas.com/Shela Octavia
BACAKAN PLEDOI - Hakim nonaktif Djuyamto tunjukkan buku lampiran pledoi dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (5/11/2025). Para terdakwa kasus dugaan suap majelis hakim pemberi vonis lepas atau ontslag kepada tiga korporasi CPO protes mendapat tuntutan maksilam dari JPU. (Kompas.com/Shela Octavia) 
Ringkasan Berita:
  • Lima mantan hakim akan menerima vonis pada 3 Desember 2025 terkait dugaan suap vonis lepas ekspor CPO
  • Terdakwa Muhammad Arif Nuryanta memprotes tuntutan 15 tahun penjara yang dinilai tidak adil dibanding kasus serupa.
  • Kubu terdakwa protes pengembalian uang suap tak dianggap hal yang meringankan

TRIBUNKALTIM.CO - Majelis hakim akan membacakan vonis bagi kelima terdakwa dalam kasus dugaan suap majelis hakim pemberi vonis lepas atau ontslag kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO) pada 3 Desember 2025.

Sebelum putusan hakim tersebut, para terdakwa menyampaikan protes atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Para terdakwa tersebut adalah para mantan hakim yang terlibat dalam suap majelis hakim pemberi vonis lepas atau ontslag kepada tiga korporasi crude palm oil. 

Para mantan hakim ini adalah Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dan Djuyamto, hakim yang dulu sering menangani perkara tindak pidana korupsi (Tipikor) di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Protes senada juga disampaikan oleh tiga terdakwa lainnya, Agam Syarif Baharudin, Ali Muhtarom, dan Wahyu Gunawan ketika membacakan duplik.

Para mantan hakim yang jadi terdakwa ini menyampaikan protes mereka atas tuntutan maksimal jaksa penuntut umum (JPU). 

Baca juga: Hakim Ali Muhtarom Sembunyikan Rp 5,5 Miliar di Kolong Kasur, Kasus Vonis Bebas Korupsi Ekspor CPO

Sebut jaksa tak adil 

Muhammad Arif Nuryanta menilai, jaksa tidak adil menuntut dengan lama pidana 15 tahun penjara.

Menurutnya, tuntutan ini tidak adil karena terlampau tinggi jika dibandingkan dengan tuntutan hakim dalam kasus serupa.

Misalnya, tuntutan terhadap eks Ketua PN Surabaya, Rudi Suparmono.

Diketahui, Rudi Suparmono dituntut tujuh tahun penjara dalam kasus perkara pengurusan vonis bebas kepada terdakwa perkara pembunuhan Gregorius Ronald Tannur.

“Bayangkan saja, disparitas tuntutan pidana antara terdakwa Rudi Suparmono dengan terdakwa Muhammad Arif Nuryanta,” ujar Pengacara terdakwa, Philipus Sitepu saat menyampaikan duplik dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025).

Kubu Arif Nuryanta menilai, besaran tuntutan Arif dan Rudi tidak adil karena jumlah pasal yang dikenakan pada mereka.

Baca juga: Profil Ali Muhtarom, Hakim Kasus Tom Lembong Jadi Tersangka Suap Vonis Lepas Korupsi Ekspor CPO

Arif dituntut dakwaan primer satu pasal, sementara Rudi dituntut dua pasal. Tapi, lama tuntutan justru lebih banyak Arif.

“Rudi Suparmono dituntut dengan 2 pasal yang berbeda, yakni Pasal 5 Ayat (2) dan Pasal 12B. Namun, tuntutan pidananya hanya 7 tahun pidana penjara. Sedangkan, terdakwa Muhammad Arif Nuryanta dituntut hanya 1 pasal saja yaitu Pasal 6 Ayat (2) namun tuntutan pidananya maksimal yaitu 15 tahun pidana penjara,” kata Philipus.

Kubu terdakwa menilai, perbedaan masa tuntutan ini tidak masuk akal dan tidak manusiawi.

Lebih lanjut, baik Arif maupun Rudi dinilai punya peran yang kurang lebih sama.

Keduanya bukan majelis hakim yang mengadili dan memutus perkara yang dipermasalahkan.

Mereka berada dalam posisi petinggi pengadilan yang menentukan majelis hakim yang akan mengadili perkara.

“Padahal Muhammad Arif Nuryanta dan Rudi Suparmono memiliki kesamaan dalam hal ini yaitu tidak berkapasitas sebagai majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara,” lanjut pengacara Arif.

Pada akhirnya, Rudi divonis sesuai tuntutan, yaitu 7 tahun penjara.

Dalam konstruksi dakwaan jaksa, baik Arif dan Rudi sama-sama dinilai berperan untuk mempengaruhi majelis hakim untuk menjatuhkan putusan seperti yang diminta oleh pihak penyuap.

Namun, dalam kasus Arif, ia membantah berperan aktif dan justru menyalahkan Panitera Muda PN Jakarta Utara nonaktif, Wahyu Gunawan sebagai pihak yang memungkinkan suap terjadi.

Baca juga: Penampakan Uang Rp13,2 Triliun Hasil Sitaan Korupsi CPO, Diserahkan Kejagung ke Menkeu Purbaya

Pengembalian uang suap tak dianggap keringanan

Tak hanya itu, kubu Arif Nuryanta juga protes karena jaksa tidak mempertimbangkan pengembalian uang suap sebagai hal yang meringankan tuntutan.

Kubu terdakwa menilai, tidak dipertimbangkannya pengembalian uang di kasus suap hakim CPO akan menjadi preseden buruk ke sidang-sidang di masa depan.

“Yang tidak dijadikan hal-hal meringankan terkait pengembalian uang yang sudah dikembalikan oleh terdakwa Muhammad Arif Nuryanta kepada negara menjadi contoh tidak baik ke depannya terhadap orang-orang yang dikenakan pasal Tipikor menjadi enggan untuk mengembalikan dugaan hasil Tipikor karena tidak diperhitungkan oleh jaksa penuntut umum,” ujar Philipus Sitepu.

Kubu terdakwa menilai, pengembalian uang hasil korupsi ini seharusnya masuk sebagai hal-hal meringankan.

Mereka pun menyinggung soal Pedoman Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Korupsi yang diterbitkan oleh Jaksa Agung RI.

“(Dalam pedoman itu) secara tegas telah mengatur mengenai dasar dan acuan penuntut umum dalam menyusun tuntutan pidana yang tidak terlepas di dalamnya mengatur mengenai bagaimana menyusun kerangka hal-hal meringankan bagi diri terdakwa, khususnya bahwa apabila ada pengembalian uang kepada negara,” lanjut Philipus.

Pihak terdakwa mengaku sangat dirugikan jika pengembalian uang suap tidak dianggap sebagai hal meringankan.

Untuk itu, mereka memohon agar majelis hakim bisa mempertimbangkan pengembalian uang negara ini sebagai salah satu hal yang meringankan perbuatan terdakwa.

“Kami memohon majelis hakim agar pada saatnya nanti dapat mempertimbangkan pengembalian uang hasil dugaan tipikor yang dilakukan terdakwa Muhammad Arif Nuryanta sebagai bagian hal yang dapat meringankan terdakwa dalam putusan nanti,” lanjut Philipus.

Dalam amar dupliknya, Arif Nuryanta meminta agar ia dijatuhkan hukuman sesuai dakwaan alternatif ketiga, yaitu Pasal 5 Ayat (2), yang juga dulu dituntutkan kepada Rudi Suparmono.

“Memohon agar majelis hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 5 Ayat (2) UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi,” kata Philipus.

Atau, jika hakim berpendapat lain, Arif Nuryanta meminta agar ia bisa dihukum dengan hukuman yang seringan-ringannya dan seadil-adilnya.

Djuyamto sebut Jaksa tak punya hati nurani

Protes serupa juga disampaikan oleh kubu Djuyamto.

Ia menilai, tuntutan 12 tahun merupakan hal yang tidak adil.

Kubu Djuyamto menilai, jaksa tidak punya hati nurani karena menuntut maksimal para terdakwa.

“Bahwa JPU telah menuntut terdakwa Djuyamto terbukti melanggar Pasal 5 Ayat (2) jo Pasal 18 jo Pasal 55 UU Tipikor dengan pidana penjara selama 12 tahun dengan denda uang pengganti sebesar Rp 9,5 miliar subsider 5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan adalah tuntutan yang tidak memiliki hati nurani dan jauh dari rasa keadilan,” ujar pengacara terdakwa Djuyamto saat membacakan duplik dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025).

Pengacara menyebutkan, jaksa tidak punya hati nurani karena tidak mempertimbangkan sikap kooperatif Djuyamto selama penyidikan.

Djuyamto mengklaim, dirinya telah mengajak dua terdakwa hakim lainnya, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin untuk membuka soal jumlah uang suap yang diterimanya.

“Sikap kooperatif terdakwa selama proses penyidikan yang ikut mendorong terdakwa yang lain khususnya saksi mahkota Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin untuk membuka kotak Pandora yang masih menjadi misteri khususnya terhadap jumlah uang yang nyata-nyata telah diterima oleh terdakwa dan rekan sesama majelis hakim perkara minyak goreng,” lanjut pengacara.

Lebih lanjut, Djuyamto mengklaim sudah mengembalikan seluruh uang suap yang diterimanya, yaitu sekitar Rp8,05 miliar.

Angka ini berbeda dengan uang suap yang didakwakan jaksa karena kubu meyakini kalau jumlah uang suap yang diterima Djuyamto berbeda dengan tuduhan jaksa.

Melalui duplik ini, Djuyamto meminta agar majelis hakim memberikan putusan yang seadil-adilnya, bukan hukuman paling ringan.

“Dan, saya selaku terdakwa, sebagaimana pledoi terdahulu tidak meminta hukuman seringan-ringannya, saya tegas meminta hukuman seadil-adilnya,” ujar Djuyamto saat menyampaikan duplik pribadi dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025).

Dalam duplik pribadinya ini, Djuyamto meyakini, majelis hakim yang akan menjatuhkan hukuman padanya, Effendi, Adek Nurhadi, dan Andi Saputra, akan menjatuhkan hukuman yang menegakkan hukum dan adil.

“Saya mengingatkan bahwa penegakan hukum yang ditugaskan ke yang mulia majelis hakim, saya percaya adalah tidak hanya sekadar menegakkan hukum tapi juga menegakkan keadilan sebagaimana dalam ketentuan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman,” lanjut Djuyamto.

Vonis 3 Desember

Setelah duplik selesai dibacakan, majelis hakim mengumumkan kalau vonis bagi kelima terdakwa akan dibacakan pada 3 Desember 2025.

“Sidang kita tunda Insya Allah akan kita buka 2 minggu ke depan hari Rabu, 3 Desember 2025 dengan agenda pembacaan putusan,” ujar Ketua Majelis hakim Effendi dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025). 

Effendi mengatakan, tahap pemeriksaan untuk kasus dugaan suap majelis hakim pemberi vonis lepas atau ontslag kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO) resmi ditutup setelah pembacaan duplik selesai.

Adapun, hakim membutuhkan waktu lebih panjang untuk bermusyawarah karena dalam kasus ini ada lima terdakwa.

“Mengingat perkara ini ada lima berkas, saksi cukup banyak, majelis sudah bersepakat kalau pembacaan putusan kami tunda dua minggu,” kata Effendi. 

Tuntutan para terdakwa

Dalam kasus ini, majelis hakim penerima suap yang terdiri dari Djuyamto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom masing-masing dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.

Para hakim juga dituntut untuk membayar uang pengganti sesuai total uang suap yang diterimanya.

Djuyamto selaku ketua majelis hakim dituntut membayar uang pengganti senilai Rp 9,5 miliar subsider 5 tahun penjara.

Sementara, dua hakim anggotanya, Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom, masing-masing dituntut untuk membayar uang pengganti Rp 6,2 miliar subsider 5 tahun penjara.

Adapun, Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.

Karena menerima uang suap, Arif juga dituntut untuk membayarkan uang pengganti sesuai jumlah suap yang diterimanya, senilai Rp 15,7 miliar subsider 5 tahun penjara.

Sementara itu, Panitera Muda PN Jakarta Utara Nonaktif Wahyu Gunawan dituntut 12 tahun penjara dengan dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan.

Wahyu merupakan jembatan antara pihak korporasi dengan pihak pengadilan.

Ia diketahui lebih dahulu mengenal Ariyanto yang merupakan pengacara korporasi CPO.

Pada saat yang sama, Wahyu juga mengenal dan cukup dekat dengan Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta.

Karena peran aktifnya, Wahyu pun kecipratan uang suap senilai Rp 2,4 miliar.

Tapi, jaksa menuntut agar uang suap itu dikembalikan dalam bentuk uang pengganti.

Jika tidak, harta benda Wahyu akan disita untuk negara

Ia juga diancam pidana tambahan kurungan 6 tahun penjara.

Dalam kasus ini, para terdakwa diduga telah menerima suap dengan total uang mencapai Rp 40 miliar.

Atas suap yang diterima, Djuyamto, Ali, dan Agam memutus vonis lepas untuk tiga korporasi, yaitu Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.

Kelima terdakwa diyakini telah melanggar Pasal 6 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved