Berita Samarinda Terkini

Inilah 3 Kunci Sukses Buat Bus Rapid Transit BRT Samarinda Versi MTI Kaltim

Tiopan Henry Manto Gultom, menegaskan bahwa moda transportasi massal yang paling realistis itu BRT Samarinda

Penulis: Sintya Alfatika Sari | Editor: Budi Susilo
TRIBUNKALTIM.CO/SINTYA ALFATIKA SARI
BRT DI SAMARINDA - Dominasi kendaraan pribadi yang terus meningkat tanpa diimbangi transportasi umum massal memperparah kepadatan lalu-lintas kota. Menurut pengamat transportasi Kaltim Tiopan Henry Manto Gultom, kondisi ini menambah biaya transportasi rumah tangga dan memperburuk tata kota, sehingga kehadiran angkutan publik modern seperti BRT menjadi kebutuhan mendesak, Senin (6/10/2025).  

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA — Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Kalimantan Timur, Tiopan Henry Manto Gultom, menegaskan bahwa moda transportasi massal yang paling realistis dan sesuai untuk Kota Samarinda adalah Bus Rapid Transit (BRT).

Menurutnya, pemilihan BRT mempertimbangkan ukuran kota, biaya konstruksi dan operasional, kemudahan pengembangan, hingga dampak sosial bagi masyarakat. 

“Kalau melihat kondisi Samarinda hari ini, BRT adalah pilihan paling tepat. Biayanya jauh lebih murah dibanding moda berbasis rel, namun kapasitasnya cukup besar dan fleksibel mengikuti kebutuhan kota,” jelas Tiopan.

Data BPS menunjukkan jumlah penduduk Samarinda diprediksi tembus 1,5 juta jiwa pada 2027.

Pertumbuhan penduduk yang pesat ini, kata Tiopan, akan berimplikasi langsung terhadap kebutuhan transportasi massal.

Baca juga: MTI Kaltim Yakin BRT Mampu Ubah Kebiasaan Pelajar Bawa Motor di Samarinda

Pertumbuhan penduduk di Samarinda cukup tinggi, sementara kendaraan bermotor bertambah hampir 100 ribu unit per tahun.

"Jika tanpa intervensi, kota ini akan terjebak kemacetan parah. BRT bisa menjadi solusi transisi menuju kota metropolitan,” tegasnya.

Tiopan merinci, keberhasilan BRT di Samarinda membutuhkan tiga aspek utama yakni prasarana, sarana, dan regulasi.

Terkait prasarana yang dimaksud adalah perbaikan ruas jalan yang akan menjadi jalur khusus BRT, rekayasa lalu lintas, integrasi dengan jalur pedestrian dan sepeda, hingga penerangan jalan di lokasi halte.

Sementara sarana merupakan pemilihan ukuran bus sesuai kebutuhan, tarif terjangkau, headway maksimal 15 menit, serta halte utama yang ramah pengguna.

Baca juga: Pesimis soal BRT, Ketua Komisi III DPRD Samarinda: Ada Budaya Warga yang Harus Dibangun

Untuk regulasinya, yakni penetapan jalur khusus bus yang steril dari kendaraan pribadi, sinkronisasi dengan RTRW kota, hingga penerapan penegakan hukum melalui ETLE di jalur BRT.

“BRT bukan sekadar mengganti angkot dengan bus besar. Sistemnya harus modern, ada kepastian jadwal, tarif elektronik, serta kenyamanan halte yang humanis. Jadi masyarakat benar-benar mau berpindah dari kendaraan pribadi ke angkutan umum,” ujarnya.

Tiopan juga menekankan pentingnya komitmen APBD dalam mendukung operasional BRT.

Ia mencontohkan 35 pemda di Indonesia yang sudah mengalokasikan subsidi untuk angkutan umum, bahkan Pekanbaru dan Semarang menetapkan 5 persen dari APBD.

Memang butuh biaya besar, tapi multiplier effect-nya jauh lebih besar. Ada penciptaan lapangan kerja baru, penghematan biaya transportasi rumah tangga, hingga peningkatan daya beli masyarakat.

"Dana yang tadinya habis untuk BBM bisa berputar ke sektor konsumsi lain,” paparnya.

Sebagai gambaran, Tiopan menyebut sistem BRT di Bogotá, Kolombia, bisa menjadi acuan. Dengan desain koridor yang tepat, kapasitas angkut BRT bisa mencapai 45 ribu penumpang per jam per arah.

“Tidak ada alasan untuk menunda. Kota dengan populasi menengah seperti Samarinda cocok sekali dengan BRT. Tinggal bagaimana political will pemerintah kota untuk menjadikannya prioritas,” pungkasnya.

(*)

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved