Kasus Pencabulan Balita

Tim Pembela Yakin FR Akan Bebas di Sidang Vonis Dugaan Asusila Anak Kandung di Balikpapan

Sidang vonis dugaan asusila anak kandung di Balikpapan segera diputus, pembela yakin terdakwa FR bakal bebas.

TRIBUNKALTIM.CO/MOHAMMAD ZEIN RAHMATULLAH
VONIS BEBAS - Salah seorang penasehat hukum terdakwa FR, Jaludin, optimis kliennya akan divonis bebas dalam kasus dugaan asusila anak kandung di Balikpapan. Ia menilai tidak ada bukti sah yang menunjukkan FR sebagai pelaku, sehingga putusan seharusnya berupa vrijspraak. (TRIBUNKALTIM.CO/MOHAMMAD ZEIN RAHMATULLAH) 
Ringkasan Berita:
  • Sidang putusan kasus dugaan asusila anak kandung FR digelar 5 November 2025.
  • Pembela yakin terdakwa akan bebas karena bukti dianggap tidak memenuhi unsur.
  • Jaksa menilai tuntutan 7 tahun telah sesuai pertimbangan fakta dan psikologis.

 

TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Sidang vonis dugaan asusila anak kandung Balikpapan kini menjadi perhatian publik karena kasus ini memasuki tahap penentuan putusan di Pengadilan Negeri Balikpapan

Mengacu jadwal resmi PN Balikpapan, agenda pembacaan vonis atas terdakwa berinisial FR (30) dijadwalkan berlangsung pada Rabu (5/11/2025).

Kasus ini bergulir panjang dan kini menjadi salah satu perkara yang paling ditunggu hasil akhirnya, baik oleh keluarga maupun publik pemerhati isu perlindungan anak.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut FR dengan hukuman tujuh tahun penjara berdasarkan Pasal 82 Ayat (1) UU No.17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

Sementara itu, salah seorang penasehat hukum terdakwa FR, Jaludin, menyatakan keyakinannya bahwa kliennya akan divonis bebas oleh majelis hakim.

Baca juga: Kejari Balikpapan Beberkan Alasan di Balik Tuntutan 7 Tahun untuk Ayah Pelaku Asusila Anak Kandung

"Kami optimis dan percaya bahwa FR akan bebas," ujar Jaludin, Senin (3/11/2025).

BUKTI TAK KUAT – Penasihat hukum Jaludin (kanan) mendampingi terdakwa FR (tengah) usai mengikuti sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Balikpapan, Rabu (15/10/2025). Dalam sidang tersebut, Jaksa Penuntut Umum menuntut FR dengan hukuman tujuh tahun penjara atas dugaan tindak asusila terhadap anak kandungnya, sementara pihak pembela menilai proses hukum terlalu terburu-buru dan bukti belum kuat. (TRIBUNKALTIM.CO/MOHAMMAD ZEIN RAHMATULLAH)
BUKTI TAK KUAT – Penasihat hukum Jaludin (kanan) mendampingi terdakwa FR (tengah) usai mengikuti sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Balikpapan, Rabu (15/10/2025).  (TRIBUNKALTIM.CO/MOHAMMAD ZEIN RAHMATULLAH)

Ia menegaskan bahwa keyakinannya didasari oleh integritas hakim di PN Balikpapan dan fakta-fakta persidangan yang telah terungkap.

Dia membeberkan, dalam hukum pidana terdapat dua jenis putusan bebas, yaitu 'onslag van recht vervolging' yakni perbuatan terbukti tetapi bukan tindak pidana, serta 'vrijspraak' yang berarti perbuatan tidak terbukti dilakukan oleh terdakwa.

"Kami yakin putusannya nanti adalah 'vrijspraak', karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa FR adalah pelakunya," ujarnya.

Jaludin menjelaskan, dasar keyakinan itu tertuang dalam pledoi yang diajukan tim pembela, terdiri atas dua analisis, yakni analisis yuridis dan analisis fakta persidangan.

Baca juga: Dugaan Asusila Anak Kandung di Balikpapan Diklaim tak Terbukti, Proses Hukum Terburu-buru

Dalam perkara tersebut, terdapat 15 saksi yang diajukan, tetapi hanya tujuh orang yang diperiksa.

Dari tujuh saksi yang dihadirkan, lanjut Jaludin, tidak satu pun memberikan keterangan yang relevan dengan pokok perkara.

Ia menilai keterangan para saksi justru memperkuat bahwa bukan FR pelakunya.

"Jika perkara ini tetap diteruskan, maka itu menjadi persidangan yang sesat, karena pembuktiannya tidak layak dijadikan dasar putusan," ucapnya.

Jaludin menambahkan, saksi-saksi lain yang tidak dihadirkan ditolak oleh hakim karena dianggap tidak relevan dengan pokok perkara.

Baca juga: Pelaku Kasus Dugaan Asusila Anak Kandung di Balikpapan Dituntut 7 Tahun Penjara

Ia juga menuturkan bahwa nihilnya alat bukti surat dalam persidangan yang membuktikan kliennya bersalah. 

"Bahkan bukti percakapan antara terdakwa dan istrinya tidak menunjukkan bahwa FR pelakunya," jelasnya.

Selain saksi, pihak jaksa juga menghadirkan lima ahli di antaranya ahli pidana, ahli forensik dari RS Kanujoso, ahli dari UPTD PPA Balikpapan, serta ahli psikolog.

Namun, dalam hukum pembuktian, keterangan ahli hanya dihitung sebagai satu alat bukti.

"Untuk menyatakan seseorang bersalah, minimal dibutuhkan dua alat bukti yang sah. Jadi, jika hanya mengandalkan keterangan ahli, belum cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa," terang Jaludin.

Baca juga: Ahli DP3AK Bersaksi dalam Sidang Kasus Ayah Cabuli Anak Kandung di Balikpapan

Sedangkan hasil visum yang diajukan sebagai bukti, kata Jaludin, turut masuk kategori keterangan ahli.

Dalam kesaksian ahli, ditemukan robekan pada area vagina korban yang diduga akibat masuknya jari.

Namun, menurut Jaludin, keterangan itu bersifat dugaan dan tidak membuktikan bahwa FR adalah pelaku.

"Ahli hanya menyebut ‘patut diduga’ tanpa kepastian. Jadi, tidak bisa dijadikan dasar menyatakan ada tindak pidana," tegasnya.

Ia menilai jika perkara ini tetap dipaksakan, maka proses pidana menjadi cacat hukum.

Baca juga: Pak De Jadi Saksi Sidang Pencabulan Anak Kandung di Balikpapan, Lega Bisa Bicara

Hanya saja, meski JPU telah menuntut FR dengan hukuman tujuh tahun, Jaludin menegaskan pihaknya tetap menghargai proses hukum yang berjalan.

"Hakim, jaksa, polisi, dan pengacara sama-sama penegak hukum. Namun, dari perspektif kami, arah putusan sudah bisa terbaca," ujarnya.

Ia mengungkapkan bahwa selama proses persidangan, pertanyaan-pertanyaan hakim menunjukkan arah pembuktian yang tidak menguatkan tuduhan terhadap FR.

Karena itu, pihaknya meyakini majelis hakim akan menjatuhkan putusan bebas.

"Integritas hakim di Pengadilan Negeri Balikpapan sangat baik dan tidak diragukan. Kami percaya putusan nanti akan berupa 'vrijspraak'," tambahnya.

Baca juga: Sidang Lanjutan Kasus Asusila Anak Kandung di Balikpapan, Ibu Korban Dihadirkan

Disinggung jika Majelis Hakim tetap menjatuhkan hukuman, Jaludin menegaskan tidak membuka opsi selain bebas.

"Dalam hukum pidana tidak dikenal sistem hitam-putih yang memaksakan seseorang dianggap bersalah hanya karena sudah menjalani masa tahanan," katanya.

Ia mencontohkan, dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, hukuman minimal adalah lima tahun penjara.

Maka, tidak bisa seorang terdakwa dijatuhi hukuman ringan seperti tiga bulan hanya karena sudah sempat ditahan.

"Jika tidak terbukti, maka harus bebas. Tidak ada ruang kompromi dalam hal pembuktian," ujarnya.

Menurut Jaludin, memang keputusan apapun tetap berada di tangan hakim.

Namun, pihaknya tetap berpegang pada keyakinan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.

"Kami yakin hakim akan memutus sesuai hati nurani dan bukti hukum, bukan berdasarkan tekanan atau asumsi," tuturnya.

Terpisah, Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Balikpapan, Er Handaya Artha Wijaya, melalui Jaksa Penuntut Umum, Hentin Pasaribu, memastikan, keputusan menentukan tuntutan 7 tahun telah melalui pertimbangan matang.

Menurut Hentin, setiap perkara memiliki latar belakang dan dampak yang berbeda.

"Ada karakteristik yang berbeda-beda dan pertimbangan yang berbeda-beda juga. Kita melihat si FR ini dekat dengan anaknya dan pencari nafkah untuk keluarganya," ujarnya.

Hentin menyebut, meskipun terdakwa merupakan ayah kandung korban, penegakan hukum tetap dijalankan secara objektif.

"Kita bukan menutup mata terhadap perlakuan itu. Walaupun korban itu anaknya, tapi kita lihat juga kedekatan dengan korban. Istrinya menerangkan bahwa anaknya tidak bisa jauh dari ayahnya, jadi kita pikirkan itu juga," kata Hentin.

Selain itu, pertimbangan psikologis anak juga menjadi salah satu alasan tuntutan tidak diajukan terlalu berat.

Hentin menjelaskan, korban yang masih balita belum menunjukkan tanda-tanda trauma mendalam.

Sehingga faktor tersebut turut menjadi bahan evaluasi dalam menentukan beratnya hukuman.

Ia menambahkan, pemidanaan berat tidak selalu menjadi solusi atas setiap kasus.

Jaksa berharap hukuman tujuh tahun itu dapat memberi efek jera tanpa memutus hubungan emosional antara ayah dan anak.

Selain itu, ia berharap terdakwa tidak mengulangi perbuatannya serta dapat memperbaiki diri setelah menjalani masa hukuman.

"Yang kita pikirkan bukan hanya ayahnya, tapi juga keluarganya. Kita tidak hanya memikirkan hukuman berat untuk pelaku, tapi juga akibat sosialnya terhadap keluarga," tegasnya. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved