Berita Eksklusif

Kisah Suram Buruh Industri Kayu di Kaltim, Lembur Berkurang hingga Menunggu Sisa Gaji

Di era itu, bisa dikatakan era emas industri perkayuan di Kaltim. Subroto masih ingat, kayu-kayu log masuk ke pabrik dihanyutkan lewat Sungai Mahakam

Editor: Sumarsono
TRIBUN KALTIM/NEVRIANTO HP
Aktivitas karyawan di salah perusahaan kayu Samarinda saat masa kejaaan industri perkayuan di Kaltim. Kini kondisi industri kayu di Samarinda menurun. 

TRIBUNKALTIM.CO - WAKTU menunjukkan pukul 18.00 Wita. Suara sirene membahana di seantero kawasan Bukuan, Samarinda. Ratusan orang mengendarai sepeda motor berlomba dengan debu keluar dari pabrik. Arah berlawanan ratusan orang gantian memasuki gedung berpagar kayu itu. Suara melengking sirine penanda waktu pergantian kerja dimulai.

RUTINITAS seperti ini dilakoni Subroto, buruh kayu selama 28 tahun. Sore itu, Subroto baru saja pulang dari berkebun. Dia mengaku, tak mengantuk usai kerja semalam bergadang di pabrik. Tidur beberapa jam usai pergantian kerja dirasa cukup bagi pria berusia 55 tahun itu. "Kalau ngga dibawa gerak malah capek mas," kata Bapak dua anak ini saat ditemui Tribun di rumahnya, Rabu (26/2).

Pria kelahiran Blitar, Jawa Timur ini bercerita, awal kepincut merantau ke Kaltim karena tersiar kabar di Bumi Etam sedang jaya-jayanya pabrik pengolahan kayu. Tahun 1987, ia memberanikan diri hijrah dari ke Kutai Kartanegara. Namun, hanya bekerja sebentar di sana, ia tak kerasan karena niatan masuk sebagai buruh di pabrik kayu belum kesampaian.

Akibat Kebocoran, Prabowo Sebut Kekayaan Negara Rp 11 Ribu Triliun Mengalir ke Luar Negeri

Hingga akhirnya dia pindah ke Samarinda, persisnya di Desa Bukuan, Kecamatan Palaran, Samarinda. Di desa itu, dalam ingatan dia, terdapat 10 perusahan kayu. Lamaran pun langsung ia layangkan ke perusahan kayu PT Tirta Mahakam. Tahun 90-an, ia diterima di perusahan pengolahan kayu yang didirikan April 1982.

Di era itu, bisa dikatakan era emas industri perkayuan di Kaltim. Subroto masih ingat, kayu-kayu log yang datang ke pabrik dihanyutkan lewat Sungai Mahakam, bervariasi jenisnya. Mulai Meranti, Kapur sampai Keruang.

"Ada yang diameternya 60-180 cm. Itu kayu buat plywood ekspor. Dari 1990 sampai 2009, kayu masih mulus," ujar pria yang kini bekerja di bagian Log Pond itu.

Pasokan kayu yang terjaga membuat pembuatan berbagai jenis bahan olahan seperti kayu lapis untuk diekspor ke negara Asia Timur sepeti Jepang dan Korea Selatan bahkan Eropa itu tergolong baik. Pabrik yang kala itu dioperasikan 2 ribuan buruh itu beroperasi 24 jam dengan 2-3 pergantian waktu kerja. Per shif kerja normalnya 8 jam kerja, di luar lembur yang bisa 3-4 jam per hari.

"Dulu sampai 2009 lemburan banyak, full. Kita kerja dari jam 7 pagi sampai malam. Otomatis gaji dan uang lemburan banyak," ujarnya.

Beranjak 2009 hingga 2018, dirinya merasa mulai ada efisiensi produksi di tempatnya bekerja. Indikator terlihat dari kuantitas dan kualitas kayu. Saat ini, bukan hanya kayu bertekstur keras, khusus plywood yang didatangkan seperti dulu, melainkan campuran berbagai jenis, misalnya sengon atau jambon.

Sepengetahuan dia, kayu campuran itu kiriman dari pengusaha yang memperolehnya izin pemanfaatan kawasan. Sederhananya, kayu bekas pembukaan lahan untuk industri lain.

Bahkan, dari informasi yang ia dapat, pernah suatu ketika, ketiaka bahan baku kayu sudah susah didapatkan di Kaltim, sempat ada lagi yang didatangkan dari Papua sampai Aceh. Saat ini, rata-rata kayu yang ia angkut ke pabrik, kebanyakan berasal dari Malinau.

Dilan 1991 Tayang Perdana Hari Ini, Cek Jadwal Tayang di Bioskop Balikpapan dan Samarinda

Ketersediaan kayu itupun mempengaruhi jam kerja yang berkorelasi dengan pendapatan. Dahulu, di masa emas kayu, ia biasa bekerja 6 hari dalam seminggu, kadang setuju mengambil lembur. Saat ini, hanya 5 hari ia bekerja dengan tiga pergantian kerja, lembur pun hanya berkisar 1,2 jam, dan tak tiap hari. Tiap buruh pun rutin dapat jatah susu bulanan hingga sekarang.

"Kalau ngandelin gaji saja paling Rp 2,6 jutaaan sebulan. Ditambah bonus dan lemburan bisa Rp 7 jutaan lah gaji yang dibawa pulang," ujar Subroto yang dikenal sebagai tokoh masyarakat di kawasan Bukuan.

Di luar naik turunnya kondisi tempat ia bekerja, dia masih bersyukur pabriknya tergolong berdaya tahan tingginya. Dari 10 perusahan kayu di Kecamatan Palaran yang ia tahu, tersisa 2 saja yang beroperasi hingga sekarang. Sisanya kolaps.

Bahkan, jumlah buruhnya terhitung stabil di angka 2 ribuan dari pertama dia masuk hingga sekarang. Walaupun, saat ini, setengahnya diisi, pekerja kontrak, alihdaya dan borongan. Rata-rata mereka mendapatkan pendapatan bersih berkisar Rp 3,5 sampai Rp 5 juta.

Sumber: Tribun Kaltim
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved