Kolom Rehat

Hilang tapi Terus Mengada

Wiji Thukul adalah penyair kehidupan. Kehidupan yang kere dan terindas. Ia menyuarakan kemiskinan dan penderitaan.

Oleh: ARIF ER RACHMAN

...
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
...
Maka hanya ada satu kata: lawan!

LUKMAN alias MC Luke Prakasa memberi tahu lewat Path tentang 'Malam Apresiasi Puisi Wiji Thukul' yang digelar di sebuah cafe di bilangan Gunung Sari Ilir, Kamis (27/8) malam.

Pembawa acara yang makin kondang di Balikpapan dan selalu menyapa saya dengan "Om" itu mengaku akan hadir dan membacakan puisi-puisi Wiji Thukul.

Saya sebenarnya sangat tertarik untuk hadir, tapi karena waktu acara bersamaan dengan jam kerja, saya memilih menuaikan kewajiban kerja yang menurut orang bijak adalah pengejawantahan dari cinta.

Saya tertarik hadir karena Wiji Thukul adalah salah satu penyair yang karya-karyanya saya kenal dengan baik dan menjadi pilihan untuk saya bacakan di depan orang (kalau ada kesempatan) di samping puisi-puisi Rendra.

Puisi-puisi penyair pelo (cadel) bernama asli Widji Widodo itu sangat sederhana dengan tema-tema kecil yang terjadi di sekitarnya dan tanpa kalimat-kalimat indah atau pun diindah-indahkan.

Puisi-puisi Wiji Thukul membuat saya cemburu. "Kalau cuma menulis puisi seperti ini, saya juga sebenarnya bisa," batin saya. Tapi persoalannya, dia menuliskannya dan saya tidak.

Kalau pun saya kemudian menulis puisi seperti itu, itu saya lakukan karena cemburu, sedangkan Wiji Thukul menulisnya karena benar-benar melihat dan mengalaminya.

Wiji Thukul adalah penyair kehidupan. Kehidupan yang kere dan terindas. Ia menyuarakan kemiskinan dan penderitaan.

Orang-orang dalam puisinya adalah orang-orang melarat, orang-orang kalah, orang-orang yang hanya hidup dari hari ke hari, orang orang yang ketika "jalan dilebarkan... terusir', ketika "mendirikan kampung ... digusur."

Wiji Thukul menulis itu semua karena ia sendiri adalah bagian dari orang miskin dan tertindas tersebut. Ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara, lahir dari keluarga sangat sederhana pada 26 Agustus 1963 di Solo, Jawa Tengah.

Ayahnya penarik becak, sedangkan ibunya terpaksa menjual ayam bumbu untuk membantu perekonomian keluarga.

Wiji Thukul pernah bersekolah di SMP Negeri 8 Solo dan melanjutkan pendidikannya hingga kelas dua di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia jurusan tari.

Ia kemudian berhenti sekolah karena orangtuanya tak sanggup lagi mengongkosi.

Halaman
12
Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Maraknya Fenomena Sound Horeg

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved