Ini Alasan PBB Berikan Equator Prize untuk Komunitas Adat Dayak Benuaq
Komunitas ini mempertahankan lingkungan hidup mereka dari ‘rampasan’ korporasi seperti HPH, sawit dan tambang sejak puluhan tahun silam
TRIBUNKALTIM.CO - Inilah alasan kenapa badan organisasi dunia PBB (UNDP) memberikan penghargaan lingkungan internasional, Equator Prize, kepada Komunitas Adat Muara Tae, salah satu anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Kutai Barat, Kalimantan Timur, Indonesia. Penghargaan diumumkan di New York, AS, Senin (21/9/2015) malam waktu setempat.
Perjuangan komunitas ini mempertahankan lingkungan hidup mereka dari ‘rampasan’ korporasi seperti HPH, sawit dan tambang sejak puluhan tahun silam. Korporasi datang merampas wilayah adat, hutan, sungai mereka. Perampasan hutan adat komunitas ini masuk salah satu kasus yang ditangani dalam Inkuiri Nasional Komnas HAM.
“Mereka berjuang di berbagai arena, saat ini tanah mereka makin berkurang,” kata Rukka Sambolinggi, Deputi II Bidang Advokasi AMAN seperti dikutip dari Mongabay.co.
Baca: Jalan-jalan ke Rusia
Modus perusahaan masuk, katanya, dengan berbagai cara, dari mengadu domba warga, janji palsu bahkan memobilisasi komunitas tetangga (Muara Ponak) untuk mengakui kepemilikan tanah di Muara Tae—lalu menyerahkan ke perusahaan. “Pemerintah daerah tak berpihak. Bahkan setelah inkuiri nasional, ketua adat yang melawan sawit malah dipecat oleh Presidium Dewan Adat Kutai Barat.”
Equator Prize diinisiasi oleh badan PBB (UNDP) untuk menghargai upaya luar biasa masyarakat lokal dan adat dalam menjaga dan mempertahankan kelestarian alam di lingkungannya. Equator Prize 2015, sebagaimana dikutip dari en.wikipedia.org, diberikan kepada 20 inisiatif masyarakat lokal dan adat. Pemenang penghargaan khatulistiwa ini akan mendapatkan US$ 10.000 dan didukung untuk berpartisipasi dalam serangkaian acara khusus pada Konferensi Perubahan Iklim PBB di Paris, Prancis pada Desember 2015.
Menurut Abdon Nababan, Sekjen AMAN, Komunitas Muara Tae ini kumpulan pejuang yang tak kenal menyerah mempertahankan hutan adat mereka. Perusahaan, katanya, silih berganti berusaha menaklukkan mereka dengan sokongan pemerintah pusat dan daerah. “Teranyar, bupati memberhentikan kepala desa dilanjutkan pemecatan kepala adat oleh Presidium Dewan Adat, agar mereka menyerahkan wilayah dan hutan kepada perusahaan sawit,” katanya kala dihubungi Mongabay.
Penggundulan hutan di Muara Tae, Kutai Barat, Kalimantan Timur untuk perkebunan kelapa sawit
FOTO: MONGOBAY/TELAPAK
Meskipun tekanan begitu kuat, komunitas ini terus bertahan bahkan bekerja kerja merestorasi lahan yang dirusak perusahaan dengan menanam kembali pohon-pohon asli.
“Penghargaan ini sangat layak untuk Kampung Muara Tae. Buat keberanian dan keteguhan mereka melawan persekongkolan pemerintah kabupaten, perusahaan sawit, tambang dan elit lokal Dayak yang bekerja untuk kepentingan perusahaan.”
Sandra Moniaga, Komisioner Komnas HAM senang dan mengucapkan selamat kepada Komunitas Muara Tae telah menerima penghargaan ini. “Mereka memang berjuang luar biasa dan berbagai cara untuk mendapatkan kembali wilayah adat, termasuk hutan dan kebun mereka.”
Meskipun begitu, katanya, masalah penguasaan dan pengelolaan wilayah mereka belum selesai. Inkuiri Nasional Komnas HAM telah merekomendasikan beberapa hal namun belum berjalan. Pertama, Pemerintah Kutai Barat, memoratorium perizinan dan meninjau kembali batas wilayah serta evaluasi izin lokasi maupun usaha yang sudah diterbitkan. Kedua, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN agar menunda penerbitan HGU untuk PT PT Borneo Surya Jaya Mining (BSMJ) dan PT Munte Wanig Jaya Perkasa (MWJP). Juga plus rekomendasi umum kepada Polri.
Sandra berharap, penghargaan Equator Prize ini bisa ditindaklanjuti oleh Presiden dengan memberikan kepastian perlindungan kepada masyarakat adat. “Ini perlu aksi cepat dan final melibatkan berbagai kementerian dan lembaga terkait.”