Kolom Rehat
Jazz dan Reporter Muda
Yang saya ingin saya ceritakan adalah kisah lucu reporter muda yang diminta redakturnya meliput festival jazz.
oleh: ARIF ER RACHMAN
BEBERAPA hari lalu saya ditelepon Ketua Balikpapan Jazz Lovers (BJL), Ahmad Jailani. Dia menginformasikan soal rencana membawa kelompok jazz Balikpapan ikut ambil bagian dalam ajang 'Ngayogja Jazz' dan 'Surabaya Jazz Traffic' yang digelar November nanti.
Bung Jailani memang selalu menginformasikan berbagai events jazz ke saya karena selain saya ikut mendirikan BJL bersamanya dan kawan-kawan lain sekitar tujuh tahun lalu, saya melalui Tribun Kaltim juga selalu mendukung acara yang digelar BJL.
Ngomong-ngomong soal jazz, belasan tahun silam saya punya kolom rutin seminggu sekali seperti kolom "Rehat" ini di media tempat saya bekerja di Surabaya.
Kolom bernama "Jazziana" itu saya isi bergantian bersama seorang rekan editor lain. Tapi saya tidak ingin bercerita soal itu di sini.
Yang saya ingin saya ceritakan adalah kisah lucu reporter muda yang diminta redakturnya meliput festival jazz. Setelah dua jam lebih meninggalkan kantor, si reporter datang tanpa menulis berita. Ketika ditanya, ia menjawab: "Saya tunggu satu jam lebih, tapi band-nya gak main main, Mas. Gak ada yang nyanyi. Cuma latihan ngawur-ngawuran, check sound terus kayaknya."
Setelah mendengar penjelasan itu, redakturnya ngomel-ngomel: "Sing jenenge jazz yo iku, sing awakmu kira latihan check sound mau. Jazz gak mesti ono lagune, rek."
Saya tersenyum dan nyaris tertawa ngakak mendengar sang redaktur mengomel karena anak buahnya rupanya tidak mengerti musik jazz dan mengira komposisi yang dimainkan hanya sebagai "ngawur" dan seperti "check sound"
Dan sebagai rekan yang baik saya pun memberikan 'kuliah' singkat soal jazz pada si reporter muda. Memang pada umumnya, jika mendengarkan improvisasi dalam jazz, orang awam biasanya melihat sang musisi memainkan nada seperti asal-asalan.
Tentu saja, pendapat itu tidak bisa dibenarkan. Tapi anehnya kesalahpahaman atau "prinsip jazz yang salah" itu menyebar pada bentuk-bentuk seni lain.
Para pelukis, pembuat film, pemain teater atau seniman lain baik dalam atau luar negeri sering membenarkan adanya improvisasi yang tidak tertata. "Just making it all up, like jazz!". Begitu kurang lebih kata mereka.
Sebenarnya, saya jelaskan pada si reporter, improvisasi dalam jazz tidak semudah dan sesederhana itu. Kita tidak bisa menyebutnya ngawur atau asal-asalan.
Dulu, para musisi pra-jazz dalam marching band di New Orleans (tempat yang dikenal sebagai asal musik jazz) selalu dapat memainkan nada lagu dengan mudah dan seenaknya sehingga seolah tampak main-main. Tapi sebenarnya hal itu dapat mereka lakukan setelah melalui proses panjang.
Nada-nada yang dimainkan itu, karena umumnya adalah lagu-lagu gospel yang sudah mereka ketahui sejak kanak-kanak dan telah mereka mainkan berulang-ulang. Dan karena itulah mereka dapat menguasai nada-nada tersebut di luar kepala (by heart).
Dengan penguasaan musik di luar kepala itu kemudian mereka dapat melahirkan beragam elaborasi improvisasi tingkat tinggi yang merupakan bagian tak terpisahkan dari jazz. Jadi, jelas bukan ngawur atau asal-asalan.