SALAM TRIBUN
Suara dari Talisayan
Talisayan adalah kampung di pesisir timur Kaltim yang dipilih sebagai tempat pembangunan PLTN karena aman dari gempa
Suaminya seorang anggota regu pemadam, yang dini hari itu langsung meluncur ke sumber ledakan di reaktor 4 Chernobyl.
Satu jam berlalu tanpa kabar. Dua, tiga jam menunggu seperti setahun, hingga akhirnya kabar itu baru ia terima pukul 07.45. Suaminya telah dilarikan dan diisolasi di rumah sakit!
Dalam terjemahan bebas kurang lebih begini:
"Saya tidak tahu harus bicara mengenai apa -- tentang kematian atau sekitar cinta? Atau apakah mereka sama? Mana yang harus saya bicarakan? Kami pengantin baru. Kami masih selalu berjalan dengan berpegangan tangan, bahkan jika sekedar ke toko. Lalu saya akan mengatakan kepadanya: Aku mencintaimu..."
Sayang sekali, saya belum sempat menginjakkan kembali kaki ke Talisayan untuk menggali suara warga. Info nuklir macam apa yang sebenarnya disampaikan kepada warga Talisayan hingga dengan mudah menyetujui pembangunan PLTN di kampung mereka? Apakah warga sudah mendapat informasi yang berimbang?
Boleh jadi pandangan warga akan berbeda saat mereka membaca buku Alexie itu. Atau saat mereka membaca "Hiroshima" karya John Hersey, yang pertama kali terbit di The New Yorker pada Agustus 1946.
Masyarakat Talisayan mungkin juga belum sempat menyaksikan pameran foto bertajuk '25 Tahun Setelah Chernobyl: 'Dampak Berkelanjutan Petaka Nuklir di Rusia, Ukraina, Belarusia, dan Kazakhstan' yang pernah digelar di ITB Bandung, empat tahun lalu.
Sebuah foto menampilkan gambar gadis, Ainagul. Berumur enam tahun namun memiliki tubuh anak usia tiga tahun. Caption foto menyebut pertumbuhannya terhenti akibat zat radioaktif Chernobyl. Kedua orang tuanya malu akan kondisi Ainagul, mereka mengeluarkannya dari sekolah.
Gambar lainnya, dua janin dengan kepala saling menempel dengan kerusakan pada bagian tengah tubuh. 'Di kawasan terkontaminasi ini, radiasi telah mengakibatkan mutasi genetis dan berbagai cacat lahir. Ketakutan terhadap penyakit-penyakit bawaan telah mengakibatkan banyaknya aborsi di wilayah ini.''
Sebagai perbandingan, berulangkali dan bertahun-tahun pemerintah pernah melakukan sosialisasi kepada warga Jepara ketika akan membangun PLTN di semenanjung Muria. Hasilnya nihil. Sampai detik ini sikap mereka tetap sama: menolak!
Karena itu patutlah kita acungi jempol kepada gubernur dan timnya yang telah mampu meyakinkan warganya. Tentu jika klaim itu benar.
Pro-kontra adalah kelaziman dalam demokrasi. Tinggal bagaimana pemerintah memberikan informasi yang terbuka, dan sejujur-jujurnya.
Saya tak bermaksud mengurangi apresiasi terhadap para ilmuwan nuklir yang menjadikan nuklir sebagai pilihan utama untuk mengatasi kebutuhan pasokan listrik. Tetapi, kecelakaan Chernobyl membuat kita patut bertanya kembali: sudahkah kita benar-benar siap?
Mungkin bukan hanya sekedar soal alih-teknologinya. Bukan cuma mengenai insyinur-insinyur nuklir yang telah menimba ilmu di mancanegara. Melainkan juga sumberdaya manusia nuklir yang kompeten secara keseluruhan. Disiplinnya, standar dan budaya keselamatannya.
Adanya penolakan dan sikap skeptis sebagian masyarakat terhadap PLTN haruslah dilihat sebagai filter supaya kita benar-benar siap, dengan belajar dari pengalaman dan kegagalan negeri maju.