Citizen Journalism

Pahlawan Orang-Orang Kecil

Sikap toleransi, menghormati pendapat orang lain, berjiwa besar mengenai hasil rapat, diskusi maupun forum sudah mulai menurun di masyarakat.

Editor: Amalia Husnul A
tribunnews/herudin
Ilustrasi. Aktivis dan seniman melakukan teatrikal saat menggelar Aksi Solidaritas untuk Salim Kancil dan Tosan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (1/10/2015) lalu. Aksi Solidaritas untuk Salim Kancil dan Tosan ini adalah salah satu bentuk solidaritas terhadap perjuangan warga dalam mempertahankan lingkungan dan ruang hidupnya dan mengusut tuntas kasus pembunuhan terhadap Salim Kancil seorang aktivis lingkungan. 

Oleh: Decky Diyan Kesuma
Mahasiswa Psikologi Universitas Mulawarman
deckydiyankesuma@rocketmail.com

BEBERAPA bulan terakhir ini di media cetak, media elektronik, dan media sosial marak pemberitaan yang menjadi pusat perhatian belakangan ini bahkan menjadi trending topic di kalangan pengguna media sosial (netizen). Mulai dari pembakaran lahan yang mengakibatkan kabut asap berdampak pada penundaaan jadwal penerbangan, menganggu aktivitas masyarakat, menganggu kesehatan masyarakat, meliburkan jadwal anak-anak bersekolah, sampai kabut asap menyebrang ke negeri tetangga yakni, Malaysia dan Singapura hingga hashtag #Palangkaraya menjadi trending topic di berbagai media sosial.

Selanjutnya, berita kekeringan yang terjadi di seluruh Indonesia. Pemberitaan ini selalu menjadi topik pembahasan di setiap media elektronik dan media massa. Yang terbaru saat ini adalah terjadi pembunuhan terhadap aktivis anti penambangan pasir di Pantai Selatan. Lumajang, Jawa Timur.

Salim Kancil begitu nama aktivis anti penambangan pasir di Lumajang, Jawa Timur (Jatim). Berprofesi sebagai petani di Lumajang, Jawa Timur. Salim Kancil tewas terbunuh oleh sekelompok orang yang pro-penambangan pasir di pesisir pantai Selatan, Lumajang, Jatim. Kronologi pembunuhan diawali dengan pengambilan paksa Salim Kancil oleh sekelompok orang dari kediamannya.

BACA JUGA: Aktivis Melawan Mafia Tambang itu Tewas Saat Menimang Cucu

Setelah dijemput paksa, Salim Kancil dipukul beramai-ramai oleh sekelompok orang tersebut. Tidak puas memukul, sekelompok orang tersebut membawanya ke balai desa. Di sana Salim Kancil dianiaya, diikat, dan dipukul kepalanya dengan batu. Ironisnya penganiayaan ini disaksikan dengan mata dan kepala sendiri oleh anaknya. Hingga akhirnya Salim Kancil tewas dan ditemukan dalam kondisi terkelungkup oleh warga sekitar lokasi terjadinya pembunuhan tersebut.

Penyelidikan polisi Polres Lumajang sampai saat ini sudah menetapkan 21 orang menjadi tersangka penganiayaan yang berujung dengan tewasnya Salim Kancil. Kejadian di atas merupakan ironi dari nasib aktivis di Republik ini. Banyak sekali kasus-kasus di Republik ini yang membuat nyawa aktivis menjadi tidak berharga atau sama sekali tidak dihargai hanya karena membela orang kecil atau orang-orang yang tertindas.

BACA JUGA: Allan akan Ungkap Keterlibatan CIA dalam Kasus Pembunuhan Munir

Sebagai contoh, kasus Marsinah-buruh perempuan, Munir -aktivis penegakan HAM di Indonesia, dan terbaru Salim Kancil. Hal yang menjadi persamaan mereka bertiga adalah mereka berjuang membela orang kecil atau orang-orang yang tertindas, mereka tidak takut mati, dan terakhir hidup mereka diakhiri oleh seseorang atau sekelompok orang dengan cara biadab, kejam, dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Tentu penulis dalam tulisan ini merasa prihatin, berbela sungkawa, dan mengutuk keras kejadian tersebut karena tentu dampak domino dari terbunuhnya aktivis tersebut sangatlah besar dan menjadi headline di media besar Republik ini dianggap tidak menghormati HAM oleh negara-negara di dunia. Sikap toleransi, menghormati pendapat orang lain, berjiwa besar mengenai hasil rapat, diskusi maupun forum sudah mulai menurun dalam masyarakat berskala besar dan kecil di Republik ini.

Demokrasi dan kebebasan berbicara tidak menjadi salah satu jalan keluar atau alternatif dalam mengatasi suatu persoalan atau masalah. Demokrasi dan kebebasan berbicara dewasa ini hanya sebagai simbol dalam masyarakat berskala besar dan kecil di Republik ini. Hal itu merupakan ironi dari Republik ini yang kerap mengagungkan demokrasi dan kebebasan berbicara.

BACA JUGA: Partisipasi Politik Masyarakat Ujung Tombak Demokrasi Pilkada

Tetapi dalam perjalanannya masyarakat berskala besar dan kecil di Republik ini belum siap dengan keberadaan demokrasi dan kebebasan berbicara atau menyatakan berpendapat dalam setiap forum, rapat, diskusi,dsb. Banyak hal-hal yang menyebabkan itu terjadi misalnya: bila kebebasan berbicara atau menyatakan berpendapat dalam setiap forum, rapat, diskusi dsb diterapkan maka akan membuat durasi acara menjadi lama. Peserta menjadi lelah dan naik emosinya, kemudian bila peserta menyatakan pendapatnya akan ditanggapi sinis oleh peserta lain. Seperti dianggap cari muka, cari perhatian, dsb.

Bila pendapat peserta tidak dapat dapat diterima peserta lain dalam rapat tersebut akan diwarnai dengan penolakan keras, saling ancam-mengancam hingga berujung adu mulut dan aksi anarkis. Hal ini tentu tidak elok dilihat bila Republik ini benar-benar menjalankan demokrasi dan kebebasan berbicara dengan benar khususnya saat masyarakat dalam skala kecil dan besar benar-benar menjalankannya dengan tepat demokrasi dan kebebasan berbicara ini.

Padahal demokrasi dan kebebasan berbicara merupakan turunan dari musyawarah yang sudah ada sejak petinggi negeri ini akan melaksanakan proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 melalui BPUPKI dan PPKI. Bahkan sekarang ditambah dengan opsi melakukan voting bila musyawarah dan kebebasan berbicara tersebut berakhir deadlock seperti yang dilakukan Anggota Dewan yang terhormat. Sekarang banyak tempat, akses, kemudahaan yang diberikan Republik ini pada warganya dalam menyatakan pendapatnya atau uneg-unegnya, yakni: Musyawarah tingkat Kabupaten, Kota, dan Provinsi yang bertujuan mencetak blue print pembangunan Kabupaten, Kota, dan Provinsi oleh Bappeda.

Dihadiri pejabat lintas sektor SKPD, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan masyarakat sekitar bisa mengajukan usulan bahkan solusi kepada pemerintah agar bisa dan segera ditindaklanjuti. Misalnya: pembangunan jalan, irigasi, pemberdayaan masyarakat melalui sektor UKM, dsb, kemudian siaran langsung (live) yang ditayangkan media elektornik dalam sesi wawancara, sesi debat, dsb. Dialog anggota dewan yang terhormat dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan masyarakat yang mengadu kepada anggota dewan.

Penggunaan media sosial untuk menarik perhatian netizen atau masyarakat secara umum seperti yang dilakukan aktris dan penyanyi Sherina yang dibegal di kawasan Cihamplas Bandung, Jawa Barat, dan masih banyak lagi contoh-contoh penerapan demokrasi dan kebebasan berbicara di Republik ini.

BACA JUGA: Belajar dari Kasus Mesuji

Marsinah, Munir, dan Salim merupakan contoh seseorang yang membela orang-orang kecil dan tertindas walaupun risiko pembelaaan yang mereka lakukan tersebut berakhir dengan kematian. Namun, perjuangan aktivis tersebut akan selalu terpatri di dalam hati dan menjadi simbol perlawanan orang kecil yang tertindas, sengsara, dan teraniaya secara batin.

Penulis mengajak pembaca selalu menghargai pendapat orang lain, bersikap toleransi, dan berjiwa besar dalam setiap acara diskusi, forum, rapat, dsb. Karena perbedaan tersebut sangatlah indah dan menjadi perekat kita dalam NKRI, mendoakan agar arwah mereka diterima Yang Maha Kuasa dan semoga kasus pembunuhan aktivis dapat memberikan pelajaran penting kepada kita semua agar pendapat yang diutarakan orang kecil agar selalu didengar oleh pejabat pemerintah dan tidak dianggap angin lalu atau masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Salam hormat kepada semua pahlawan orang-orang kecil di Republik ini. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Semua Orang adalah Pahlawan

 

Setahun Visi Antikorupsi Jokowi

 

Pahlawan Orang-Orang Kecil

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved