Kolom Rehat

Bercanda dengan Teror

Terorisme pasti banyak ditentang dan dilawan. Tapi satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah kenyataan bahwa teror juga dapat menjadi obat penawar

TRIBUNKALTIM.CO
Arif Er Rachman 

Oleh: ARIF ER RACHMAN

KALAU bicara teror, saya sering teringat kembali pada adegan dalam film The Untouchables (1987) besutan Brian De Palma.

Pada akhir penyerbuan oleh satuan tugas anti-mafia yang dipimpin Elliot Ness, salah seorang anggota tim, Jim Malone, menembak dari jarak dekat seorang musuh yang sebenarnya sudah tertembak mati di awal penyerburan.

Mengapa Malone yang diperankan Sean Connery itu menembak orang yang diketahuinya sudah mati? Karena Malone punya tujuan lain: melakukan teror! Terornya berhasil.

Seorang musuh yang melihat rekannya ditembak dari jarak dekat -- tanpa ia tahu bahwa rekannya itu sudah mati - - langsung ketakutan lalu membeberkan seluruh rencana jahat mereka agat tidak diperlakukan serupa oleh Malone.

Tembakan itu berfungsi sebagai teror, karena sebenarnya tidak ditujukan untuk membunuh orang yang ditembak, tapi untuk mengobarkan ketakutan pada yang melihat.

Seperti itulah teror. Menurut Oxford Advanced Learner's Dictionary, terorisme adalah use of violence and threats of violence, especially for political purposes. Artinya kurang lebih sama dengan definisi terorisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: "penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politis)".

Dari definisi di atas sangat jelas bahwa terorisme berkait bukan saja dengan kekerasan tapi yang lebih penting lagi adalah juga dengan politis.

Begitu pula aksi serangam dan bom bunuh diri yang diklaim dilakukan ISIS di kawasan Sarinah, Jakarta, Kamis (14/1) lalu. ISIS bertujuan untuk membentuk Islamic State dengan terlebih dahulu meruntuhkan 'Tatanan Dunia Barat' yang dipimpin Amerika Serikat.

Korban saat kejadian bom yang meledakan Pos Polisi di Jalan Thamrin, Jakarta masih tergeletak di jalan, sementara beberapa polisi mencoba mengamankan area ledakan, Kamis (14/1/2016). (Foto: Tribunnews.com)

Terorisme pasti banyak ditentang dan dilawan. Tapi satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah kenyataan bahwa teror juga dapat menjadi obat penawar bagi banyak penyakit kekuasaan. Dan karena itu, diperangi dengan acara apapun, selama masih ada kekuasaan yang pongah dan kelompok yang terpinggirkan dan kecewa karena kekuasan tesebut, terorisme akan terus ada.

Lantas mengapa ada orang yang bersedia menjadi teroris yang dengan konsekuensi dikecam sebagai orang yang tidak punya hati nurani karena rela mengorbankan nyawa orang yang tidak berdosa?

Kalau dilihat dari pandangan umum, memang teroris adalah orang yang kejam, namun tentu saja teroris tidak memandang diri mereka sebagaimana khalayak umum memandang mereka.

Teroris sejati -bukan sekedar teroris (tentara) bayaran --menganggap apa yang mereka lakukan sebagai the thing to do, hal yang memang harus dilakukan. Harus dilakukan karena memiliki tujuan, kepentingan, atau kebaikan yang lebih besar (greater good).

Militan ISIS berpose dengan benderanya. (Foto: NBCNEWS.COM)

Seperti yang disebutkan dalam literatur ilmu politik, greater good memang merupakan salah satu dari empat komponen utama politik teror selain kekerasan, jaringan gerakan terselubung, dan militansi atau fanatisme pelaku.

Halaman
12
Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Maraknya Fenomena Sound Horeg

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved