Opini
Duh. . . Pokemon Go Jadi Fenomena, Yuk Cerdas Menyikapinya
Misalnya pengguna mengalami cedera tubuh ringan sampai parah karena tak memperhatikan lingkungan sekitar saat memainkan Pokemon Go.
Oleh Winda Sari
Pengajar dan Pemerhati Remaja
Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Tanah Grogot
whindasari25@gmail.com

(HO-Dok Pribadi)
SEMAKIN berkembangnya zaman, menuntut manusia untuk menjadi pribadi yang kreatif, optimis, bahkan kritis.
Terbukti dengan munculnya aplikasi baru bagi para pengguna smartphone terutama para gamers, yang saat ini sedang hangat diperbincangkan oleh masyarakat sampai media.
Bukan hanya di kalangan anak-anak tapi juga remaja bahkan orang dewasa.
Aplikasi ini dirilis mulai 6 Juli 2016, yang dikembangkan Niantic Lab bersama dengan Nintendo dan The Pokemon Company telah menjadi tren mainan digital baru.
Baru sepekan muncul di pusat aplikasi App Store dan Google Play, Pokemon Go sudah banyak dimainkan. Catatan menunjukkan di Google Play saja, game itu sudah diunduh 100 ribu kali.
BACA JUGA: IMB Sudah Ada, Kok. . . Oknum Minta Uang lagi
Pokemon Go memang merupakan salah satu contoh dari makin kreatifnya Manusia.
Dengan metode Augmented Reality (AR), permainan ini mengharuskan pengguna untuk bisa menemukan monster-monster 3D dengan menggunakan GPS melalui kamera dan jaringan Internet.
Pengguna bisa mencarinya di dalam rumah, halaman, jalan dan di tempat umum bahkan tempat tersembunyi seperti di bawah jembatan ataupun di lorong-lorong.
Monster-monster itu dikumpulkan untuk dipertemukan dengan Pokemon milik pemain lain di penjuru dunia untuk kemudian dilakukan tanding atau bahkan hanya sekedar untuk mengoleksi pokemon tersebut.
Sejatinya Pokemon Go baru hadir di tiga negara yaitu Amerika Serikat, Australia dan Selandia Baru. Namun permainan ini mampu menarik perhatian masyarakat Indonesia meski Pemerintah sendiri belum meresmikan permainan tersebut.
BACA JUGA: Dapatkah Istri Ikut Kepesertaan BPJS Milik Suami?
Sebagaimana bentuk-bentuk permainan pada umumnya, game online dapat memberikan pengalaman menghanyutkan (flow experience).
Pengalaman ini juga membawa serta stimulus-stimulus yang membuat pemain merasa penasaran dan tertantang sampai akhirnya kecanduan pada permainan tersebut.
Hal-hal demikian banyak kita temui di kalangan masyarakat sekarang ini. Terutamanya remaja. Ketika seseorang telah candu pada sebuah permainan, ia bahkan mampu mengacuhkan lingkungan dan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Misalnya saja pada fenomena Pokemon Go saat ini. Ada yang iseng sambil mengendarai kendaraan bermotor, jalan di pantai, bahkan keliling komplek rumahnya hanya untuk menangkap karakter Pokemon.
Efek dari candu Pokemon Go itu dalam beberapa kasus menimbulkan kabar buruk. Insiden terjadi akibat keasyikan terpaku pada game tersebut.

Dalam gathering Pokemon Go, polisi menyampaikan pesan- pesan agar tidak melupakan kewajiban dan keselamatan saat memainkan game ini. (tribunkaltim.co/azhar sriyono)
Misalnya pengguna mengalami cedera tubuh ringan sampai parah karena tak memperhatikan lingkungan sekitar saat memainkan Pokemon Go.
Insiden itu dialami salah satu pengguna di Amerika Serikat, yang harus dilarikan ke UGD karena mengalami retak tulang metatarsal pada kakinya, akibat asyik bermain Pokemon Go dan harus istirahat selama 6-8 pekan untuk pemulihan.
Sementara pengguna Pokemon Go asal Indonesia, Eko Wijaya mengaku karena keasyikan bermain Pokemon Go, dia nyaris tertabrak motor di parkiran mall.
Atau bahkan tempat2 ibadah yang ramai didatangi hanya untuk mencari Pokemon baru.
Hakekatnya bermain game itu hal yang diperbolehkan. Namun masyarakat harus cermat dalam menanggapi berbagai hal. Termasuk permainan.
BACA JUGA: Mengapa Usai Lakukan Perbaikan, Kabel Dililitkan di Pagar Rumah?
Karena ketika masyarakat salah dalam menggunakan sesuatu, maka dampaknya akan dirasakan masyarakat luas bahkan dunia. Masyarakat juga harus kritis dalam melihat perkembangan zaman. Halnya dengan Pokemon Go saat ini.
Di sistem kapitalisme seperti sekarang, banyak perusahaan atau para pemilik modal yang hanya mementingkan keuntungan dari perusahaannya saja tanpa memperhatikan faedah yang bisa diperoleh dari apa yang mereka sodorkan pada masyarakat.
Pelaku industri hanya berorientasi keuntungan sebanyak-banyaknya bahkan dengan menjadikan masyarakat sebagai tumbal tanpa perduli kerugian dan kerusakan yang harus di tanggung masyarakat.
Fenomena Pokemon Go ini misalnya. Dikutip dari The Verge, pada 1998 sampai 2001, waralaba Pokemon tumbuh kian cepat dan telah menjadi fenomena global.
BACA JUGA: Mohon Penjelasannya, Pembagian Air Gratis atau Bayar?
Pada ulang tahunnya yang ke-15, Pokemon telah memiliki lebih dari 19 game dan total ada 649 karakter Pokemon yang telah muncul.
Dan kini pada 2016, Pokemon telah memiliki 73 game, pertunjukan televisi, 18 film, pertunjukan super bowl commercial dan total 718 karakter Pokemon.
Kini, lebih dari 260 juta game yang terkait Pokemon yang terjual di seluruh dunia, lebih dari 21,5 miliar voucher game yang telah dikirimkan secara global.
Berkah Pokemon Go juga memacu keuntungan saham dari Nintendo di Jepang. Dalam dua hari saja, game itu menyuntik keuntungan di pasar keuangan bagi Nintendo sampai US$7,5 miliar atau Rp98,4 triliun.
BACA JUGA: Tolong, di Dekat Posyandu Ada Sarang Tawon Besar
Demikian pula, harus disadari masyarakat bahwa risiko terkecilnya adalah secara umum industri hiburan kapitalisme itu melenakan-melalaikan waktu belajar-ibadah, bahkan merusak pola pikir dan perilaku.
Game Pokemon Go ini bahkan terbukti mengendalikan perilaku dan mematikan akal sehat.
Sehingga diperlukan peran pemerintah dalam menanggapi fenomena Pokemon Go ini. Pemerintah harus bisa melindungi masyarakat dari kerusakan dan jerat sistem kapitalisme.
Maka perlu penataan bahkan pergantian sistem menuju sistem yang paripurna, yaitu sistem Islam. Karena hanya Islam yang mampu untuk menjadi pelindung bagi generasi penerus bangsa dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh alam.
Bukan hanya kaum muslimin, tapi seluruh penduduk di muka bumi. (*)
***