Mengenang Kematian Soe Hok Gie 48 Tahun Silam, Aktivis Muda, Penyair Muda yang Mati Muda

Soe Hok Gie, seorang aktivis Indonesia keturunan Tionghoa turut andil dalam penurunan kekuasaan Orde Lama.

wikipedia.org

TRIBUNKALTIM.CO - Jika masih diberi umur panjang, kini ia sudah pasti cukup renta.

Soe Hok Gie, seorang aktivis Indonesia keturunan Tionghoa turut andil dalam penurunan kekuasaan Orde Lama.

Sebagian besar, malah mungkin seluruh aktivis kampus masa kini pun tahu benar siapa Gie --sapaan akrabnya.

Tepat pada hari ini, hari kelahirannya, 17 Desember 75 tahun silam. Gie merupakan anak ke empat dari lima bersaudara.

Lulus SD, Gie masuk sekolah menengah pertama, SMP Strada di Gambir.

Ada kisah unik saat Gie duduk di bangku kelas 2 SMP. Kenaikan kelas tiga, pihak sekolah menyatakan bahwa Gie tidak naik kelas dengan alasan prestasi Gie yang buruk sekali.

Namun, alasan sebenarnya adalah karena Gie selalu melawan gurunya, dan angka-angka nilainya dikurangi.

Akhirnya Gie pindah sekolah di sekolah keristen di Jakarta, kebetulan sekolah mengizinkannya naik ke kelas tiga. Selesai menempuh pendidikan SMP, Gie dinyatakan lulus dengan nilai di atas rata-rata.

Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius jurusan sastra, dan memperdalam ilmu tersebut.

Bahkan ia juga tertarik dengan ilmu sejarah yang menjadi cikal-bakal kesadaran berpolitiknya, serta kritis dan tajam dalam menulis tulisan-tulisan catatan perjalanan.

Usai tamat SMA, Gie melanjutkan pendidikannya di Universitas Indonesia (UI), Fakultas Sastra, dan mengambil jurusan Sejarah. Mulai dari sinilah, Gie aktif menjadi aktivis kemahasiswaan.

Namun, pria kelahiran Jakarta ini mati muda. Bukan karena keterlibatannya sebagai demonstran, tapi ia dipanggil yang Kuasa dalam pendakian menaklukan puncak Gunung Semeru pada 16 Desember 1969 diusia 26 tahun.

Gie Sebagai Aktivis Mahasiswa

Berkas:Soehokgie.jpg

Saat remaja Gie sudah diuji pemahamannya tentang sejarah, politik, ekonomi Indonesia kala itu.

Di saat Indonesia berada dalam masa paling mencekam sepanjang sejarah negara ini didirikan, Gie memenuhi panggilannya sebagai seorang intelektual muda dengan menulis kritik keras terhadap pemerintahan dan membangun bibit-bibit kesadaran demokrasi.

Gie dikenal sebagai seorang aktivis yang paling vokal mengkritik kinerja pemerintahan Orde Lama, era pemerintahan Presiden Soekarno.

Bahkan, Gie menjadi salah satu arsitek aksi long-march dan demonstrasi besar mahasiswa tahun 1966 yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional.

Kritis dan tajam, membuatnya pernah mendapatkan surat kaleng lantaran tulisannya di mingguan Mahasiswa Indonesia.

Gie dikirimi surat kaleng oleh seseorang yang mengaku pecinta Soekarno yang berisi umpatan berbau rasial.

Gie Sebagai Penyair Muda

Hasil gambar untuk soe hok gie

Ayahnya adalah Soe Lie Pit, seorang novelis. Lahir dari keluarga penulis, membuat Gie begitu dekat dengan sastra.

Saat masih kecil, Gie kerap mengunjungi perpustakaan umum dan taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta bersama kakaknya, Soe Hok Djin.

Bahkan, dari berbagai sumber menyebutkan Gie sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer sejak masih sekolah dasar (SD).

Semakin dewasa, Gie dikenal sebagai penulis yang produktif. Tulisan-tulisannya banyak dimuat di beberapa media massa seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya.

Bahkan ia pun sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.

Sejak usia 15 tahun, tepatnya tahun 1957, Gie giat menuliskan syair-syairnya di catatan hariannya.

Setelah Gie meninggal dunia, catatan-catatannya tersebut dibukukan dengan judul "Catatan Seorang Demonstran".

Berikut beberapa kutipan-kutipan syair Gie dilansir tribunkaltim.co dari pendakigunung.top:

"Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: 'dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan'. Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda. Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai itu. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurdlah hidup kita"

"Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: 'dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan'. Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda. Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai itu. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurdlah hidup kita"

"Disana, di Istana sana, Sang Paduka Yang Mulia Presiden tengah bersenda gurau dengan isteri-isterinya. Dua ratus meter dari Istana, aku bertemu si miskin yang tengah makan kulit mangga. Aku besertamu orang-orang malang"

"Makhluk kecil kembalilah. Dari tiada ke tiada. Berbahagialah dalam ketiadaanmu"

Gie Sebagai Mahasiswa Pecinta Alam

Hasil gambar untuk soe hok gie

Kecintaannya pada alam mulai tumbuh sejak tahun 1965. Gie dan teman-teman mahasiswa membentuk sebuah organisasi yang mereka sebut "Mapala" UI, Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia.

Mapala berdiri dengan mendaki gunung sebagai kegiatan utamanya.

Gie adalah pecandu naik gunung yang bukan sekadar rekreasi. Suatu hari ia menulis:

"Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung".

Pendakian pertama Mapala adalah gunung Slamet di Jawa Tengah, Gie menjadi pemimpin dalam pendakian ini.

Pada tahun 1968, Gie bersama Mapala UI berencana menaklukan Gunung Semeru. Pendakian dimulai pada tangga 8 Desember 1969.

Sempat Gie menuliskan catatannya sebelum berangkat.

"Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat".

Dan nyatanya itulahnya catatan terakhir dari Gie. Pada tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulang tahunnya yang ke 27, ia meninggal di Gunung Semeru bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis, akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut.

Dari berbagai sumber, Gie menyukai baris-baris puisi seorang filsuf Yunani:

Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan

yang kedua, dilahirkan tapi mati muda

yang tersial adalah berumur tua

berbahagialah mereka yang mati muda

Makam Gie di Museum Taman Prasasti

Mengutip wartakota, Museum Taman Prasasti adalah komplek pemakaman para pejabat VOC maupun hartawan Belanda yang meninggal di Indonesia.

Koleksi Museum Taman Prasasti bukanlah benda-benda yang biasa kita saksikan di museum, di dalamnya hanya ada makam.

Tapi jangan salah, meskipun di dalamnya berisi ribuan kuburan kuno, tempat ini sekarang sudah didisain menjadi sebuah taman.

Museum ini sangat unik, selain gedung utamanya bernuansa bangunan khas Belanda, nisan-nisan dan prasasti di dalamnya juga mempertontonkan pemandangan yang tidak ditemui di pemakaman lain di Jakarta, maupun di Indonesia.

Terlebih banyak makam yang dibuatkan prasasti di atasnya atau dengan bentuk nisan yang menjulang tinggi, bahkan ada makam yang di atasnya terdapat seorang patung wanita yang sedang tertunduk, menyembunyikan wajahnya.

Menurut cerita, makam ini kerap disebut Si Cantik Menangis, dimana patung perempuan itu digambarkan sedang menangisi suaminya yang bunuh diri karena terkena malaria.

Waktu itu, malaria merupakan penyakit yang menakutkan dan kerap menyebabkan kematian.

Makam orang-orang Belanda yang dulunya sekitar 4.600 nisan kini hanya tersisa 1.242 nisan. Ini dikarenakan banyak jenazah yang sudah dipindahkan.

Ada yang dikembalikan ke negaranya Belanda dan ada sebagian yang dimakamkan di makam umum Tanah Kusir.

Namun, di antara ratusan makam yang ada di Museum Taman Prasasti, terdapat salah satu nama yang cukup menarik perhatian.

Ternyata nama Soe Hok Gie juga ada disini.

Mengenang Soe Hok Gie dan Warisannya
(*)
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved