Tak Kuasa Dilibas Zaman Satu per Satu Peritel Hengkang, Bagaimana Mal Bisa Bertahan?
Tak hanya di Indonesia, negara adikuasa macam Amerika Serikat tak luput dari fenomena sepinya pusat perbelanjaan.
TRIBUNKALTIM.CO -- Tak hanya di Indonesia, negara adikuasa macam Amerika Serikat tak luput dari fenomena sepinya pusat perbelanjaan.
Satu per satu peritel hengkang, tak kuasa dilibas zaman.
Pengunjung tersihir pesona belanja daring.
Satu genggaman, semua dapat terbeli. Alhasil, ruang-ruang tak bertuan menyeruak dalam mal.
Sejatinya, kematian pusat perbelanjaan di negeri Paman Sam telah lama diprediksi.
Namun, dengan segala masalahnya, mal tetap menjadi fokus belanja ritel dan ruang interaksi sosial bagi jutaan warga Amerika Serikat.
Disrupsi digital, bagaimana pun, memang menyakitkan.
Sudah tiga tahun lamanya sejak mal terbaru buka di Amerika Serikat, membuat kalangan operator menduga bahwa akhir era pusat perbelanjaan telah tiba.
Menurut Bloomberg, sedikitnya 10 persen ruang ritel Amerika Serikat atau hampir 1 miliar kaki persegi, mungkin perlu ditutup, dikonversi menjadi fungsi lain, atau dinegosiasi ulang.
Hampir 9.000 toko diperkirakan tutup sepanjang 2017, sepertiga lebih banyak dibandingkan saat krisis ekonomi 2008.
Baca: Perubahan Perilaku Konsumen, Ini yang Diterapkan Pelaku Usaha Ritel
Baca: 100 Gerai Aksesori Tutup, Lagi Bisnis Ritel Anjlok di Akhir Tahun
Baca: Lagi Ritel Berguguran, Kini Toko Zara di Australia Bakal Segera Tutup
Baca: Penjualan Makin Tergerus, Inikah Awal Runtuhnya Kedigdayaan Ritel Amerika Serikat?
Runtuhnya bisnis ritel membuat pemilik mal mesti berpikir keras dalam berinovasi.
Jika tidak, senja kala bukanlah isapan jempol.
Layaknya teori Darwin, dibutuhkan cara baru untuk bertahan dan mengisi ruang ritel di Amerika Serikat.
Ada dua tantangan yang saat ini mencuat. Pertama, peritel berusaha mempertahankan merek mereka agar tetap eksis. Kedua, peritel mulai mengurangi ketergantungan mereka terhadap toko fisik.

Ilustrasi mal
Sejumlah peritel telah mengajukan proses bangkrut pada tahun ini. Sebut saja, Toys R Us dan Charming Charlie.
Selain itu, merek seperti Nike dan Michael Kors mulai melepaskan diri dari konsep department store.
Pada bulan Oktober, Chief Executive Officer Nike Mark Parker mengumumkan, dari 30.000 mitra ritel di seluruh dunia, Nike kini hanya akan berfokus pada 40 “mitra grosir strategis”.
Berubah haluan
Dewasa ini, pemilik mal mulai menyadari mereka terlalu bergantung pada gerai pakaian.
Menurut Louis Conforti, Chief Executive operator mal Washington Prime, lebih dari 40 persen peritel di pusat belanjanya menjual fesyen dan aksesori.
Operator mal, lanjut dia, mulai agresif dalam menyajikan lebih banyak gerai makanan dan minuman.
Selain itu, gerai perabotan rumah tangga juga mulai mendapat perhatian spesial.
Upaya lain menolak senja kala mal dilakukan dengan menggelar acara seperti pergelaran busana (fashion show).

"Kami (pengelola mal) perlu membuat instalasi area umum yang menguntungkan peritel. Banyak pengunjung tentunya semakin baik. Gagasan bahwa area umum mendegradasi toko sudah berakhir,” papar Conforti, seperti dilansir The Guardian, Sabtu (16/12/2017).
Bagian lain dari revolusi mal adalah menggandeng situs belanja daring (e-commerce). Contohnya, Amazon.
Sebagai raksasa belanja daring yang mulai mengembangkan toko fisik sendiri, operator mal optimistis kemitraan dengan Amazon bersifat menguntungkan.
Baca: Sederhana tapi Keren! Bisa Ditiru Nih Gaya Selena Gomez yang Kekinian
Baca: Jonghyun SHINee Meninggal Bunuh Diri, Begini Ucapan Duka Cita Penggemarnya di Indonesia
Baca: Apakah Golkar Bisa Kalahkan PDI-P? Begini Jawaban Kocak Jokowi yang Sukses Mengocok Perut
Baca: Aduh. . . Kok Lelah Terus Ya? Mungkin Ini 6 Pemicunya
Baca: Belum Ada Pasangan Calon yang Deklarasi, Pilgub Kaltim Diprediksi Sepi?
Baca: Penetapan Cagub dan Cawagub Golkar setelah Musdalub, Hasdam dan Makmur Bersaing?
Utamanya, dalam menciptakan pengalaman konsumen yang lebih baik.
Toko fisik tetap ada, tetapi konsumen dapat memanfaatkan platform digital untuk berbelanja.
"Siapa pun yang tak menyadari adanya hubungan simbiosis antara e-commerce dan ruang fisik, amatlah disayangkan,” tuntas Conforti. (Kompas.com/Haris Prahara)