Pembunuh Orang Utan Divonis 6-7 Bulan Penjara, COP: Putusan Tak Pertimbangkan Nilai Konservasi

"Ada juga info dari medsos dan warga, yang gak terlapor kami yakin banyak," katanya.

Greenpeace/ Ulet Ifansasti
Jumlah orangutan di Indonesia terus menurun. Dari estimasi terbaru dalam laporan Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) Orangutan Indonesia Tahun 2016 yang diluncurkan hari ini, dinyatakan kepadatan populasi orangutan di daratan Kalimantan (termasuk Sabah dan Sarawak) menurun dari 0,45-0,76 individu/km2 (PHVA 2004) menjadi 0,13-0,47 individu/km2. 

Laporan Wartawan Tribunkaltim.co, Nalendro Priambodo

TRIBUNKALTIM.CO,BALIKPAPAN - Center of Orangutan (COP), salah satu lembaga non profit yang bekerja memerangi kejahatan terhadap orang utan dan habitatnya, mengapresiasi langkah penegakan hukum yang berhasil membawa ke meja hijau sejumlah pelaku pembunuh orang utan di tahun 2018 ini.

Namun demikian, mereka menyayangkan vonis ringan yang hanya 6 sampai 7 bulan, jauh dari ancaman maksimal yang di atur dalam undang-undang yang mencapai 5 tahun pidana kurungan.

Manager Perlindungan Habitat COP, Ramadhani, dihubungi lewat lewat sambungan telepon, Rabu (11/7/2018) sore, menduga putusan yang tak sampai seperempat dari maksimal ancaman yang di atur dalam UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem ini, memperlihatkan, pengadil hanya melihat kasus ini hanyalah pembunuhan hewan.

Polres Kutim saat merilis empat tersangka kasus pembunuhan orangutan
Polres Kutim saat merilis empat tersangka kasus pembunuhan orangutan (TRIBUN KALTIM / MARGARET SARITA)

Baca juga:

Timnas Inggris Gagal ke Final Piala Dunia 2018, Pangeran William Sampaikan Apresiasi dan Kebanggaan

Soal Tudingan Pelanggaran HAM Orde Baru, Tommy Soeharto: Mengapa Tak Diungkap di Awal Reformasi?

TGB Dirumorkan Bakal Kena Sanksi dari Partai Demokrat, Begini Respon Anas Urbaningrum

Tatap Laga Puncak, Didier Deschamps Mengejar Takhta Sang Kaisar

Namun hakim tak melihat lebih jauh seberapa besar nilai konservasi dari rusaknya habitat dan primata yang terancam punah dan dilindungi undang-undang ini.

“Semestinya UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dipandang sebagai Undang-Undang yang sangat penting untuk menjaga keberlangsungan konservasi di Indonesia.”, ujar Ramadhani.

Selama ini, konflik antara dua primata yang kode DNA-nya 90 persen lebih identik ini, dipicu rusaknya, habitat, karena alih fungsi hutan, utamanya karena pertambangan dan perkebunan sawit.

Walaupun, lembaganya tak spesifik menghitung berapa luas lahan yang dibutuhkan untuk satu individu orangutan, dari pantauan mereka, habitat orangutan di Kalimantan, khusunya Indonesia, tersisa di dua tempat.

Di Kalimantan Tengah, Kabupaten Seruyan dan Katingan. Dan Kaltim, membentang dari Kecamatan Muara Wahau hingga Kabupaten Berau yang masuk dalam landscape hutan Kutai.

"Beberapa kasus, kalau kita lihat peta, kita zoom out, sekeliling (habitat orangutan) tidak ada hutan lagi. Kalau dulu (semisal) bermain bola satu lapangan bola besar, ketika (hutan) dibabat menjadi seluas lapangan futsal, dan makin kecil seperti lapangan bulu tangkis. Ketika kecil, menjadi konflik (dengan manusia)," urai Ramadhani.

Selain dua kasus pembunuhan yang sudah diadili, mereka mencatat sejumlah konflik manusia dan orang utan.

Salah satunya terjeratnya orang utan di lahan enclave taman nasional Kutai (TNK) awal 2017 lalu.

Termasuk berbagai cerita orang utan masuk perkampungan warga di Kecamatan Kongbeng, Kutai Timur, dan penyerangan orang utan ke penduduk di Muara Badak beberapa waktu lalu.

"Ada juga info dari medsos dan warga, yang gak terlapor kami yakin banyak," katanya.

Dari kacamata COP sendiri, penegakan hukum yang berat bagi pelaku pembunuhan orang utan, menjadi pintu masuk membuka pandangan masyarakat soal kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia.

Sebagai contoh, 2011 lalu, ketika kasus pembunuhan orangutan menjadi isu nasional dan jadi perhatian, pemerintah pusat dan daerah 'menegur' industri perkebunan sawit yang diduga jadi biang kasus ini.

"(Waktu itu) semua perkebunan sawit melakukan evaluasi. Sebelumya, mereka bikin satgas ilegal, tangkap, bunuh, dan kubur (orang utan). Sekarang gak berani," ujarnya.

"Sejak kejadian itu masyarakat Kaltim makin tahu. Sejak saat itu, BKSDA bisa menerima banyak orang utan, kalau ini banyak masyarakat baca dan nonton, oh ternyata bunuh orang utan itu lama juga dipenjara. Efek jera yang kita dorong," sambungannya.

Diketahui, hingga pertengahan tahun 2018 ini, terpantau ada dua kasus pembunuhan orangutan yang divonis di meja hijau.

Pertama, putusan Pengadilan Negeri Barito Selatan, Kalimantan Tengah, Nomor Perkara 26/Pid.B/LH/2018/PN BNT dan 27/Pid.B/LH/2018/PN BNT, Senin (14/5/2018) yang menyatakan terdakwa, Muliyadi bin Landes dan Tamorang bin Ribin, atas kasus pembunuhan orang utan di Jembatan Kalahien, Kab. Barito Selatan, Kalimantan Tengah.

Setelah beberapa kali, keduanya terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana membunuh satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup, dan dijatuhi pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan denda sejumlah Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) subsider 1 bulan.

Baca juga:

Lalu Muhammad Zohri, Atlet RI Pertama yang Sukses Raih Medali Emas di Kejuaraan Dunia U-20 IAAF

Kehabisan Tiket Pesawat, Kepulangan  Pemain Borneo FC Tertunda

Bila Cawapres Bukan Cak Imin, PKB Buka Opsi Tak Dukung Jokowi; PDIP Sebut Gimik

Perjalanan Kroasia di Piala Dunia 2018 Mirip Jerman 2002, Lolos via Play-off hingga Menembus Final

Selain kasus Orangutan di Kalimantan Tengah diawal tahun 2018, kasus pembunuhan orangutan dengan 130 peluru di Desa Teluk Pandan, Kutai Timur, Kalimantan Timur juga menemui babak akhir setelah di mana sebelumnya Kepolisian Resort Kutai Timur telah menetapkan 4 tersangka yaitu Andi Bin Hambali, Rustan Bin H. Nasir, Muis Bin Cembun dan H. Nasir Bin Sakka.

Dibutuhkan 70 hari dan menjalani 9 kali persidangan hingga pada Selasa (3/7/2018) lalu, di pengadilan Negeri Sangatta, dan, dalam Nomor Perkara 130/Pid.B/LH/2018/PN Sgt dan 131/Pid.B/LH/2018/PN Sgt, hakim memutuskan ke-empat tersangka dinyatakan bersalah dengan menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa tersebut masing-masing dengan pidana penjara 7 (tujuh) bulan dan denda sebesar Rp 50 juta subsider 2 bulan. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved