Kala Nelayan Tradisional Bertemu Generasi Milenial, Telkomsel Internet of Things jadi Solusi
Telkomsel pada dasarnya mendukung program yang diselenggarakan pemerintah, termasuk dalam upaya menghadapi Revolusi Industri 4.0.
Merasa frustrasi dengan kesejahteraan ekonomi, mereka pun beralih pekerjaan menjadi buruh pabrik di Kawasan Industri Kariangau (KIK).
Namun sebagian warga yang hanya bisa menjadi nelayan tradisional tetap setia menekuni pekerjaan tersebut. Dengan segala keterbatasan.
Terutama warga di RT 03, Jalan Manuntung, Desa Salok Oseng.
Sejak pagi, mereka telah bersiap ‘melaut’. Melaut di sini sebenarnya bukan pergi ke laut lepas melainkan sungai di sekitaran Teluk Balikpapan.
Mereka tak bisa jauh karena kapal yang digunakan cuma perahu motor kecil (ketinting) dengan alat tangkap bubu.
Pergi pukul 08.00 dan kembali pukul 12.00 atau menjelang petang. Hasil tangkapan tak tentu.
Rata-rata 3 kg ikan dan 8 kg kepiting. Sebulan penghasilan rata-rata Rp 3 juta, bisa kurang atau lebih tergantung hasil tangkapan.
“Itu kalau surut, tapi kalau pasang, agak susah cari ikan,” ujar Husain (58).
Faktor cuaca paling dominan membuat mereka tak bisa melaut. Bisa berhari-hari dan itu artinya, nelayan tak dapat penghasilan.
Dengan hasil tak menentu itu, banyak nelayan yang akhirnya bekerja di pabrik. Padahal dulu hampir semua warga Salok Oseng merupakan nelayan turun-temurun.
Hal itulah yang ingin diubah Zulfadli, mahasiswa Jurusan Teknik Material dan Metalurgi, Semester 8, Institut Teknologi Kalimantan (ITK).
Bersama 19 teman-temannya yang tergabung dalam penelitian pengembangan budidaya kepiting soka di Desa Salok Oseng, Fadli tergerak untuk membantu nelayan.
Menurut Fadli, Salok Oseng memiliki potensi ekonomi dan masyarakat yang antusias ingin maju bersama.
“Sayang jika ada potensi sebagus ini tapi tak dikembangkan,” tutur Fadli.
Menjadi nelayan bukan berarti tak bisa sejahtera atau selalu hidup dalam kemiskinan.