Pilpres 2019
Kembali Disinggung Sandiaga, Ini Alasan Utama Jokowi tak Hapus Ujian Nasional Tahun 2016 Lalu
Wacana seputar penghapusan Ujian Nasional sebenarnya bukanlah hal baru. Tahun 2016 lalu, pemerintah sudah hampir menghapus ujian nasional.
Penulis: Doan Pardede | Editor: Syaiful Syafar
TRIBUNKALTIM.CO - Andai terpilih menjadi pemenang pada Pemilihan Presiden 2019 (Pilpres 2019) mendatang, pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno akan menghapus Ujian Nasional (UN).
Hal ini disampaikan langsung oleh calon wakil presiden (cawapres) Sandiaga Uno dalam debat pilpres ketiga yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/3/2019).
Tema debat kala itu adalah Pendidikan, Kesehatan, Ketenagakerjaan, Sosial dan Budaya.
Baca juga :
Ujian Nasional Berbasis Komputer, Wagub Kalimantan Timur Pastikan Tidak Ada Kebocoran Soal
Ujian Nasional Tinggal Hitungan Hari, Cek Jadwal dan Klik Link Kisi-kisi Soal di Sini

Sebagai gantinya, Sandiaga Uno mengatakan pelajar akan menjalani konsep penelusuran minat dan bakat.
"Kami pastikan bahwa ujian nasional dihentikan dan diganti dengan penelusuran minat dan bakat,"ungkap Sandiaga Uno.
Cawapres nomer urut 02 menjanjikan sistem pendidikan yang tuntas dan berkualitas, selain itu sistem pendidikan akan diarahkan untuk fokus ke akhlakul karimah.
Selain itu, Sandiaga Uno juga berjanji menyediakan pendidikan murah dan kesejahteraan guru honorer.
"Di bidang pendidikan, pendidikan tuntas berkualitas meningkatkan kualitas guru, terutama guru honorer," ujar Sandiaga Uno.
Selain itu, Prabowo-Sandi dan juga akan membuat sistem sekolah link and match.
Program itu merupakan jembatan bertemunya para pencari dan penyedia lapangan kerja.
"Sekolah link and match hadirkan pencari dan pencita lapangan kerja," kata Sandiaga Uno.
Beberapa polemik Ujian Nasional di Indonesia :
1. Orang mengeluh

Dilansir Tribunnews.com, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima banyak sekali pengaduan dari orang tua mengenai pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun 2018.
Salah satunya adalah keluhan para orang tua yang menganggap sistem zonasi yang diterapkan di PPDB 2018 tak memperhitungkan perjuangan anaknya selama berbulan-bulan untuk Ujian Nasional (UN).
“Nilai UN hanya dilihat jika ada dua calon peserta didik memiliki jarak yang sama dengan sekolah, sehingga yang utama tetap jarak dari rumah ke sekolahnya,” ungkap Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Retno Listyarti di Kantor KPAI, Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (11/7/2018).
Menurut Retno para orang tua mengeluhkan perjuangan anaknya selama berbulan-bulan untuk mendapatkan nilai UN bagus akhirnya sia-sia karena kalah jarak rumah dengan peserta didik yang lain.
“Sehingga mereka berpikir apakah salah membeli rumah yang jaraknya jauh dengan sekolah yang dituju sehingga anaknya gagal lulus PPDB, karena dengan nilai UN 9 anaknya kalah dengan calon peserta didik lain dengan nilai UN 5 tapi jarak rumahnya lebih dekat,” imbuhnya.
Pihak KPAI pun mengusulkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk pembuat regulasi PPDB di daerah agar melakukan pemetaan dan penyesuaian kebijakan dengan kondisi di lapangan.
“Dalam Permendikbud No 14 Tahun 2018 mengakomodasi hal tersebut, yakni peraturan PPDB bisa disesuaikan dengan perkembangan di lapangan,” pungkas Retno.
PPDB 2018 yang meliputi penerimaan siswa untuk sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas serta yang sederajat memang menuai banyak kontroversi mulai dari indikator penerimaan hingga pemalsuan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) oleh orang tua agar siswa dipermudah mendapatkan kursi di sekolah yang diinginkan.
2. BNSP minta ujian nasional dipertahankan
Tahun 2013 lalu, sejarah buruk merundung dunia pendidikan Indonesia setelah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengundur waktu pelaksanaan Ujian Nasional (UN) pada 11 provinsi.
Dilansir oleh Tribunnews.com kala itu, Kemendikbud memilih menyalahkan PT Ghalia Indonesia Printing yang melakukan wanprestasi sehingga tidak bisa memenuhi kewajibannya menyiapkan naskah UN tepat waktu.
Akibat hal tersebut, pelaksanaan UN pun menjadi perbincangan apakah UN tetap harus ada atau dihapuskan dengan berbagai alasan.
Sebagian pihak menilai UN harus dihapuskan karena kualitas pendidikan setiap daerah berbeda.
Namun berbeda hal dengan Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) yang menganggap bahwa UN tetap harus ada.
"Kalau dihapus kita tidak punya standar nasional. Standar nasional itu diperlukan karena pendidikan di daerah sangat beragam. Jadi kita menginginkan siswa harus menguasai pendidikan pada tingkat tertentu dan itu tidak terlalu tinggi atau rendah," ungkap anggota BSNP Teuku Ramli Zakarian dalam Polemik Sindo Radio di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (20/4/2013).
Menyikapi keluhan sebagian orang di daerah yang memandang soal-soal UN saat ini terlalu sulit, Ramli menjelaskan bahwa memang UN untuk mengukur kompetensi kelulusan.
"Yang dimaksud kompetensi kelulusan, minilai dalam kompetensi. Jadi soal-soal yang digunakan sudah distandarkan, jadi tingkat kesukaran yang layak. Kalau siswa belajar dengan baik, guru mengajar dengan semestinya. Insyaallah siswa bisa mengerjakan dengan baik," ungkapnya.
Kalau tanpa kompetensi minimal yang dikuasai anak, maka sekolah akan cenderung meluluskan 100 persen peserta didiknya. Bila hal itu terjadi maka yang paling dirugikan adalah sekolah yang bermutu rendah dan di daerah-daerah yang belum maju pendidikannya.
"Makannya kami berikan UN, dari sinilah Kemendikbud, dari sekolah-sekolah yang belum baik, dari daerah yang masih rendah tingkat pendidikannya masih harus dibantu. Dari Sabang sampai Merauke harus bisa mengakses pendidikan bermutu," ungkapnya.
Sekarang banyak pendidikan bermutu, tapi hanya ada di kota-kota besar dan hanya orang kaya saja. Maka pihak BSNP ingin anak-anak miskin juga bisa mengakses pendidikan bermutu.
"Hanya dengan pendidikan bermutu kita bisa berkomperisi di tingkat global," ucapnya.
3. Soal terlalu sulit
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) prihatin atas sulitnya soal Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) SMA tahun 2018 dalam mata pelajaran matematika.
“KPAI menyampaikan keprihatinan atas sulitnya soal mata uji matematika UNBK SMA tahun 2018 yang viral di media sosial maupun media massa.”, ujar Retno Listyarti Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Menteng, Selasa (17/4/2018) seperti dilansir kpai.go.id.
KPAI juga menyesalkan cepatnya reaksi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI yang langsung menyatakan bahwa soal matematika UNBK SMA memang dibuat sulit, karena termasuk jenis soal HOTS (Higher Order Thinking Skills).
“Padahal, sulit (hard) atau mudahnya sebuah soal tidak bisa langsung ditentukan dari teks ataupun konteks soal.”
“Secara metodologis tingkat kesukaran soal ditentukan dengan statistik. Dari populasi atau sampel diperiksa berapakah siswa yang menjawab benar, salah atau malah tidak menjawab,” katanya.
Retno mengatakan sederhananya bila banyak siswa menjawab dengan benar berarti soal itu mudah, dan bila yang terjadi sebaliknya berarti soal itu Sulit.
“Sementara hasil UN BK matematika SMA belum diketahui hasilnya saat itu,” tambah Retno.
Ada beberapa hal yang dikeluhkan oleh siswa diantaranya soal UNBK yang sangat sulit, tidak cukup waktu mengerjakannya karena langkahnya yang banyak dan rumit, soal tidak sesuai dengan kisi-kisi, dan siswa menyatakan hanya menyakini jawaban benar sekitar 5 s.d. 10 dari 40 soal yang diuji.
“Siswa juga mengaku tidak pernah membayangkan soal matematika UNBK sesulit itu, padahal selama ini mereka sudah belajar keras untuk berlatih menyelesaikan soal-soal matematika dari berbagai sumber,” katanya.
Retno mengatakan para siswa pengadu mengaku tidak pernah mendapatkan soal jenis itu dalam proses pembelajaran dan penilaian selama 3 tahun di SMA.
KPAI sudah menerima aduan dari 27 siswa melalui media sosial.
“27 siswa mengadu ke KPAI melalui media sosial.”, Katanya.
Presiden Jokowi batal hapus ujian nasional
Dilansir oleh Kompas.com dan Tribunnews.com, wacana seputar penghapusan Ujian Nasional sebenarnya bukanlah hal baru.
Tahun 2016 lalu, pemerintah sudah hampir menghapus ujian nasional.
Namun, Presiden Joko Widodo akhirnya memutuskan tetap memberlakukan Ujian Nasional.
Keputusan Jokowi diambil usai menggelar rapat terbatas sebanyak dua kali.
"Presiden telah memutuskan hal yang berkaitan dengan ujian nasional. Ujian nasional tetap diadakan dijalankan dengan berbagai penyempurnaan perbaikan," ujar Sekretaris Kabinet Pramono Anung usai rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (19/12/2016).
Menurutnya, pemerintah mengkaji survei yang dilaksanakan PISA, sebuah lembaga studi internasional perihal kondisi pendidikan di Indonesia.
Hasil survei PISA menyebut, pendidikan nasional yang dilakukan pemerintah Indonesia saat ini sudah benar.
"Memperlihatkan bahwa sebenarnya pendidikan kita sudah on the right track," katanya.
Survei menunjukkan kualitas pendidikan di Indonesia setiap tahun meningkat tajam.
Peningkatan kualitas ini terlihat dari tahun 2003 hingga 2016.
Bahkan, PISA memprediksi bahwa pada 2030, Indonesia akan menjadi bagian dari negara-negara yang memiliki pendidikan terbaik di dunia.
Kendati demikian, PISA melihat pendidikan Indonesia butuh penyempurnaan.
Hal itulah yang akhirnya membuat pemerintah memutuskan untuk meneruskan pemberlakuan
UN tetap diselenggarakan dengan sejumlah perbaikan. Salah satunya, pemerintah terus mendorong perbaikan kualitas guru.
"Guru yang sudah disertifikasi tentunya ditingkatkan dari waktu ke waktu kemampuannya sehingga dengan demikian akan ada evaluasi kinerja guru," urainya seraya menyebut, Presiden Jokowi menilai penghapusan UN justru ditengarai bakal menimbulkan kesenjangan baru.
"Jika UN ini tidak dijalankan, maka bisa menimbulkan kesenjangan baru, antara sekolah bagus dan tidak bagus. Terutama antara Jawa dan luar Jawa. Dan jangan sampai kemudian sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi baik di negeri ini kembali lagi seperti dulu, hanya anak-anak yang bisa sekolah di Jawa," ungkapnya.
Baca juga :
Puluhan Pelajar Kalimantan Timur Masuk Seleksi Nasional SMA Pradita Dirgantara, Ini Kisahnya
VIDEO EKSKLUSIF - Jelang UNBK 2019, Belum Semua Sekolah di Kaltim Bisa Gelar UNBK
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pasrah usulan moratorium atau penghentian sementara Ujian Nasional yang diajukannya ditolak dalam rapat kabinet terbatas.
Ia mengaku, menerima keputusan yang diambil dalam ratas yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla tersebut.
"Saya kan pembantu Presiden," kata Muhadjir usai ratas.
Sebelumnya, berhembus kabar rencana moratorium ujin nasional bakal dilakukan lantaran pemerintah belum menggelar tender pelaksanaan UN hingga Desember ini.
Padahal, tender pelaksanaan ujian nasional kerap dilakukan sejak Oktober.
Menyangkut pelaksanaan UN tersebut, Muhadjir optimistis bakal berjalan dan memenuhi target.
"Insya Allah," kata Muhadjir.
Muhadjir menyebut pelaksanaan UN 2017 bakal dilengkapi dengan penyempurnaan.
Salah satu penyempurnaan itu adalah keterlibatan guru dalam pembuatan soal ujian nasional.
"Tinggal kelanjutannya saja. Nanti akan ada workshop-workshop, termasuk melibatkan guru membuat soal dengan gunakan standar nasional di bawah kendali BNSP (badan nasional sertifikasi kompetensi) dan bimbingan LPMP (lembaga penjaminan mutu pendidikan) dari Kemendikbud. Untuk konten nanti diarahkan oleh P4TK (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan)," imbuhnya.
(Tribunkaltim.co/Doan Pardede)
Jangan lupa follow Instagram tribunkaltim:
Subscribe channel YouTube newsvideo tribunkaltim: