Ini Kriteria yang Buat Nama Prabowo Subianto Muncul Jadi Kandidat Capres 2024, Meski Selalu Kalah
Nama Ketum Gerindra Prabowo Subianto kembali muncul sebagai kandidat kuat Capres 2024. Kriterianya bukan persoalan selalu kalah di Pilpres
Oleh karena itu, lanjut Pangi, adanya upaya ‘rekomposisi’ koalisi pasca pilpres adalah bentuk ketidak-percayaan diri koalisi pemenang pilpres terhadap kekuatan politiknya sendiri.
Di sisi lain juga sebagai upaya membungkam kelompok oposi untuk melumpuhkan daya kritisnya terhadap kekuasaan sebagaimana yang telah dilakukan pada periode sebelumnya.
"Apakah belum cukup dukungan partai di parlemen sekarang terhadap pemerintahan Jokowi? Kalau kita perhatikan kekuatan politik dan dukungan partai di parlemen terhadap pemerintahan Jokowi, sudah lebih dari cukup yakni 60 persen," katanya.
Intrik politik semacam ini, tutur Pangi, semestinya bisa dihindari dengan upaya membentuk koalisi permanen yang tidak mudah goyah hanya karena godaan pembagian “kue kekuasaan” semata, meski terkadang kue yang dibagi-bagi itu sisa kekuasaan yang sudah basi.
Koalisi permanen akan mendorong kelompok oposisi punya proposal tandingan sebagai “second opinion” sehingga nantinya kebijakan pemerintah bukan hanya dikritik tanpa dasar, namun juga punya alternatif berfikir konstruktif dengan harapan bisa menjadi jalan pikiran yang lebih baik untuk perbaikan bangsa ke depannya.
• 5 Kuda Hitam di Pilpres 2024, Ada yang Tersandung Penistaan Agama, Hingga Jadi Tersangka KPK
• Ini Daftar 15 Tokoh yang berpotensi Jadi Capres di Pilpres 2024, Ada 3 Wanita, Ahok Kuda Hitam
• Pengamat Ini Sebut Rugi Gerindra Gabung Jokowi, Peluang Besar Menang Pilpres 2024 Bisa Lepas
"Soal tawaran agar Gerindra masuk ke koalisi pemerintah Jokowi bagaimana? Menurut pendapat saya, sebaiknya jangan, sebab kenapa? Pertama, tentu saja tidak sehat bagi sistem politik Indonesia ke depannya, kedua bisa menurunkan kualitas demokrasi kita," katanya.
Baca juga :
Menteri Kabinet Jokowi-Maruf Diprediksi Didominasi dari Tokoh Parpol, Begini Prediksi Pengamat
Terlalu Banyak Parpol Bergabung, Pemerintahan Jokowi Dikhawatirkan Jadi Otoriter, Begini Analisanya
"Salah satu kelemahan sistem presidential setengah hati adalah karena dipadukan dengan multipartai, ini yang sering kita sebut cacat bawaan sistem presidential multi-partai, tidak berlebihan saya sebut sistem presidential banci," tutur Pangi.
Sementara, sistem presidential murni itu bagaimana?
Partai pengusung utama calon presiden yang menang langsung jadi partai berkuasa “the rulling party” sementara yang kalah langsung otomaticly memposisikan diri menjadi “partai oposisi”.
Bagaimana etika partai pengusung capres tersebut usai kontestasi?
Pangi memberi contoh seperti di Amerika Serikat, partai punya fatsun politik, tidak ada cerita setelah presiden terpilih, yang tadinya berseberangan, lalu di tengah jalan bergabung ke koalisi presiden terpilih.
"Apakah partai tersebut “berkeringat” memenangkan presiden terpilih? Apakah “berdarah-darah” memenangkan calon presidennya? Kita ini ya lucu, karena alasan “mengamankan” kepentingan di parlemen, supaya tidak diganggu dan mendapat dukungan penuh di DPR, dengan harapan semua program dan kebijakan pemerintah dapat berjalan mulus di parlemen kemudian menjadi alasan merangkul partai oposisi dalam pilpres," ucapnya.