Pabrik Pengolahan Kedelai di Bontang, Dianggap Ilegal dan Gunakan Air tak Layak Konsumsi
Selain itu, produksi tahu dan tempe mereka juga dinilai kurang higenis karena menggunakan air sungai sebagai bahan baku.
Penulis: Mir | Editor: Mathias Masan Ola
TRIBUNKALTIM.CO,Keberadaan pabrik pengolahan kedelai di Kota Bontang masih dinilai illegal karena belum mengantongi izin. Selain itu, produksi tahu dan tempe mereka juga dinilai kurang higenis karena menggunakan air sungai sebagai bahan baku.
Sementara dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Bontang menilai bahwa air sungai yang digunakan tak layak konsumsi.
Salah seorang pemilik pabrik yang memproduksi tahu dan tempe, Darmaji mengakui, bila usahanya memang didirikan di bantaran sungai. Bukan hanya itu, air sungai menjadi bahan baku untuk produksi tahu tempe. Bahkan sungai tersebut juga digunakan untuk pembuangan limbah produksi.
Dari pantauan tribunkaltim.co, pipa ukuran sedang menjulang ke permukaan air sungai. Pipa disambung dengan selang dan berakhir di 3 tandon yang berdiri di atas tak jauh dari tempat pembakaran.

Darmaji mengaku memilih menggunakan air sungai sebab dianggap lebih layak ketimbang air PDAM. Alasannya, karena kualitas air PDAM tak baik untuk produksi dan aroma kaporit tercium sehingga kualitas seperti itu tak bagus untuk produksi.
“Harus diinapkan dulu mas, paling sehari lah baru digunakan. Tapi kami pakai air PDAM kalau lagi kemarau saja. Kalau seperti sekarang (musim penghujan) pakai air sungai,” ujar Darmaji.
Ia tak sendiri. Tak jauh dari lokasi pabriknya, pabrik Tempe Asli HB juga berdiri di bantaran sungai. Lokasinya lebih ke hulu dari pabrik Darmaji.
Produksi pabrik olahan kedelai menggunakan air sungai sebagai bahan baku. Pengusaha mengaku kualitas air dari PDAM tak baik jika digunakan untuk produksi tempe dan tahu.
Pengelola Tempe Asli HB, Aji Hadi bersama istrinya Rina Andriana juga menggunakan air sungai sebagai bahan baku. Hanya saja, ia mencampur air sungai dengan air sumur bor yang diperoleh dari depan rumahnya.

Aji dan Rina baru tiga tahun menempati lokasi ini. Namun demikian, ia sudah bisa memproduksi tempe mencapai 450 kuintal dalam sehari. “Yah kita pasarkan produk ke langganan di pasar-pasar,” ujar Aji kepada tribun saat ditemui di rumahnya.
Tak berbeda, Aji memutuskan menggunakan air sungai karena mengeluhkan kualitas air PDAM. Menurutnya, produksi tempe jika menggunakan air PDAM gagal karena tempe menghitam hanya beberapa jam setelah diproduksi. “Tahun lalu saya rugi Rp 17 juta mas karena pakai air PDAM,” ujarnya.
Namun, berbeda dengan pabrik olahan milik Mudawam di RT 09, Kelurahan Api-Api, Kecamatan Bontang Utara.
Mudawam mengaku membangun wadah penyimpanan air berukuran besar 12x6 meter. Untuk memenuhi kolam miliknya, 4 alat meter air ia gunakan. Dalam sebulan Mudawam harus membayar Rp 5 juta tagihan air. “Memang rata-rata pakai air sungai pak,” ujar Mudawam beberapa waktu lalu.
Produksi pabrik olahan kedelai menggunakan air sungai sebagai bahan baku. Pengusaha mengaku kualitas air dari PDAM tak baik jika digunakan untuk produksi tempe dan tahu.
Mudawam mengaku biaya produksi tahu dan tempe miliknya cukup tinggi. Berbeda dengan pabrik lain yang menggunakan air sungai sebagai bahan baku.

Untuk satu kaleng ia pasarkan sedikit lebih mahal ketimbang pengusaha lainya seharga Rp 85 ribu atau selisih Rp 10 ribu dari pengusaha lainnya.
Ternyata air sungai yang digunakan pabrik pengolahan kedelai di Kota Bontang ternyata tak layak konsumsi. Ini dikatakan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bontang. Mereka memastikan kualitas air dari sungai Bontang tak layak untuk untuk dikosumsi termasuk untuk bahan baku pengolahan kedelai.
Penegasan ini sesuai yang termaktub dalam Perda Provinsi Kaltim Nomor 2/2011 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendaliam Pencemaran Air.
Mengacu dari aturan tersebut, baku mutu dan kualitas air di Sungai Bontang masuk dalam kategori kelas 2 yang peruntukkannya bukan untuk konsumsi.
Kepala Bidang Peningkatan Kapasitan dan Penegakam Hukum Lingkungan, DLH Bontang Anwar Sadat mengatakan kualitas air sungai di Bontang tidak dapat digunakan sebagai bahan baku air minum.
Namun, seperti diatur di dalam Perda itu menyebutkan air sungai dapat dimanfaatkan untuk keperluan peternakan, pertanaman serta budidaya ikan tawar serta rekreasi air.
Hasil uji laboratorium per April lalu kualitas air masih di bawah ambang batas pencemaran. Parameter kualitas air tak menunjukkan indikasi kandungan yang melebihi batas sewajarnya.
“Jadi kelas air dan baku mutu terdiri dari 4 kelas. Hanya untuk kelas pertama saja bisa digunakan untuk bahan baku air minum,” ujar Anwar kepada tribun saat dikonfirmasi di kantornya, Senin (1/7/2019).
Lebih lanjut, Anwar menambahkan sungai di Kota Bontang belum masuk kategori layak konsumsi lantaran debit air yang dianggap minim.
Salah satu indikator sungai jadi bahan baku air apabila debit sungai tersebut mampu untuk dikelola sebagai air baku untuk air minum.
“Tapi debit air kita kan kecil, tidak cukup. Jadi indikatornya belum bisa masuk dalam kelas pertama,” ujarnya.
Disinggung, terkait praktik sejumlah pabrik olahan kedelai menggunakan air sungai sebagai bahan baku. Anwar mengatakan,
otoritas untuk menjawab hal tersebut menjadi ranah dinas yanh membidangi (Dinas Kesehatan). “Kami mengurusi tata lingkungan, untuk produknya bisa langsung ke dinas terkait,” ujarnya.
Ternyata bukan hanya persoalan bahan baku yang digunakan dari air sungai yang tak layak konsumsi, ternyata keberadaan pabrik pengolahan kedelai ini juga masih illegal karena belum mengantongi izin dari dinas terkait.
Dinas Koperasi, Perdagangan dan UMKM (Diskopdag-UMKM) sampai sekarang belum ada produsen tahu dan tempe di Bontang yang telah mendapat rekomendasi izin usaha.
Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Industri, Diskodag-UMKM, Ekawati mengatakan, pihaknya belum pernah menerbitkan rekomendasi izin usaha bagi produsen tahu dan tempe di Kota Bontang.
Ia menjelaskan, rekomendasi izin yang diperlukan perlu melalui tahap sistematis mulai kelengkapan dokumen lingkungan hingga kunjungan ke lapangan. “Belum pernah ada kunjungan ke lapangan selama ini,” ujar Ekawati saat dikonfirmasi, Senin (1/7/2019).
Kelengkapan dokumen lingkungan menjadi indikator yang wajib dimiliki pengusaha, seperti ,Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) dari dinas terkait.
Idealnya, syarat ini wajib dimiliki industri menengah sebelum mulai beroperasi di Kota Bontang. Tetapi fakta di lapangan, sejumlah pabrik tahu dan tempe telah beroperasi bahkan puluhan tahun tanpa mengantongi izin yang diperlukan.
Dikonfirmasi terpisah, Dinas Kesehatan Bontang membenarkan sejauh ini belum ada permintaan untuk menguji higienis dan sanitasi dari dinas terkait.
Selama ini hasil uji higienis makanan dilakukan untuk produk yang siap konsumsi. Sementara, untuk kelayakan bahan baku air sungai untuk pabrik tahu belum pernah dilakukan.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat, Dinkes Bontang Jamila Suyuthi mengatakan, yang dimaksud air layak konsumsi yakni tidak berwarna, beroma dan tidak berasa.
“Air layak konsumsi seperti itu, dan jika ingin dikonsumsi wajib direbus sampai melalui titik didih (100 derajat),” ujar Jamila.
Pihaknya mengatakan, sumber air baku untuk produksi idealnya apabila melalui proses penyaringan, penjernihan dan pemeriksaan secara klinis.
“Tapi kalau air dari sungai langsung dipakai untuk produksi tanpa melalui proses tadi yah tidak layak,” ujarnya.
Namun demikian, ia mengatakan bakal melakukan uji sampel terhadap produk-produk tahu dan tempe di Kota Bontang. Untuk memastikan kelayakan konsumsi komoditas merakyat ini. (*)
(tribunkaltim.co/samir paturusi)
SUBSCRIBE OFFICIAL YOUTUBE CHANNEL:
Hamili Adik Kandung, AM Jalani Nikah Sedarah di Kalimantan Timur, Ini Respon Istrinya di Bulukumba
Tak Sengaja Nonton Konflik Ikan Asin, Begini Reaksi Anak Fairuz A Rafiq dari Galih Ginanjar
Arti Emoji Dua Tangan Menyatu, High Five, Terima Kasih atau Maaf? Ini Penjelasannya
Persib Gagal Menang di 4 Pertandingan Terakhir, Robert Rene Alberts Ancam Depak Pemainnya
Sederet Fakta Calon Menteri Jokowi, Ada yang Senyum, Siap dengan Syarat, dan Ada yang Tegas Menolak