Ibu Kota Baru
Pemindahan Ibu Kota Baru, Tim BPN/ATR Mulai Lakukan Identifikasi Lapangan di Kecamatan Sepaku PPU
Tim BPN/ATR Mulai Lakukan Identifikasi Lapangan di Kecamatan Sepaku Penajam Paser Utara terkait pemindahan ibu kota negara.
Penulis: Heriani AM | Editor: Rita Noor Shobah
TRIBUNKALTIM.CO, PENAJAM - Pemindahan Ibu Kota Baru, Tim BPN/ATR Mulai Lakukan Identifikasi Lapangan di Kecamatan Sepaku PPU
Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) Republik Indonesia, didampingi oleh Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kanwil Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kantah Penajam Paser Utara (PPU), Senin (2/9/2019) lalu telah melakukan audiensi dengan pemerintah daerah Kabupaten PPU.
Audiensi dilakukan bertujuan untuk pelaksanaan identifikasi lapangan pada lokasi Ibu Kota Negara (IKN) baru di Benua Taka.
"Mereka melakukan audiensi terkait identifikasi lahan, yang diidentifikasikan di Kecamatan Sepaku, terutamanya Semoi II," kata Sekretaris Daerah (Sekda) PPU, Tohar pada Rabu (4/9/2019).
"Kemarin sudah ada tim yang turun ke lapangan terkait identifikasi lahan tersebut," sambungnya.
Dalam audiensi tersebut, Tohar berpesan pada segenap tim audiens yang hadir, bahwa persoalan-persoalan yang memungkinkan terjadi masalah, lebih baik diselesaikan lebih cepat.
"Terutama identifikasi lahan, yang pasti di dalamnya terdapat pemilik konsesi, baik pertambangan, perkebunan, status kawasan, pemilikan berdasarkan pada perdata orang perorangan, lebih baik teridentifikasi di awal secara tuntas," jelasnya.
BACA JUGA
Ibu Kota Pindah ke Kaltim, Jakarta Tetap Hadapi Kemacetan dan Polusi Udara
Calon Ibu Kota Baru Ini Raih Penghargaan Nasional Lomba Kadarkum, SIngkirkan 55 Peserta
28 Kasus Karhutla di Lokasi Calon Ibu Kota Baru, BPBD Penajam Paser Utara Lakukan Rapat Koordinasi
Pemerintah Daerah PPU siap membantu, terkait pendampingan tim saat pengidentifikasian berlangsung.
Fungsi tersebut dilakukan secara linear dari Pemerintah Pusat beserta jajarannya hingga tingkat Kabupaten.
Isu yang beredar, pemindahan pusat pemerintahan tersebut terfokus pada pemindahan kantor pusat yang membutuhkan 40.000 hektare lahan.
Saat ini, Pemerintah PPU juga masih belum mendapatkan bocoran wilayah mana saja yang ditunjuk menjadi titik pasti lokasinya.
"Baru identifikasi di sekitar itu (Semoi II), cuma titik pastinya belum pasti," pungkasnya.

Presiden Jokowi Tawarkan Tanah di Ibu Kota Baru ke Masyarakat, Berminat? Ini Harga dan Syaratnya
Pemerintah berencana menjual tanah di lokasi ibu kota baru, Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Harganya belum pasti, namun Presiden Joko Widodo memperkirakan Rp 2 juta per meter. Setiap warga negara dapat membeli secara individu, tanpa perantara dan tidak dijual kepada pengembang.
"Kita akan menjual kepada individu langsung, tidak ke pengembang, juga tidak kepada swasta, karena (nanti) harganya (jadi) mahal. Misalnya saya jual Rp 2 juta per meter.
Saya sudah tanya banyak orang, kalau harga Rp 2 juta per meter, banyak yang minat. Orang Jakarta banyak yang punya uang. Dalam tiga hari juga habis.
Bandingkan dengan harga di sini (lokasi strategis Jakarta), harga tanah sudah Rp 200 juta per meter," ujar Presiden Joko Widodo saat bertemu dengan lebih dari 35 pemimpin redaksi media massa di Istana Negara, Jakarta, Selasa (3/9) siang.
Presiden menjelaskan, hamparan tanah di Kabupaten PPU dan Kukar, calon lokasi ibu kota negara baru merupakan tanah negara dengan luas keseluruhan 180 ribu hektare (ha).

"Jadi areal yang kita patok itu 180 ribu hektare. Tapi tidak semua itu akan dibangun. Yang akan dibangun untuk ibu kota baru 40 ribu hektare," ujar Presiden Jokowi.
Perinciannya, pembangunan jangka panjang ibu kota baru seluas 40.000 hektare. Dari luasan itu, 10.000 ha akan dipakai untuk lokasi pembangunan kompleks perkantoran pemerintah pusat.
Dari 10 ribu hektare, akan dibangun terlebih dahulu kompleks istana dan kantor kementerian/lembaga.
Kemudian, sisa lahan peruntukan 30.000 hetare dijual dengan menawarkan ke pembeli per individu, bukan korporasi. Dan, tidak melalui perantara, semacam pengembang.
Masih menurut rencana Presiden, ibu kota negara di Kaltim langsung di bawah otoritas Presiden. Bukan dalam pengawasan Gubernur, maupun Bupati atau Walikota.
Namun, urusan penjualan tanah akan ditangani badan otorita, yang lembaganya masih dalam tahan pembahasan.
Sebelum menjual tanah seluas sekitar 30 ribu kektare, akan terlebih dahulu dibuatkan aturannya. Misalnya, tanah dibuat kavling-kavling ukuran luas 200 meter, 500 meter, dan untuk perusahaan misalnya maksimum 5.000 meter.
"Syaratnya, tanah harus dibangun dalam dua tahun, jika tidak dibangun, sertifikatnya akan dicabut. Rumah tidak boleh satu lantai, minimum 2 lantai. Tidak boleh juga tinggi-tinggi, maksimum 6 lantai," ujar Jokowi.
Rencana menjual tanah tersebut menjawab kritik sejumlah kalangan karena mempertanyakan sumber pendanaan pembangunan ibu kota baru.
Sebagai mana diketahui, pemerintah telah mengumumkan ibu kota baru berlokasi di Kalimantan Timur, tepatnya di sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Jakarta, Senin (26/8).
Pemerintah pun menyebutkan, anggaran yang dibutuhkan untuk membangun ibu kota baru mencapai Rp 466 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, hanya 19,2 persen sumber pendanaan menggunakan APBN.
Sementara porsi terbesar bersumber dari Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) sebesar 54,6 persen dari keseluruhan dana yang dibutuhkan. Adapun 26,2 persen sisanya bakal mengandalkan investasi swasta.
"Sebenarnya saya sudah tanya Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani. Bu, ini menurut Bappenas, dana yang dari APBN sekitar 19 persen, bagaimana?
'Lalu ibu Sri Mulyani bilang, wah itu kecil pak. Silakan lanjut.' Jadi saya lanjutkan," kata Jokowi sembari berseloroh "Biasanya ibu Menkeu, kalau minta dana, langsung keluar 10 kalkulator. Tapi ini, tidak."
"Kalau harga Rp 2 juta per meter (kali 30 ribu hektare = 300 juta meter, Red), maka pemerintah akan mendapat Rp 600 triliun.
Apalagi kalau dijual Rp 3 juta per meter, kita sudah mendapat Rp 900 triliun. Tapi kita tidak untuk mencari untung. Ingat tanah ibu kota ini, tanah negara, jadi tidak perlu membeli," ujar Presiden Jokowi. (*)