Ada yang Senang Aparat Gunakan Kekerasan di Papua, Rizal Ramli Contohkan Kasus Timor Leste dan Aceh

Ekonom Senior yang juga mantan Menteri Kemaritiman RI Rizal Ramli ikut angkat bicara soal kerusuhan Papua dan Papua Barat.

Penulis: Doan Pardede | Editor: Budi Susilo
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Pengamat ekonomi dan politik, Rizal Ramli 

TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA - Ekonom Senior yang juga mantan Menteri Kemaritiman RI Rizal Ramli ikut angkat bicara soal kerusuhan Papua dan Papua Barat.

Rizal Ramli saat hadir sebagai narasumber di Indonesia Lawyer Club atau ILC tvOne yang mengusung tema tema tentang Papua 'Mencari jalan terbaik' mengatakan, kekerasan sangat tidak cocok untuk menyelesaikan masalah di Papua.

Mengawali penyampaiannya, Rizal Ramli menyinggung mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang punya cara berbeda dalam menangani permasalahan di Papua. 

Gus Dur, kata Rizal Ramli, menganggap semuanya adalah satu saudara.

Bila satu atau dua orang anak mengatakan akan keluar dari rumah, maka akan muncul 3 opsi.

Pertama, sang anak langsung digebuk.

Kedua, sang anak diusir.

• Hasil Akhir Thailand vs Vietnam, Peluang Indonesia Semakin Berat

• Mobil Esemka Siap Diluncurkan Besok, Berikut Kisaran Harganya

• Rekonstruksi Kasus Jasad Terbakar di Mobil: Aulia Kesuma Santai, Sempat Layani Ajakan Ngobrol Warga

• Terungkap, Penyebab Kerusuhan Suporter Usai Timnas Indonesia vs Malaysia, Bikin Kapolres Naik Pitam

Dan ketiga, apa yang terjadi tersebut menjadi bahan instropeksi bagi orangtua itu sendiri.

"Bapak yang benar, pakai alat untuk instropeksi. Mungkin saya kurang sayang, mungkin saya kurang adil. Mari kita duduk. Menurutnya, mari kita anggap semua ini saudara. Jadi jangan main gebuk," ujar Rizal Ramli.

Jika main gebuk, kata Rizal Ramli, malah akan menguntungkan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Rizal Ramli menceritakan kisah Xanana Gusmao di Timor Leste.

"Dulu kan cuma gerakan politik. Bikin saya militer. Modalnya berapa sih, kurang dari 100.  Dididik di luar pakai senjata. Tapi mohon maaf, karena aparat kita banyak main kekerasan terhadap rakyat sipil yang tidak bersenjata akhirnya rakyat di Timor Leste ikut gerakan militer," kata Rizal Ramli.

Begitu juga menurutnya yang terjadi di Aceh.

Berdasarkan penuturan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kata Rizal Ramli, anggotanya awalnya cuma 60 orang saja.

"Dididik sebagai di Libya, dipersenjatai. Senjatanya nggak ada apa-apanya. Tetapi karena aparat kita bertindak keras terhadap penduduk sipil, tidak bersenjata, akhirnya GAM makin lama makin berkuasa," katanya.

Baca juga :

Waspada Gempa Susulan! Usai Lampung, Gempa Hari Ini Jumat 6 September 2019 Guncang Sarmi-Papua

Kutip Ucapan Presiden ke-5 RI, Ryamizard Ungkap Kenapa TNI-Polri Tak Mungkin Ditarik dari Papua

Rizal Ramli menegaskan bahwa ada dua prinsip.

Pertama, gerakan bersenjata tentunya memang harus dihadapi dengan sepatutnya.

"Tetapi jangan menggunakan kekerasan atau represif terhadap penduduk sipil di manapun di seluruh Indonesia, termasuk di Papua. Karena kalau sampai itu terjadi, kita membantu kampanye gerakan bersenjata," ujar Rizal Ramli.

Berikut videonya :

Kapolri Bentuk Tim Gabungan Pencari Fakta

Terkait kasus kerusuhan di Kabupaten Deiyai pada 28 Agustus, masih banyak pihak yang mengeluarkan pernyataan yang berbeda dari kepolisian.

Mananggapi hal tersebut, Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian yang tengah berada di Jayapura menegaskan bahwa yang memulai penyerangan adalah massa yang sebelumnya melakukan aksi protes dengan tertib.

"Saya ingin koreksi, saya ingin luruskan bahwa yang diserang pertama justru adalah petugas, dan ada korban yang gugur dan sebagian terluka," ujarnya di RS Bhayangkara, Jayapura, Kamis (5/9/2019) seperti dilansir Kompas.com.

Kapolri menyebut, penyerang menggunakan senjata mematikan, seperti panah, tombak, dan batu.

Senjata-senjata tersebut tergolong mematikan dan dilarang dalam hukum internasional, termasuk hukum nasional.

Penggunaan senjata oleh aparat keamanan dipastikan Tito sudah sesuai prosedur.

"Kemudian penyerangan terus berlanjut, anggota melakukan pembelaan diri sehingga akhirnya ada yang menggunakan senjata, dan itu diperbolehkan secara hukum nasional maupun internasional, penggunaan senjata bisa dilakukan ketika terjadi penyerangan yang bisa mengancam keselamatan jiwa petugas maupun orang lain," tuturnya.

Baca juga :

Bikin Video Menghasut Tentang Kerusuhan Papua, Youtuber Ditangkap Polda Jatim

Kasus Deiyai Papua, Kapolri Bentuk Tim Gabungan Pencari Fakta, Libatkan Komnas HAM dan Propam

Untuk mengakhiri kontroversi masalah Dieyai, Tito mengaku sudah membentuk tim gabungan pencari fakta.

"Saya sudah menurunkan tim dari Mabes Polri, Propam, bekerja sama dengan Komnas HAM agar dapat keterangan yang betul-betul obyektif mengenai peristiwa yang terjadi," tuturnya.

Sebelumnya diberitakan, bentrok antarmassa dengan aparat keamanan terjadi di Kabupaten Deiyai, Papua, pada Rabu (28/8/2019) siang.

Massa pada saat itu ingin kembali menggelar aksi unjuk rasa terkait dugaan tindak rasisme kepada mahasiswa Papua di Jawa Timur.

Eko juga memastikan ada perampasan senjata yang dilakukan massa.

Namun, ia belum dapat memastikan jumlahnya.

Menurut Eko, kini situasi di Distrik Waghete, Deiyai, sudah berangsur kondusif dan massa telah membubarkan diri sejak pukul 16.00 WIT.

Kini, kata Eko, Dandim 1705/Paniai, bersama Bupati Deiyai dan para tokoh masyarakat setempat sedang berkumpul untuk mengatasi masalah tersebut.

Akibat kejadian tersebut, Serda Rikson gugur karena mengalami luka terkena senjata tajam/sejenis parang dan luka panah di kepala

Menhan : TNI-Polri tak mungkin ditarik dari Papua

Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu mempertanyakan pihak yang meminta personel TNI-Polri ditarik dari Papua dan Papua Barat.

Ryamizard mengatakan, penarikan TNI-Polri tak mungkin dilakukan mengingat tugas TNI dan Polri adalah menjaga keamanan negara.

Ia pun berpegang pada pertanyaan presiden kelima Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri bahwa 'seribu kali pejabat gubernur di Papua diganti, Papua tetap di sana.

Tetapi satu kali TNI dan Polri ditarik dari tanah Papua, besok Papua merdeka.

"Ini yang jadi acuan kita, karena banyak sekali orang yang menyuruh-nyuruh tentara pulang. Ini ada apa maksudnya?," kata Ryamizard dalam rapat bersama Komisi I DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (5/9/2019).

Ryamizard mengatakan, TNI memiliki tugas untuk menjaga keamanan dan kedaulatan negara.

Ia menegaskan, tidak ada kompromi apapun terhadap musuh yang ingin mencoba mengganggu keutuhan NKRI.

"Perlu kita ketahui, kalau TNI melaksanakan tugasnya, maka tak ada kompromi. Musuh negara harus dihancurkan," ujar dia.

Selanjutnya, Ryamizard mengatakan, saat ini ada tiga ancaman dalam pertahanan negara, yaitu pertahanan nyata, belum nyata dan sangat nyata.

Ia pun mengatakan, ancaman yang paling berbahaya berupa ancaman pada pola pikir atau mindset seluruh warga negara terkait pemisahan suatu wilayah dari NKRI.

"Dan ancaman ketiga yang paling berbahaya adalah ancaman mindset seluruh rakyat negara Indonesia yang berusaha memecah belah, yakni ancaman terhadap Pancasila dan segala bentuk ancaman pemisahan diri terhadap NKRI," pungkas dia.

(TribunKaltim.co/Doan Pardede)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved