Bila RKUHP Tak Ditolak, Proses Hukum untuk Kumpul Kebo Bakal Berubah, Ada Peran Kepala Desa
Pasal 419 yang mengatur hidup bersama tanpa status pernikahan atau kumpul kebo pada RKUHP menjadi sorotan.
TRIBUNKALTIM.CO - Pasal 419 yang mengatur hidup bersama tanpa status pernikahan atau kumpul kebo pada rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP), menjadi sorotan.
Pada draf awal, pasal itu mengatur bahwa pasangan kumpul kebo dapat dipidana apabila ada aduan dari suami, istri, orangtua dan anak.
Namun, pasal itu akhirnya direvisi dan hasil revisi disahkan dalam rapat kerja Komisi III serta pemerintah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2019).
Pasal 419 Ayat (1) menyatakan, setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Baca juga :
• Poin RKUHP Jadi Sorotan: Denda Ternak Main ke Lahan Orang, Kontrasepsi, hingga Hukuman Dukun Santet
• Isu RKUHP Mencuat, Analis Temukan Hal Unik di Twitter, Tokoh yang Berseberangan di Pilpres 1 Suara
Kemudian Ayat (2) tertulis bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak dapat dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua atau anaknya.
Tak berhenti sampai situ, ada penambahan Ayat (3) yang menyatakan, pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dapat juga diajukan kepala desa atau dengan sebutan lainnya, sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, orang tua atau anaknya.
Perubahan pasal tersebut pun menuai banyak kritik.
Pasal hasil revisi dinilai akan memperburuk penegakan hukum sekaligus menimbulkan potensi kesewenang-wenangan.
Anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P M Nurdin memberikan catatan pada Pasal 419 tersebut.
Ia mengatakan, ketentuan pasal kumpul kebo dalam RKUHP harus diperketat agar tetap melindungi ranah privat warga negara.
Nurdin mengusulkan agar pengaduan oleh kepala desa harus berdasarkan keberatan yang disampaikan secara tertulis.
Oleh sebab itu, Fraksi PDI-P meminta penambahan kata "tertulis" dalam rumusan pasal.
"Fraksi PDI Perjuangan meminta agar setelah kata 'keberatan' dimasukan kata 'tertulis'.
Sehingga memberikan kejelasan terhadap kalimat tidak terdapat keberatan," kata Nurdin.
Adapun, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sendiri akan menjadwalkan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Rapat Paripurna pada akhir September mendatang.
Menurut jadwal, Rapat Paripurna DPR akan digelar pada Selasa (24/9/2019).
Baca juga :
• BREAKING NEWS Presiden Jokowi Minta Tunda Pengesahan Revisi KUHP, Ini Daftar Pasal Kontroversial
• Saat Kaesang Pangarep Ikut Angkat Bicara Soal Revisi UU KPK, Singgung Kepedulian yang Berbeda-beda
Poin-poin lain yang jadi sorotan
- Perlihatkan alat kontrasepsi ke anak denda Rp1juta
Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP) mengatur pidana bagi orang yang dengan sengaja memperlihatkan alat kontrasepsi dan menunjukkan cara mendapatkannya kepada anak-anak.
Hal tersebut diatur di bagian ketiga RKUHP dengan tajuk mempertunjukkan alat pencegah kehamilan dan alat penggugur kandungan.
Pasal 414 berbunyi, “Setiap orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada anak dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I”. Sebagaimana diatur dalam Pasal 79, denda kategori I nilainya sebesar Rp 1 juta.
Dalam Pasal 415, diatur pula larangan menunjukkan alat penggugur kandungan.
“Setiap orang yang tanpa hak secara terang terangan mempertunjukkan suatu alat untuk menggugurkan kandungan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat untuk menggugurkan kandungan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II,”
demikian bunyi pasal tersebut. Adapun denda kategori II nilainya Rp 1 juta.
Namun, ada pengecualian untuk kedua pasal tersebut.
Memperlihatkan alat kontrasepsi dan alat penggugur kandungan tidak akan dipidana jika tujuannya untuk edukasi maupun sosialisasi pencegahan penyakit menular.
Dalam Pasal 416 Ayat (1), disebutkan bahwa perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 tidak dipidana jika dilakukan oleh petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan keluarga berencana, pencegahan penyakit infeksi menular seksual, atau untuk kepentingan pendidikan dan penyuluhan kesehatan.
Dialihkan Asalkan, petugas yang berwenang itu termasuk relawan yang kompeten yang ditugaskan pejabat berwenang.
Kemudian, pada Ayat (2) disebutkan bahwa perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415 tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan atau pendidikan.
Baca juga ;
• Dewan Penasihat Peradi Kaltim Sebut Sudah Tepat UU KPK Direvisi
• Singgung Gangguan sejak 2014, Fahri Hamzah Beber Analisis Kenapa Jokowi Berani Setuju Revisi UU KPK
- Ternak berkeliaran di lahan orang didenda Rp10juta
Dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP), diatur larangan membiarkan hewan ternak berkeliaran di lahan orang yang ditanami bibit.
Jika dibiarkan, pemilik hewan ternak itu bisa dikenakan denda.
Jadi, kalau tak mau dipidana, pemilik harus menjaga hewan ternaknya baik-baik agar tak main ke kebun tetangga.
Aturan soal itu disebutkan dalam bagian ketujuh RKUHP, soal gangguan terhadap tanah, benih, tanaman, dan pekarangan.
Dalam Pasal 278, disebutkan bahwa setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II.
Besaran denda kategori II, sebagaimana tercantum dalam Pasal 79 sebesar Rp 10 juta.
Sementara itu, dalam Pasal 279, diperjelas larangan hewan ternak jalan-jalan di lahan yang disiapkan untuk ditanami.
Berikut bunyi aturannya: “Setiap orang yang membiarkan ternaknya berjalan di kebun, tanah perumputan, tanah yang ditaburi benih atau penanaman, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II”.
Kemudian dalam Ayat (2) Pasal 279, disebutkan bahwa ternak tersebut dapat dirampas untuk negara. Pada KUHP lama, larangan soal ini juga diatur dalam Pasal 548. Hanya saja, pidana dendanya ringan, maksimal Rp 225.
Lalu, dalam Pasal 549 yang isinya sama dengan Pasal 279, denda yang dikenakan maksimal Rp 375.
Revisi KUHP hanya menyesuaikan nilai dendanya dengan nilai rupiah saat ini.
• Jokowi Tegaskan Revisi UU KPK Tetap Jalan, Pengamat Pernah Ingatkan Jangan Jadi Bulan-bulanan
• Berjalan Mulus, Inilah 7 Poin yang Disepakati dalam Revisi UU KPK, Termasuk soal Penggeledahan
Soal ternak juga diatur di bagian ketujuh soal Tindak Pidana Kecerobohan yang Membahayakan Umum.
Dalam Pasal 343 huruf e, disebutkan bahwa setiap orang yang membiarkan ternak yang di bawah penjagaannya terlepas berkeliaran di jalan umum tanpa mengadakan tindakan penjagaan seperlunya akan dikenakan pidana denda maksimal Rp 10 juta.
- Hukuman untuk dukun santet
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP) yang tengah digodok anggota dewan rupanya juga mengatur pidana soal praktik klenik.
Dalam Pasal 252 pada draf, mengatur pidana bagi seseorang yang memiliki ilmu magis dan menggunakan ilmunya itu untuk menyakiti atau membunuh seseorang. Pasal 252 Ayat (1) berbunyi
"Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV".
Denda kategori IV, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 79, yakni sebesar Rp 200 juta.
Pada Pasal 252 Ayat (2), disebutkan bahwa jika setiap orang sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3 hukuman.
Rencananya, pengesahan RKUHP dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada akhir September 2019. Menurut jadwal, Rapat Paripurna DPR akan digelar pada Selasa (24/9/2019).
Baca juga :
• Revisi Undang-undang KPK Berjalan Mulus, Barter dengan Pemindahan Ibu Kota Negara di Kaltim?
• Dewan Penasihat Peradi Kaltim Sebut Sudah Tepat UU KPK Direvisi
RKUHP menuai protes dari berbagai pihak karena dianggap banyak pasal kontroversi.
Menurut Direktur Imparsial Al Araf, RKUHP sebaiknya dibahas oleh anggota DPR RI periode selanjutnya.
"Pengesahan RKUHP pada sidang paripurna DPR RI harus ditunda untuk menyelamatkan demokrasi dan reformasi hukum saat ini. Pembahasan RKUHP sebaiknya dibahas oleh anggota DPR terpilih periode 2019-2024," kata Araf.
Ia mengatakan, masih terdapat pasal-pasal yang bermasalah. Pasal-pasal tersebut diduga mengancam kebebasan sipil dan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
(Kompas.com)