4 Orang dari Partai Politik Terpilih jadi Anggota BPK RI, Fitra Sebut Berpotensi Konflik Kepentingan

Menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), terpilihnya mayoritas politikus sebagai anggota BPK RI 2019-2024 akan membawa konsekuensi

Editor: Budi Susilo
Tribunnews.com
Gedung BPK RI di Jakarta. 

TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTADPR RI telah memilih 5 orang anggota baru Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK RI periode 2019-2024.

Empat diantaranya ternyata berasal dari Partai Politik bahkan ada sedang menjadi anggota DPR saat ini.

Menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), terpilihnya mayoritas politikus sebagai anggota BPK RI 2019-2024 akan membawa konsekuensi bagi lembaga tersebut.

“Karena sebelum ini muncul keraguan terhadap calon bersangkutan yang kini terpilih,” ujar Manager Advokasi Seknas Fitra Ervyn Kaffah, Jakarta, Kamis (26/9/2019). 

Dikuasainya kursi anggota BPK oleh politikus membuat potensi konflik kepentingan sulit untuk dihindarkan.

Bahkan Fitra menilai benturan kepentingan itu akan sangat besar.

Apalagi BPK tidak hanya bertugas untuk mengaudit lapaoran keuangan kementerian dan lembaga negara termasuk DPR atau pemerintah daerah saja.

Namun lembaga itu juga melakukan audit terhadap laporan penggunaan dana bantuan untuk partai politik yang berasal dari APBN dan APBD dari tingkat pimpinan pusat hingga cabang parpol.

“Saya berpandangan, tugas (BPK) ini malah semakin berat,” kata Ervyn.

Sebelumnya, Komisi XI DPR memilih 5 anggota Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK) untuk periode 2019-2024.

Terpilihnya 5 anggota baru BPK tersebut setelah Komisi XI DPR menggelar pemungutan suara di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (25/9/2019).

"Putusan ini akan dibawa ke Paripurna DPR hari Kamis," ujar Wakil Ketua Komisi XI Seopriyatno Kelima anggota BPK yang terpilih yakni Pius Lustrilanang (Gerindra) dengan 43 suara, Daniel Tobing (PDIP) 41 suara, Hendra Susanto (internal BPK) 41 suara, Aqsanul Qosasih (Demokrat) 31 suara dan Harry Azhar Aziz (Golkar) 29 suara.

Sisi lainnya, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan anggota Badan Pemeriksa Keuangan Rizal Djalil sebagai tersangka dalam pusaran kasus suap terkait proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM).

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, KPK juga menetapkan Komisaris Utama PT Minarta Duhatama sebagai tersangka kasus ini.

"KPK membuka penyidikan baru dengan dua orang tersangka RIZ (Rizal Djalil), anggota BPK RI dan LJP (Leonardo Jusminarta Prasetyo), Komisaris Utama PT MD (Minarta Dutahutama)," kata Saut dalam konferensi pers, Rabu (25/9/2019).

Saut mengatakan, penetapan tersangka ini merupakan pengembangan kasus SPAM yang melibatkan sejumlah pejabat Kementerian PUPR yang terbukti menerima suap.

KPK menemukan bukti permulaan yang cukup tentang dugaan keterlibatan pihak lain baik pemberi selain pihak PT WKE dan PT TSP ataupun penerima lain dalam proses penyidikan dan persidangan kasus tersebut.

"Dalam pengembangan perkara ini, ditemukan dugaan aliran dana 100,000 Dollar Singapura pada salah satu Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia dari pihak swasta," ujar Saut.

Sebagai pihak yang diduga menerima suap, Rizal disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Sementara itu, Leonardo sebagai pihak yang diduga memberi suap disangka melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Adapun kasus ini bermula dari operasi tangkap tangan yang berlangsung pada 28 Desember 2018 lalu. Pihak-pihak yang terjaring dalam OTT itu semuanta telah divonis bersalah.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) paska-disahkannya Rancangan Undang-undang Pemberantasan Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) oleh DPR RI.

Senin (23/9), petugas KPK menangkap sembilan orang, termasuk tiga direktur Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo), saat rapat di Bogor.

Selain di Bogor, beberapa orang lainnya diamankan petugas KPK di Jakarta terkait dugaan kasus suap yang sama.

 Sederet Foto dan Poster Unik Saat Aksi Mahasiswa Menolak Revisi UU KPK dan RKHUP

 Unjuk Rasa Mahasiswa di Tarakan Tolak Revisi UU KPK, Peserta Aksi Paksa Masuk Gedung DPRD

 Demo Rusuh Tolak Revisi UU KPK dan RKUHP di Jakarta, Bambu dan Batu Melayang ke Kepolisian

 Massa Unjuk Rasa Tolak Revisi UU KPK dan RKUHP Duduki Gedung DPRD, Teriak Dewan Pembohong Rakyat

“Saya tidak tahu persis rapat apa di Bogor, tapi memang ada kegiatan rapat di Bogor dan kami amankan sejumlah direksi dan pegawai Perum Perindo dari sana,” kata juru bicara KPK, Febri Diansyah.

Selain menangkap para terduga pelaku suap, tim penindakan KPK juga menyita barang bukti uang sebanyak 30.000 Dollar AS atau setara lebih Rp400 juta dari lokasi tersebut.

Petugas menyita uang tersebut saat transaksi penyerahan uang dari pihak swasta ke perantara. Diduga uang itu adalah fee untuk para direktur Perum Perindo.

Ia menambahkan, KPK tetap bekerja maksimal di tengah upaya pelemahan lembaga KPK melalui perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang disahkan DPR bersama pemerintah.

"Meskipun dalam kondisi yang kita ketahui saat ini berbagai pihak berupaya untuk melemahkan KPK kami berupaya semaksimal mungkin untuk tetap bekerja," ujarnya.

Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif mengatakan, diduga uang tersebut merupakan imbalan dari pihak swasta atas jatah kuota impor ikan jenis tertentu yang diberikan Perum Perindo.

Di antaranya adalah impor ikan jenis frozen pacific mackerel atau ikan salem.

Kini, sembilan orang yang terjaring OTT tersebut diperiksa petugas di kantor KPK, Jakarta.

KPK akan mengumumkan status hukum sembilan orang tersebut setelah pemeriksaan 1x24 jam.

"KPK berupaya untuk tetap melaksanakan tugas pemberantasan korupsi di tengah berbagai upaya melemahkan dan memangkas kewenangan KPK," ujar Laode.

Ia menambahkan, OTT itu merupakan tindak lanjut dari informasi terkait dugaan akan terjadinya transaksi antara pihak swasta yang bergerak di bidang importir ikan dengan pihak direksi BUMN di bidang perikanan.

Perum Perindo merupakan BUMN yang bergerak di bidang perikanan.

Berdasarkan situs resmi www.perumperindo.co.id, operasional Perum Perindo dipimpin oleh tiga direktur yakni, Risyanto Suanda sebagai Direktur Utama Dirut, Arief Goentoro sebagai Direktur Keuangan dan Farida Mokodompit sebagai Direktur Operasional.

Febri mengatakan, pihaknya menyayangkan masih adanya pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari impor ikan.

Di sisi lain, justru hal itu terjadi dengan kondisi Indonesia sebagai negara sebagai penghasil ikan.

“Ini yang kami sayangkan, posisi Indonesia sebagai penghasil ikan kemudian dalam konteks ini kami justru menemukan dugaan transaksi yang diduga merupakan fee terkait kuota impor,” tuturnya.

Praktik suap dalam bisnis impor barang beberapa kali diungkap KPK. Pada 7 Agustus 2019, KPK menangkap 13 orang, termasuk anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, I Nyoman Dhamantra, di Jakarta.

Enam orang ditetapkan sebagai tersangka terkait dugaan suap impor pengurusan kuota dan izin impor 20 ribu ton bawang putih tahun 2019.

I Nyoman Dhamantra bersama dua orang lainnya, yakni Mirawati Basri selaku orang kepercayaan Nyoman, dan Elviyanto selaku pihak swasta, ditetapkan sebagai tersangka penerima suap.

Tiga orang lainnya, yakni Chandry Suanda alias Afung, Doddy Wahyudi dan Zulfikar, berperan sebagai pemberi suap.

Dalam kasus tersebut, KPK menemukan ada alokasi pemberian fee sebanyak Rp1.700-1.800 untuk setiap kilogram bawang putih yang diimpor ke Indonesia. Dalam OTT tersebut, ditemukan bukti transfer sebesar Rp2 miliar.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "DPR Pilih Mayoritas Orang Parpol Jadi Anggota BPK 2019-2024, Apa Konsekuensinya?."

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved