Profil Biodata Fadjroel Rachman yang Dipanggil Jokowi bersama Nico Harjanto, Komisaris Adhi Karya
Profil Biodata Fadjroel Rachman yang Dipanggil Jokowi bersama Nico Harjanto Komisaris Adhi Karya
Dari Rumah Tahanan Militer Bakorstanasda Jawa Barat, ia dipindah ke Penjara Kebonwaru, lalu ke Penjara Batu di Pulau Nusakambangan, dan terakhir di Penjara Sukamiskin (tempat Ir. Soekarno Presiden Pertama Republik Indonesia dipenjarakan penjajah Belanda).
Karier Aktivisme
Kecintaan Fadjroel dengan buku-buku dan kelompok diskusi dan debat di kampus mengantarkan pergaulannya dengan sejumlah budayawan dan intelektual seperti almarhum Soebadio Sastrosumitro, Mochtar Lubis, Sarbini Somawinata, Sutan Takdir Alisjahbana dan Soedjatmoko.
Atas usulan Soedjatmoko pula ia terlibat dalam Forum Pemuda Asia Pasifik di Tokyo sampai sekarang.
Pada tahun 1987-1989, tiga tahun setelah kuliah, Fadjroel bersama-sama dengan para aktivis mahasiswa lainnya melakukan advokasi untuk petani di daerah Kacapiring, Batununggal, Kota Bandung dan Badega (Kampung Badega, Desa Cipangramatan, Cikajang, Garut).
Masih pada masa represif Soeharto, ia ditunjuk menjadi komandan lapangan dalam aksi long march sejauh 60 kilometer dari Kampus ITB menuju Cicalengka.
Aksi itu sempat dibubarkan oleh polisi dengan menghujani peserta aksi dengan peluru karet.
Fadjroel bersama kawan-kawannya juga beraksi menolak kedatangan Rudini yang saat itu menjabat sebagai menteri dalam negeri, dan menuntut turunnya Jenderal (purn) Soeharto sebagai Presiden karena kediktatorannya.
Buntutnya Fadjroel bersama lima rekan lainnya ditangkap.
Mereka mendekam di ruang tahanan Bakorstranasda selama satu tahun sebelum akhirnya dijatuhi hukuman tiga tahun penjara.
Ia terlibat Gerakan Lima Agustus ITB (1989) yang menuntut penurunan Soeharto dan menjadi tahanan politik berpindah-pindah 6 (enam) penjara termasuk Sukamiskin dan Nusakambangan.
Di balik empat penjara yang dijalaninya, Fadjroel menulis esai, novel dan puisi.
Puisi-puisi yang dituliskan di balik terali penjara itu kemudian diterbitkan dalam kumpulan puisi Catatan Bawah Tanah dan Sejarah Lari Tergesa.
Mochtar Lubis berminat menerbitkan puisi-puisi yang tercantum dalam pledoinya, kecuali dua puisi yang dianggap terlalu keras pada waktu itu.
Esai-esai penjaranya dimasukkan dalam buku "Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat" dan "Democracy Without the Democrats: On Freedom, Democracy and The Welfare State," lalu novelnya (direncanakan pentalogi) diterbitkan Gramedia Pustaka Utama berjudul "Bulan Jingga dalam Kepala."
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltim/foto/bank/originals/profil-biodata-fadjroel-rachman-98898.jpg)