Tokoh Jawa Barat Ini Minta Tito Karnavian, Fachrul Razi Ubah Gaya Pakaian PNS Boleh Celana Cingkrang
Tokoh Jawa Barat ini minta Tito Karnavian, Fachrul Razi ubah gaya pakaian PNS, boleh celana cingkrang
TRIBUNKALTIM.CO - Tokoh Jawa Barat ini minta Tito Karnavian, Fachrul Razi ubah gaya pakaian PNS, boleh celana cingkrang.
Anggota DPR RI yang juga tokoh budaya Jawa Barat, Dedi Mulyadi meminta Menteri Dalam Negeri atauMendagri Tito Karnavian, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birkorasi Menpan RB Tjahjo Kumolo dan serta Menteri Agama Fachrul Razi mengubah aturan pakaian aparat sipil negara ASN atau PNS.
Menurut Dedi Mulyadi yang juga merupakan anggota DPR ini, desain pakaian PNS yang ada sekarang merupakan warisan kolonial Belanda.
• Afridza Munandar di Mata Pebalap MotoGP Maverick Vinales, Dapat Gelar Juara dari Adik Marc Marquez
• Dua Calon Kabareskrim, Satu Mirip Kapolri Idham Aziz dari Polda Metro Jaya, PR Usut Novel Baswedan
• Ruhut Sitompul eks Anak Buah SBY Bandingkan Dirinya dan Anies Baswedan Raja Minyak dan Raja Ngeles
• Ribut APBD DKI Jakarta dengan Anies Baswedan, Dukungan Ahok Jadi Dewan Pengawas KPK Ramai di Twitter
Dedi Mulyadi menilai, pakaian PNS disesuaikan dengan basis budaya nusantara.
Sebab, Dedi Mulyadi melihat selama ini ketentuan tentang pakaian ASN atau PNS dan pejabat DPR hingga DPRD merupakan warisan kolonial Belanda.
Misalnya, kata Dedi Mulyadi, pakaian seragam harian (PSH) ASN tangan pendek yang berbahan wol atau biasa disebut jas tongki adalah pakaian yang biasa digunakan orang Belanda untuk berburu.
Namun di Indonesia, pakaian ini dijadikan seragam formal untuk bekerja harian.
"Itu pakaian gaya Belanda yang biasa dipakai untuk berburu," kata dedi kepada Kompas.com, Senin (4/11/2019).
Selain warisan kolonial Belanda, lanjut Dedi Mulyadi, pakaian seperti itu tidak cocok untuk lingkungan Indonesia.
Menurut Dedi Mulyadi, pakaian berbahan wol cocok di daerah dingin.
Namun di Indonesia, tidak semua daerah bersuhu dingin.
Bahkan ada yang suhunya mencapai 36 derajat celcius, terutama saat musim kemarau.
"Suhu Indonesia itu cocoknya menggunakan pakaian dari sutera.
Bahan baku sutera itu masuk alam Indonesia," kata dedi.
Selain seragam ASN, gaya Barat juga terlihat dalam pakaian untuk anggota legislatif, terutama pakaian sipil lengkap (PSL) untuk acara resmi atau pengambilan keputusan.
Pakain PSL ini adalah baju jas dengan dasi.
Menurut Dedi Mulyadi, selain ala kebarat-baratan, penggunaan PSL ini juga akan berdampak pada lingkungan.
Ketika anggota legislatif menggunakan PSL, maka suhu di ruangan harus benar-benar dingin, karena pakaian model itu membuat orang gerah.
"Agar suhu dingin, maka harus menggunakan AC dengan PK tinggi dan itu akan merusak lapisan ozon," kata Dedi.
Oleh karena itu, Dedi Mulyadi mengatakan, sangat penting pemerintah melalui tiga menteri itu (Mendagri, Menpan RB dan Menag) untuk menghapus aturan tentang pakaian yang bernuansa kolonial Belanda.
"Selain itu, seragam ASN saat ini juga semi-militeristik dan warisan Orde Baru, sehingga harus dihapus dan diganti dengan baju khas nusantara," tegas mantan bupati Purwakarta dua periode ini.
Baju nusantara
Dedi Mulyadi menyebutkan, pemerintah mestinya mendorong semua ASN atau PNS dan pejabat negara untuk memakai pakaian dengan basis budaya nusantara.
Setiap pegawai negeri memakai pakaian yang disesuaikan dengan budaya dan iklim di masing-masing daerah.
Begitu juga untuk anggota legsilatif, pakaiannya menyesuaikan dengan budaya di daerah pemilihan masing-masing.
"Sehingga akan tercipta keragaman budaya dan identitas budaya mereka tidak terhapus," kata Dedi.
Namun, kata Dedi Mulyadi, bukan berarti mereka menggunakan baju adat.
Menurut Dedi Mulyadi, pakaian khas daerah bisa disesuaikan dengan mode atau fashion saat ini.
Yang penting ada kepantasan.
"Karena dalam hal ini yang terpenting adalah pakaian ASN tidak seragam di semua daerah. Bisa disesuikan dengan budaya di masing-masing daerah tetapi tetap fashionable (model mengikuti zaman)," tandas Dedi.
Celana cingkrang
Selain itu, pakaian untuk ASN atau PNS juga disesuaikan dengan jabatan mereka.
Kalau untuk orang lapangan seperti penyuluh pertanian atau kehutanan, kata Dedi Mulyadi, cocoknya mengenakan pakaian cingkrang, mirip pangsi untuk baju pesilat.
Dengan modelnya yang longgar dan ujung celana di atas mata kaki, pakaian cingkrang ini membuat orang bebas bergerak.
Ujung celana tidak akan mudah kotor karena posisinya lebih tinggi.
"Nah, sebenarnya celana cingkrang itu bukan budaya Arab, malah budaya Nusantara. Orang-orang Sunda yang pergi ke sawah biasa menggunakan celana cingkrang, warna hitam. Itu yang disebut pangsi," kata Dedi.
Sarung Maruf Amin
Dedi Mulyadi menyebutkan salah satu pejabat yang masih mempertahankan budaya nusantara dalam hal berpakaian adalah Wakil Presiden Maruf Amin.
Maruf Amin dalam acara apa pun, baik formal maupun informal, terbiasa mengenakan bawahan sarung.
Sarung, kata Dedi, adalah budaya khas nusantara dan itu adalah formal.
"Pak Maruf Amin terus menggunakan kain sarung karena pakaian khas Indonesia.
Itu formal.
Sama dengan orang Arab pakai jubah.
Raja-raja Arab datang ke sini pakai gamis atau jubah," kata Dedi Mulyadi. (*)