Dihadapan Akbar Tanjung dan Hamdan Zoelva, Mahfud MD Curhat Diberi Harapan Palsu oleh Jokowi dan SBY
Dihadapan Akbar Tanjung dan Hamdan Zoelva, Mahfud MD curhat diberi harapan palsu oleh Jokowi dan SBY
TRIBUNKALTIM.CO - Dihadapan Akbar Tanjung dan Hamdan Zoelva, Mahfud MD curhat diberi harapan palsu oleh Jokowi dan SBY.
Mahfud MD mantan Ketua Mahkamah Konstitusi membeberkan perjalan karirnya hingga duduk di kursi Menkopolhukam.
Mahfud mengaku sempat beberapa kali hanya dapat harapan palsu dari dua Presiden, yakni Joko Widodo atau Jokowi dan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY kini Ketum Demokrat.
Menkopolhukam Mahfud MD, menceritakan proses panjang dirinya sebelum menjadi Menteri di kabinet Indonesia Maju.
Mahfud MD mengungkapkan tawaran untuk menjadi Menteri sudah terjadi saat Presiden Susilo Bambang Yodhoyono atau SBY menjabat.
Hal itu dia ceritakan di hadapan para alumni Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI saat syukuran Menteri terpilih di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (21/11/2019) malam.
• Anggota Megawati Sebut Kepala Daerah Siapkan Anggaran Aparat Keamanan, Bukti Kapolres Minta Jatah
• Ketua DPR RI Puan Maharani, Ponakan Sukmawati Curhat Susahnya Jadi Menteri Jokowi, Cuti Pun Tak Enak
• Menkopolhukam Mahfud MD Bantu Pencalonan Denny Indrayana di Pilkada Kalsel? Eks Tim Hukum Prabowo
Beberapa alumni yang hadir adalah Menpora Zainuddin Amali, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva, Akbar Tanjung dan Siti Zuhro.
Mahfud MD mengawali kisahnya dengan bercerita saat tidak jadi dipidang Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebagai calon wakil presiden untuk Pilpres 2019.
"Terus terang ketika saya enggak jadi Wakil Presiden ketika sudah banyak berharap, saya juga berharap, kita juga berharap karena (saat itu) sudah buat baju.
Ketika enggak jadi (dipilih), inilah mengalir, nanti akan ada aliran lain," ujar Mahfud MD.
Dia melanjutkan, semua takdir baik dan buruk manusia datang dari Allah.
"Cerita manusia mengalir sesuai kehendak Allah.
Waktu itu, Tuhan menentukan saya mengalir sampai sini dulu (jabatan Menkopolhukam)," lanjut Mahfud MD.
Dia pun mengungkapkan kisah lain saat menjadi anggota DPR di era Presiden SBY.
Saat itu, Mahfud MD sudah dipanggil oleh SBY.
"Saya sudah dipanggil mau dijadikan Menteri waktu itu,
waktu periode pertama," lanjut Mahfud MD.
Dia kemudian mengutip pernyataan SBY saat itu.
"Nanti Pak Mahfud MD ikut saya lagi, kalau saya menang," ucapnya.
SBY saat itu kembali memenangkan Pilpres 2009.
Setelahnya, Mahfud MD sempat dipanggil empat kali menghadap SBY.
"Tapi enggak jadi (dapat posisi Menteri ).
Dan Tuhan, kira-kira memberi hikmah. 'Kamu jangan jadi Menteri , jadi DPR dulu.
Sudah itu nanti kamu mengalir ke suatu tempat yang namanya Mahkamah Konsitusi, yang lebih bagus dari kabinet," kisahnya.
Dari perjalanan itu, Mahfud MD kemudian mengambil hikmah bahwa semua rencana Tuhan datang bagai air mengalir.
Menurut Mafhud MD, tidak perlu sakit hati jika belum mendapatkan posisi Menteri.
"Jadi disebut air mengalir, waktu enggak jadi enggak apa-apa. Saya berpikir tidak sakit hati sebab itu untuk bersabar, sebab kalau berjuang hebat, (toh) akhirnya jatuh juga.
Kalau saya tidak jatuh cuma enggak jadi masuk.
Sehingga untuk apa sedih," tegasnya.
Sehingga pada saat Presiden Jokowi tidak jadi memilih dia sebagai calon wakil Presiden, Mahfud MD tetap merasa tenang.
Dirinya mengaku tetap membangun hubungan baik dengan Presiden.
"Dan yang ingin saya bangun (anggapan) itu bahwa Pak Jokowi itu tidak mempermainkan saya.
Saya ingin membangun Pak Jokowi tu sungguh-sungguh.
Tapi pada waktu itu isu politik.
Dan saya ingin membangun waktu itu saya tidak marah," ungkapnya.
"Saya baik dengan beliau.
Saya ikut mendukung meskipun tidak vulgar-vulgar amat.
Sehingga pada akhirnya saya akhirnya mengalir ke tempat yang namanya kabinet.
Saya tidak tahu apakah cekungan kabinet di lama atau mengalir lagi.
Allah itu yang menentukan semuanya," lanjut dia seraya berkelakar.
Wawancara Ekslusif Tribunnews dengan Mahfud MD
Berikut petikan wawancara eksklusif tim Redaksi Tribun Network, dipimpin Regional Newspaper Director Febby Mahendra Putra, dengan Mahfud MD di kantor Kemenkopolkam, Jakarta, Selasa (19/11/2019):
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan ( Menkopolhukam ) Mahfud MD.
Apakah Presiden Jokowi sempat memberitahu atau minta pendapat Anda sebelum menunjuk Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan)?
Tidak. Saya juga kaget kok. Ketika muncul nama Pak Prabowo, saya kaget betul. Tidak menyangka, Pak Prabowo ke situ (jadi Menhan).
Saya pikir Pak Prabowo akan menjadi Ketua Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden). Tapi beliau mau menjadi Menhan, ya saya kaget. Saya pikir bagus juga karena dia punya latar belakang soal itu.
Saya menyatakan kaget itu bukan berarti tidak setuju. Kaget karena tidak menyangka.
Sepengetahuan saya, tidak hanya dalam konteks Menteri Pertahanan ya, semua menteri yang diangkat ini merupakan pilihan Presiden Jokowi secara independen.
Masukan‑masukan mungkin saja ada, tetapi dia tetap memilihnya sendiri.
Makanya ada yang kaget juga, kok itu jadi Menteri Agama, kok itu jadi Menteri Pendidikan.
Sosok Mahfud MD, Menkopolhukam kabinet Presiden Jokowi. (Kompas.com)
Surprise. Artinya apa, tidak bisa orang mengintervensi Presiden.
Baru-baru ini saya sampaikan ke Pak Jokowi.
"Pak, satu hal yang mendapat apresiasi dari masyarakat, penyusunan kabinet kali ini Bapak independen. Tidak mau didikte."
Saya katakan itu ke beliau.
Presiden menegaskan para menteri koordinator mempunyai hak veto terkait dengan kementerian yang berada di bawah koordinasinya.
Muncul selentingan, hak veto diperlukan supaya Anda bisa mengontrol Menhan Prabowo, benarkah?
Ah tidak. Selama ini Pak Prabowo sebagai Menhan tidak ada masalah.
Apa yang dilakukan oleh Pak Prabowo sebagai Menteri Pertahanan tidak ada sama sekali berbenturan dengan policy Presiden.
Saya kira baik‑baik saja. So far so good, dan saya kira begitu jua untuk selanjutnya.
Harus diingat, Indonesia menganut sistem presidential.
Dalam rapat Menkopolhukam, Prabowo selalu hadir?
Baru rapat satu kali beliau persis kunjungan ke Tangerang, Pandeglang, atau apa, jadi yang hadir (rapat) Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan).
Tapi tidak apa‑apa, karena dia resmi memberitahu.
Bukan hanya Pak Prabowo sih, Pak Tito (Mendagri Tito Karnavian) waktu itu juga tidak hadir karena sedang tugas di Jawa Timur.
Anda pernah menjadi ketua tim sukses Prabowo Subianto dalam Pilpres 2014 lalu.
Apakah hal itu lebih memudahkan Anda berkomunikasi dengan Prabowo?
Tidak, biasa saja. Komunikasi saya dengan Pak Prabowo, yang dulu satu tim, maupun komunikasi saya dengan Pak Yasonna (Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly) yang dulu timnya Pak Jokowi.
Sama saja kok, karena kami kan sudah sama‑sama dewasa.
Politik itu adalah pilihan, dan kalau sudah dipilih, ya sudah. Bersatu untuk bangsa dan negara ini. Tidak ada kekhususan.
Apa makna hak veto yang secara eksplisit disampaikan Presiden?
Sebenarnya hak veto dimaksud tidak dalam arti yuridis formal, tetapi dalam arti pengendalian.
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) tentang Menko, kan' disebutkan Menteri Koordinator tugasnya mengoordinasikan, menyinkronisasikan, dan mengendalikan.
Mengendalikan ini kalau ada yang tidak bisa dikendalikan kan' bisa di veto.
Sebenarnya itu bermula dari pengalaman masa lalu.
Ada Menteri Koordinator yang melapor ke Presiden,
"Pak saya semenjak jadi Menko kok sulit mengendalikan, para menteri tidak konsisten sehingga para investor jadi terganggu."
Dalam pidatonya Presiden mengatakan,
"Saya tidak ingin mendengar lagi ada menteri kalau diundang oleh Menko tidak datang, lalu tidak setuju pada keputusan."
Kalau memang tidak setuju ya berdebat, namun setelah diputuskan ya harus menurut.
Tapi menurut saya tidak perlu ribut‑ribut soal veto,
Wong ini tidak ada apa‑apa,
Baik semua sampai sekarang.
Tidak ada yang berbenturan.
Tapi pada periode lalu kan pernah terjadi benturan seperti itu?
Makanya Presiden mengatakan, boleh Anda berdebat di dalam rapat,
Bahkan dalam empat kali rapat terakhir perdebatan berlangsung seru.
Namun kalau sudah diputuskan, semuanya harus tunduk.
Ini negara.
Jadi harus ada yang mengkomando.
Konsekuensi dari demokrasi kan' harus begitu. (*)