Bila Tito Karnavian Diikuti, PPP Yakin Ridwan Kamil, Risma Tak Akan Pernah Muncul, Termasuk Jokowi
Ketua PPP versi Muktamar Jakarta Humphrey Djemat menilai, sistem pilkada langsung banyak melahirkan sosok pemimpin berkredibilitas dan integritas
TRIBUNKALTIM.CO - Sistem pilkada diubah, PPP yakin nama Ridwan Kamil, Tri Rismaharini tak akan pernah bisa muncul, termasuk Jokowi.
Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) versi Muktamar Jakarta Humphrey Djemat menilai, sistem pilkada langsung banyak melahirkan sosok pemimpin yang memiliki kredibilitas dan integritas.
Sistem pilkada langsung mendapatkan kritikan karena berbiaya tinggi.
• Kabar Buruk Indonesia Kekurangan Uang, eks Panglima TNI Warning Kepolisian dan Kejaksaan Soal Ini
• Kabar Buruk Bagi Pendaftar CPNS, situs SSCASN CPNS 2019 Bakal Tak Bisa Diakses, Ini Penjelasan BKN
• Cara Mengecek Jumlah Saingan CPNS 2019 Bisa dari Nomor Registrasi Pendaftaran? Begini Penjelasan BKN
Humphrey Djemat justru menilai pilkada langsung dapat memunculkan sosok pemimpin seperti Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
"Kebanyakan orang memang lebih melihat high cost-nya."
"Tapi kalau diperhatikan, banyak juga pilkada langsung ini memunculkan figur-figur kepala daerah dengan kredibilitas tinggi."
"Seorang Ahok, Presiden Jokowi, Bu Risma, Ridwan Kamil, tidak akan muncul kalau tidak ada pilkada langsung," tutur Humphrey Djemat di kawasan Matraman, Jakarta Timur, Minggu (24/11/2019).

Menurut Humphrey Djemat, jika pilkada kembali pada sistem tidak langsung, justru terjadi kemunduran.
Bahkan, menurutnya politik uang justru makin merebak dengan sistem pilkada tidak langsung.
"Jadi kalau sudah dicoba, sekarang kemudian dilakukan dengan cara pilkada langsung, mau kembali lagi, ya namanya makan barang busuk lagi sebenernya."
"Malah bisa lebih parah lagi sebenernya untuk itu," ucap Humphrey Djemat.
Dirinya menilai tingginya biaya politik justru disebabkan partai politik.
Menurut Humphrey Djemat, mahar politik yang diminta oleh partai membuat calon kepala daerah membutuhkan banyak dana.
Humphrey Djemat juga menilai ada kelemahan dari aspek penegakan hukum.
Menurutnya, butuh pembenahan dalam aspek penegakan hukum terkait penyelenggaraan pilkada langsung.
"Semuanya itu kan muncul dari partai politik. Partai politik itu kan kalau mengenai soal, katakanlah mahar transaksional, itu sudah jadi rahasia umum."
"Bahkan kemungkinan lebih besar maharnya daripada kepentingan calon tersebut dalam mendekati masyarakat, melibatkan dry cost yang harus dikeluarkan," ungkap Humphrey Djemat.
"Terutama kelemahan di Indonesia ini kan di law enforcement ya, lemahnya di situ."
"Sehingga ini bisa katakanlah ya tidak sesuatu yang memang kelihatan pembenahan dari suatu sistem, karena itu akan terjadi berulang-ulang," tutur Humphrey Djemat.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan pemilihan kepala daerah (pilkada) di masa mendatang masih akan dilakukan secara langsung, atau dipilih masyarakat melalui pencoblosan.
"Presiden Jokowi mengatakan pilkada provinsi, kabupaten, kota, tetap melalui mekanisme pemilihan langsung," kata Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman lewat pesan singkat, Selasa (12/11/2019).
Menurut Fadjroel Rachman, pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan cermin kedaulatan rakyat yang sejalan dengan cita-cita reformasi pada 1998.
"Jadi yang akan dievaluasi hanya teknis penyelenggaraan saja (bukan sistem pemilihannya)," ucap Fadjroel Rachman.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menilai perlu ada kajian dampak atau manfaat dari Pilkada langsung.
Sebab, menurut mantan Kapolri itu, Pilkada langsung ada mudaratnya, yakni membutuhkan biaya politik yang sangat besar.
Biaya politik yang besar tersebut, membuat kepala daerah melakukan berbagai cara untuk mengganti ongkos politik yang telah dikeluarkan saat kampanye, salah satunya korupsi.
"Bayangin, dia mau jadi kepala daerah, mau jadi bupati itu 30 m (miliar), 50 m, (sementara) gaji 100 juta, (atau) taruhlah 200 juta."
"Lalu kali 12 (bulan), itu 2,4 (miliar) kali lima tahun itu 12 m, yang keluar 30 m, rugi enggak?" kata Tito Karnavian seusai rapat kerja bersama Komisi II DPR, Rabu (6/11/2019).
Tito Karnavian tidak percaya ada orang atau kepala daerah yang rela mengeluarkan uang banyak saat Pilkada, dengan alasan mengabdi kepada bangsa dan negara.
Ia meyakini orang akan mengganti ongkos politik yang dikeluarkan ketika kampanye, saat menjabat.
"Apa benar saya ingin mengabdi kepada nusa dan bangsa terus rugi? Bullshit. Saya tidak percaya," tegasnya.
Oleh karena itu, Tito Karnavian mengaku tidak heran apabila banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.
Karena, menurut dia, hampir semua kepala daerah berpotensi melakukan korupsi.
"Kalau bagi saya sebagai mantan Kapolri, ada OTT (operasi tangkap tangan), penangkapan kepala daerah buat saya it's not a surprise for me, kenapa?"
"Mungkin hampir, hampir ya, saya enggak mau menuduh. Mungkin hampir semua kepala daerah berpotensi melakukan tindak pidana korupsi," tuturnya.
Tito Karnavian tidak menjawab saat ditanya apakah kajian tersebut nantinya akan mengarah pada wacana Pilkada tidak langsung atau dipilih melalui DPRD.
Yang pasti, menurutnya saat ini perlu perbaikan dari sistem Pilkada langsung agar tidak terlalu banyak menimbulkan dampak negatif.
"Bagaimana solusi mengurangi dampak negatifnya, supaya enggak terjadi korupsi, biar tidak terjadi OTT lagi," ucapnya.
Tito Karnavian lalu mempertanyakan apakah Pilkada langsung masih relevan saat ini.
"Tapi kalau dari saya sendiri justru pertanyaan saya adalah apakah sistem poltik pemilu Pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun?" Tanyanya seusai rapat kerja dengan Komisi II DPR.
Ia tidak heran apabila banyak kepala daerah yang terjerat kasus tindak pidana korupsi. Hal itu karena besarnya ongkos politik yang dikeluarkan pasangan calon, karena sistem pilkada langsung.
"Banyak manfaatnya, yakni partisipasi demokrasi, tapi kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi."
"Kepala daerah kalau enggak punya Rp 30 miliar mau jadi bupati, mana berani dia," ucapnya.
Tito Karnavian berpandangan, mudarat Pilkada langsung tidak bisa dikesampingkan.
Oleh karena itu, ia menganjurkan adanya riset atau kajian dampak atau manfaat dari Pilkada langsung.
"Laksanakan riset akademik. Riset akademik tentang dampak negatif dan positif pemilihan Pilkada langsung."
"Kalau dianggap positif, fine. Tapi bagaimana mengurangi dampak negatifnya? Politik biaya tinggi, bayangin," papar Tito Karnavian.
• Peringkat Kinerja Penelitian 100 Perguruan Tinggi Rilis, Kampus Anies Baswedan Kalahkan Ridwan Kamil
• DPRD Jawa Barat, Kolam Renang 1,5 M di Rumah Dinas Gubernur Ridwan Kamil Setara 7 Ruang Kelas Baru
• Baru Dilantik Ridwan Kamil, Terkuak Harta Bupati Indramayu Supendi yang Kena OTT KPK
• Hujan Batu di Purwakarta, Rusak 7 rumah dan 1 Sekolah, Ini Respon Ridwan Kamil ke Perusahaan Tambang
Langganan berita pilihan tribunkaltim.co di WhatsApp klik di sini >> https://bit.ly/2OrEkMy

(Fahdi Fahlevi)