Jokowi Buka Peluang Hukuman Mati Koruptor, Gerindra Setuju dan Ungkap Sosok yang Paling Pantas Kena
Presiden Joko Widodo ( Jokowi ) kini membuka peluang adanya hukuman mati bagi para koruptor di Indonesia
TRIBUNKALTIM.CO - Presiden Joko Widodo (Jokowi) kini membuka peluang adanya hukuman mati bagi para koruptor di Indonesia saat menghadiri acara Hari Antikorupsi Sedunia di SMKN 57 Jakarta, Senin (9/12/2019) kemarin.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan apa yang disampaikan Jokowi adalah peringatan keras bagi semua pihak untuk tidak Korupsi.
"Itu merupakan warning bagi kita semua bahwa kita ke depan, baik eksekutif maupun legislatif, untuk terus tata keuangannya tertib dan baik," ujar Dasco, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (10/12/2019).
• Nasib Fadjroel Rachman Usai Senyum & Malah Nostalgia saat Rocky Gerung Tuduh RI 1, Fungsinya Disorot
• Pelatih Myanmar Ingatkan Vietnam 3 Pemain Timnas Indonesia U23 yang Bisa Menyulitkan dI Final
• Gerebek Rumah Prajuritnya, Jenderal Bintang 4 Tak Segan Merendah Depan Keluarga: Saya Satu Kantornya
• Janda di Madura Rekam Video Diri Tanpa Busana, Aksinya Tersebar di Media Sosial
Ia pun mengapresiasi sikap dan pernyataan Jokowi tersebut yang menunjukkan tak akan pandang bulu dan secara tegas memberantas korupsi.
Meski demikian, politikus Gerindra tersebut menilai tentu perlu ada pertimbangan seberapa besar tingkat kesalahan yang dijatuhkan untuk hukuman mati bagi koruptor.
Dasco turut menyetujui pendapat mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut yang menegaskan hukuman mati dapat diterapkan bagi koruptor dana bencana alam.
"Kalau itu saya setuju, karena bencana alam adalah urgensi ketika bencana alam maka ada orang-orang yang susah dan menderita. Kalau kemudian bantuan atau pengelolaan anggaran itu dikorupsi itu kelewatan. Saya setuju kalau itu," tandasnya.

Berdasarkan Undang-undang, Bisakah Koruptor Dihukum Mati?
Presiden Joko Widodo mendapat pertanyaan menohok dari salah seorang siswa SMK 57 Jurusan Tata Boga, Harley Hermansyah, ihwal sikap Indonesia yang tidak tegas terhadap koruptor.
Pertanyaan itu diajukan Harley saat Jokowi menyambangi SMK 57 Pasar Minggu, untuk menghadiri pentas drama bertajuk ‘Prestasi Tanpa Korupsi’, Senin (9/12/2019) pagi.
“Kenapa negara kita dalam mengatasi koruptor tidak tegas? Kenapa tidak berani seperti di negara maju, misalnya dihukum mati?” tanya Harley.
Jokowi kemudian menjawab bahwa sejauh ini memang UU tidak mengtur hukuman mati terhadap koruptor.
• Royke Tumilaar Ditunjuk jadi Dirut Bank Mandiri Setelah Erick Thohir Angkat Ahok & Copot Ari Askhara
• TERUNGKAP Gaji Suami Iis Dahlia Satrio Dewandono, Pilot yang Terbangkan Dirut Garuda Ari Askhara
• Dirut Garuda Dicopot, Terungkap Ari Askhara Ternyata Punya Utang ke Karyawan, Diungkap Orang Dalam
“Ya kalau di undang-undangnya memang ada yang korupsi dihukum mati itu dilakukan, tapi di UU tidak ada yang korupsi dihukum mati,” jawab Jokowi.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu kemudian bertanya kepada Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly yang turut hadir dalam kegiatan tersebut.
Menurut Yasonna, hukuman mati saat ini hanya berlaku bagi kasus korupsi terkait bencana alam.
Kendati demikian, hingga kini belum ada koruptor bencana alam yang sampai divonis mati pengadilan.
“Yang sudah ada (aturannya) saja belum pernah diputuskan hukuman mati,” kata Jokowi.
Namun benarkah hanya koruptor terkait bencana alam yang bisa dihukum mati?
Berdasarkan penelusuran Kompas.com di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), di dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan
‘Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)’.
Sedangkan, di dalam ayat (2) disebutkan
‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’.
Di dalam aturan penjelasan ayat (1) diterangkan yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ di dalam pasal ini mencakup melawan hukum dalam arti formil maupun materiil.
Artinya, meski perbuatan tersebut tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial di masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dalam ketentuan ini, kata ‘dapat’ sebelum frasa ‘merugikan keuangan atau perekonomian negara’ menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adnaya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Sedangkan di dalam ayat (2) dijelaskan yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Pengamat hukum dari Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Achmad mengatakan, dalam Pasal 2 memang disebutkan bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan kepada pelaku yang melakukan korupsi atas dana bencana alam.
Hukuman tersebut diberikan sebagai bentuk pemberatan kepada pelaku.
"Jadi logikanya sudah dana bencana alam kok dikorupsi. Jadi misalnya satu tempat disalurkan dana, dana itu dikorup itu bisa kena hukuman mati,” kata Suparji saat dihubungi Kompas.com, Senin (9/12/2019).
Selain korupsi dana bencana, hukuman mati juga bisa diterapkan kepada mereka yang melakukan perbuatan berulang atau korupsi pada saat negara terjadi krisis moneter. “Krismon atau krisis keuangan itu kena juga,” ujarnya.
Namun, ia menambahkan, belum dilaksanakannya eksekusi mati terhadap koruptor lantaran hukuman itu tidak menjadi hukuman pokok di dalam KUHP, melainkan masih dilakukan secara selektif.
Sehingga, jatuh atau tidaknya vonis mati berada di tangan majelis hakim.
Selain itu, vonis hukuman masih hingga kini masih menjadi perdebatan.
Sebab, pada dasarnya pemberian hukuman kepada terpidana ditujukan agar mereka teredukasi atau menyadari kesalahan yang telah dilakukan.
Sejauh ini, pengadilan memang belum pernah menjatuhkan hukuman mati bagi terpidana kasus korupsi.
Namun, paling tidak ada tiga koruptor yang dijatuhi hukuman maksimum yaitu seumur hidup.
Mereka adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, pengusaha Adrian Waworuntu, dan Brigjen Teddy Hernayadi.
• Para Siswa Antusias Ikuti Lomba Memeriahkan Peringatan Hari Anti Korupsi 2019 di Bulungan
• Hari Anti Korupsi Sedunia 9 Desember, Iwan Fals Justru Berikan Ucapan Selamat Kepada Para Koruptor
• Bontang Tertinggi Kembalikan Kerugian Negara dan Paling Produktif Ungkap Kasus Korupsi
• Peringati Hari Anti Korupsi Internasional, Pegawai Kejari Kutai Kartanegara Bagi-bagi Stiker & Bunga
(*)