Sikapi Polemik RUU Omnibus Law, Akademisi Kalimantan Utara Sebut Masih Butuh Masukan dan Kajian
Dekan Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan (UBT), Yahya Ahmad Zein, mengatakan omnibus law pada dasarnya merupakan tradisi hukum di Eropa.
Penulis: Amiruddin | Editor: Mathias Masan Ola
TRIBUNKALTIM.CO, TANJUNG SELOR - Dekan Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan (UBT), Yahya Ahmad Zein, mengatakan omnibus law pada dasarnya merupakan tradisi hukum di Eropa.
Konsep omnibus law satu kesatuan undang-undang, yang di dalamnya mengatur banyak undang-undang berbeda.
Hal itu disampaikan Yahya Ahmad Zein, menanggapi polemik Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law, yang marak diperbincangkan.
"Sebetulnya sejarah lahirnya omnibus law, ini upaya mempermudah pemahaman terhadap satu undang-undang.
Selain itu, juga untuk mempermudah agar kita tidak terlalu banyak sekali regulasi," kata Yahya Ahmad Zein, kepada Tribunkaltim.co, Rabu (4/3/2020).
Yahya menambahkan konsep omnibus law lahir, karena terlalu banyak regulasi.
Bahkan kata dia, cenderung undang-undang atau regulasi di Indonesia saat ini sudah obesitas.
"Sering terjadi disharmonisasi antara aturan yang satu dengan yang lain, karena memang regulasi kita sudah obesitas," ujarnya.
• DPRD Kota Tarakan Sepakat Tolak RUU Omnibus Law, Bakal Surati DPR RI
• Sikapi Polemik RUU Omnibus Law, Gubernur Kaltara Irianto Lambrie Wacanakan Dialog Terbuka
Jika mencermati tujuan RUU Omnibus Law, kata dia, pada dasarnya sangat baik.
Namun harus diakui, ada sejumlah aspek yang masih butuh masukan.
"Saya melihat ada tiga aspek seperti RDTR, UU Pesisir dan tenaga kerja, yang butuh perhatian.
Memang ada beberapa pasal yang saya kira perlu dikaji lagi," tutur Yahya.
Makanya kata anggota TGUPP Kaltara tersebut, butuh kajian mendalam agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan.
Termasuk demi efektifitas berlakunya suatu regulasi.
"Ini kesempatan masyarakat memberikan masukan sebelum RUU itu diteken jadi UU.