Berpikir Benar antara Takut Virus Corona dan Takut Allah
SEJAK diumumkan bahwa Indonesia positif Corona, masyarakat mendadak panik setelah sebelumnya bersantai ria karena anggapan Indonesia kebal virus
Ustadz Felix Siaw di laman instagramnya pada 18 Maret lalu menulis, “Salat berjamaah itu istimewa, tapi bila Anda penderita TBC, hukumnya menjadi berbeda bagi Anda, salat berjamaah bisa jadi makruh bahkan haram, karena berpotensi menular
Apa yang bisa mengubah hukum salat berjama'ah yang tadinya sunnah menjadi haram?
Fakta. Darimana fakta ini? Dari para ahli, sebab mereka yang lebih tahu. Jadi, bukan Islam yang berubah, tapi fakta yang dihukumi yang berubah, karena itu berubah pula hukum fiqihnya. Dan Islam tak pernah menutup diri dari fakta”
Oleh karena itu aktifitas lockdown dan social distancing merupakan salah satu wujud rasa takut kepada Allah. Karena Allah melarang berbuat kerusakan di muka bumi dan kelak diakhirat Allah akan meminta pertanggung jawaban atas amanah berupa jasad/badan. Justru rasa takut itulah yang membuat seorang muslim akhirnya mengoptimalkan area yang dikuasainya.
Berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga kesehatan dan keselamatan nyawa seluruh manusia. Mulai dari level individu, masyarakat hingga pemimpin negara.
Dengan demikian dibutuhkan individu yang taat, masyarakat yang islami dan pemimpin yang amanah, menerapkan seluruh hukum Allah, untuk saling bersinergi menuntaskan masalah virus corona.
Khusus seorang pemimpin hendaknya serius mengurusi rakyatnya dengan segera mengambil kebijakan terbaik tanpa mengedepankan untung rugi. Apalagi memanfaatkan keadaan ini bersama para pengusaha untuk mengkomersialkan kesehatan semisal masker dan vaksin.
Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus. (HR alBukhari dan Ahmad). (*)
Oleh: Dewi Murni
Aktivis Dakwah Pena, Praktisi Pendidikan di Balikpapan