5 Gejala Korupsi Jamrek dan Pascatambang, Ini Penjelasan Herdiansyah Hamzah Dosen Hukum dari Unmul
Penempatan jaminan reklamasi (jamrek) dan pascatambang dinilai semrawut. Ada lima gejala, sehingga dugaan korupsi rentan
"Di Kalimantan Timur, rumah saya sendiri, tempat saya berpijak, rumah besarnya adalah Indonesia, lubang-lubang tambang yang tidak direklamasi itu, sudah membunuh 37 orang yang mayoritas adalah anak-anak. Pertanyaannya adalah, kenapa lubang-lubang tambang itu dibiarkan menganga?," lanjut Castro.
Ketiga, ketidakpatuhan hukum. Hingga kini 37 nyawa manusia yang hilang di bekas galian lubang tambang, tidak diproses secara hukum.
Dari 37 kasus yang berlangsung sejak tahun 2011 tersebut, hanya satu kasus yang dibawa dan diputus oleh pengadilan.
Itupun hanya menyeret security kontraktor, dengan vonis 2 bulan dan biaya perkara 1000 rupiah. Bayangkan, nyawa manusia dibayar dengan 1000 rupiah?
Di samping itu, pemegang IUP juga tidak tersentuh. Padahal Pasal 125 UU 4/2009 tentang Minerba, secara eksplisit menyebut bahwa, “Dalam hal pemegang IUP atau IUPK menggunakan jasa pertambangan, tanggung jawab kegiatan usaha pertambangan tetap dibebankan kepada pemegang IUP atau IUPK”. Bahkan yang paling menyedihkan, kengganan aparat kepolisian memproses kasus-kasus ini karena alasan yang tidak rasional.
Mulai dari alasan tali asih, surat pernyataan tertulis orang tua korban, hingga korban adalah penyandang disabilitas.
Padahal Convention On The Rights Of Persona With Disabilities (Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas), yang telah diratifikasi oleh Negara kita melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011, secara eksplisit menegaskan bahwa tidak boleh sama sekali ada perlakuan yang berbeda dihadapan hukum, kepada para penyandang disabilitas.
Dalam kacamata hukum pidana, hilangnya nyawa manusia ini dapat dimasukkan ke dalam kategori kelalaian/kealpaan (culpa), sebagaimana ketentuan Pasal 359 KUHP, yang menyatakan bahwa “Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”.
Kealpaan atau kelalaian disini merujuk kepada 2 hal : Pertama, kelalaian akibat tidak dilaksanakannya kewajiban penanggungjawab usaha sebagaimana yang telah diperintahakan undang-undang, khususnya reklamasi dan pascatambang.
"Artinya, tidak dilakukannya reklamasi dan pascatambang inilah, yang mininggalkan lubang yang kemudian menyebabkan hilangnya nyawa manusia. Kedua, tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian dari penanggungjawab usaha terhadap pelaksanaan kewajiban reklamasi dan pascatambang," kata Castro.
Seperti diketahui, masih pemaparan Castro, dalam kasus ini tidak ditemukan rambu tanda berbahaya dan pagar pembatas disekitar lokasi kejadian, sebagaimana yang telah diatur dalam Keputusan Menteri Pertambangan Dan Energi Nomor : 555.K/26/M.PE/1995.
Di samping itu, jarak lubang tambang juga tidak memenuhi ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara, yang mengharuskan minimal 500 meter jarak tepi lubang galian dari pemukiman warga.
Dalam kacamata hukum administrasi, bahkan konsesi-konsesi pertambangan yang wilayah konsesinya menyebabkan hilangnya nyawa manusia tersebut, tidak diberikan sanksi apa-apa oleh Pemerintah sebagai pemegang otoritas.
Keempat, lemahnya pengawasan. Ketaatan penempatan jaminan reklamasi dan pascatambang, termasuk upaya hukum terhadap pemegang konsesi yang abai dengan kewajiban reklamasi dan pascatambang, adalah bagian dari “gagalnya” pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah. Ada ujar-ujar (maxim) yang mengatakan bahwa, “jika kita membiarkan kejahatan terjadi dimana-mana, lumpuhkan pemgawasnya”.
Ibarat KPK sekarang, dilumpuhkan secara sistematis, tentu bertujuan agar para koruptor, teman-temannya koruptor, dan yang akan jadi koruptor dikemudian hari, dalam melakukan kejahatan korupsi secara terbuka dan massif. Memang ada persoalan dengan desain pengawasan terhadap kewajiban reklamasi dan pascatambang ini.