Memetik Surga di Puncak Keramat Gunung Karst Mengkuris Kutai Timur
Ada telapak tangan menampar dadaku berkali-kali namun tidak sakit. Namun cukup membuat mata terbuka
Penulis: Muhammad Fachri Ramadhani | Editor: Samir Paturusi
Di antara pepohonan tropis, bebatuan tajam jadi sajian utama pada jalur menuju puncak Gunung Karst Mengkuris. Medan terjal jadi tantangan pelengkap yang harus dihadapi pendaki.
Beruntung. Keberadaan rotan panjang yang menjulur di beberapa titik sedikit memudahkan pendakian. Namun, tak banyak. Di beberapa medan sulit, pendaki mengandalkan ulurun tangan rekan yang berada di depan mereka masing-masing.
Untuk melemaskan kesunyian dan ketegangan, beberapa kawan mencoba untuk cairkan suasana. Bergurau. Namun benar-benar, Pak Minggu yang berada di garis paling depan beberapa kali melontarkan peringatan kepada rombongan agar tetap fokus kepada pendakian.
Memang masuk akal. Semakin ke atas medan bukan semakin landai. Benar saja apa kata Pak Minggu saat di kaki gunung, jurang panjang menanti pendaki bila lengah dan tak konsentrasi. Jarak jurang dengan sepatu hanya berkisar 2 jengkal telapak tangan.
Pendakian sempat sekali terhenti. Beberapa orang mengaku kehabisan nafas. Sekira 10 menit kami memutuskan istirahat. Ujar Pak Minggu, puncak Gunung Karst Mengkuris tak jauh dari posisi Tim Ekspedisi istirahat. Informasi itu membuat lutut seketika langsung kuat.
Perjalanan berlanjut. Tak sampai 10 menit. Akhirnya rombongan jurnalis dari Bontang dan Samarinda itu sampai ke puncak. Nafas kelegaan terasa di setiap mulut para pendaki.
Puncak Gunung Karst Mengkuris tak terlalu luas. Namun untuk menampung badan 16 orang masih cukup lengang. Setidaknya 47 menit Tim Ekspedisi ini menorehkan catatan waktunya naik ke puncak. Memang tergolong cepat, hal itu diakui Pak Minggu saat berada di atas puncak.
"Lumayan cepat kita tadi mendaki. Nah, sekarang hati-hati, jangan terlalu ke pinggir. Itu jurang dalam. Duduk santai saja di tengah, sambil menunggu pagi," tuturnya.
Semua pendaki mencari posisi terbaik dalam keadaan masih gelap. Semua memanjang ke arah timur. Duduk di alas batuan karst.
"Perih tangan. Seperti luka sayat gitu di jari-jari ini. Batuan karst itu, kan, memang tajam, ya. Sementara kita nanjak bertumpu dengan mencengkran mereka, " kata Irwan Wahidin, Suport Local Tim Ekspedisi sambil memamerkan jarinya yang luka.
Tiga puluh menit sebelum langit benar-benar menerangi puncak gunung. Orang-orang tampak memunguti cerita pendakian. Saling bertukar cerita. Suhu dingin berubah hangat hanya dengan obrolan.
Ada pula yang sibuk persiapkan kopi panas, dengan senter mereka masih setia menyala di kepala. Sebagian ada yang penasaran menyenter ke arah sekeliling puncak, menerka-nerka pemandangan apa yang bakal didapat saat terang.
Waktu yang ditunggu tiba. Semua mata terperangah. Semesta memamerkan kemolekannya dari atas puncak Gunung Karst Mengkuris.
Bentang kemegahan pegunungan Karst persis berada di hadapan mata. Cadasnya bukit karst tampal digelayuti hijau pepohonan. Mereka bak sepasang kekasih yang berpautan mesra di pagi bening kala itu.
Gulungan kabut yang melayang di udara seperti gula kapas, menambah kemanisan hijaunya belantara hutan tropis. Setiap detiknya, kabut semakin menggila. Ia mengisi setiap ruang kosong pada lembah hutan.