SERU Mata Najwa Bahas Omnibus Law, Najwa Shihab Sindir Puan Maharani: Saya Tak akan Matikan Mic Anda
Mengangkat tema Mereka-reka Cipta Kerja, Najwa Shihab mengundang enam narasumber.
TRIBUNKALTIM.CO - Acara Mata Najwa berlangsung seru dengan membahas Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Mengangkat tema Mereka-reka Cipta Kerja, Najwa Shihab mengundang enam narasumber.
Mereka adalah Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal ( BKPM) Bahlil Lahadalia, dan Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani yang dianggap berada di posisi pro Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Ketiga narasumber lainnya yang dianggap mengkritik Omnibus Law adalah Ekonom Faisal Basri, Ledia Hanifa Amalia Anggota Baleg DPR Fraksi PKS, dan Haris Azhar Direktur Eksekutif Lokataru.
• Bukan Omnibus Law, ILC TV One Tak Bahas RUU Cipta Kerja yang Disahkan, Karni Ilyas: Kami Tak Menduga
• Dilaporkan Gara-gara Wawancara Kursi Kosong, Dewan Pers Anggap Najwa Shihab tak Langgar Kode Etik
• Kecewa Partai Dukung UU Omnibus Law, Ketua PAN Jabar Mundur Sebagai Pengurus dan Kader
• Mengungkap Muslihat Pasal‑pasal Pangan dalam UU Omnibuslaw Cipta Kerja
Perdebatan langsun seru sejak awal acara dimulai.
Di sesi awal, perdebatan langsung terjadi antara Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas dan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar.
Perdebatan bermula saat Najwa Shihab bertanya kepada Haris terkait tudingannya bahwa UU Cipta Kerja telah terjadi kecurangan proses legislatif.
Haris pun menjelaskan mengapa ia menyebut telah terjadi kecurangan proses legislasi dalam pengesahan RUU Cipta Kerja itu,
Menurutnya DPR tidak menjalankan prosedur dalam Peraturan Perundang-undangan.
"Proses salah satunya soal harus berkonsultasi. Harus turun ke masyarakat dan ketemu para ahli," tutur Haris.
"Kalau ngomongin untuk kepentingan parlemen, ingat UU ini untuk 260 juta lebih (rakyat) yang ada di Indonesia," tutur Haris.
Hal tersebut ditimpali santai oleh Supratman. Dia mengatakan bahwa Haris selalu merasa benar.
"Ini rapat panja yang dari awal sampai akhir terbuka. Namun bukan kami harus menghubungi satu dua orang. Bukan begitu. Konsultasi publik juga kami lakukan itu," tandas Supratman.
"Tapi Haris ini kan selalu benar. Selalu merasa benar," kata Supratman lagi.
Perdebatan pun semakin sengit.
Haris lalu menegaskan, bahwa yang diungkapkan Supratman belum soal SOP Undang-undang.
"Dari tadi dia ga bicara standarnya. Dia puji-puji Jokowi saja," kata Haris.
Lalu Haris dan Supratman pun saling berebut bicara.
Najwa Shihab kemudian menengahi dengan meminta kedua orang ini tenang.
"Bapak-bapak, saya minta untuk tenang dulu. Saya tidak akan mematikan mic Anda berdua, karena Anda berdua berhak untuk ngomong. Karena saya mengundang Anda berdua," ujar Najwa seraya tersenyum.
Ucapan tersebut seolah menyindir pimpinan DPR Puan Maharani yang mematikan mic saat Fraksi Demokrat menyampaikan kritiknya terhadap UU Omnibus Law.

• Tertangkap Kamera, Puan Maharani Matikan Mik Anggota Fraksi Demokrat saat Pengesahan RUU Omnibus Law
• NEWS VIDEO Video Puan Maharani Matikan Mikrofon saat Fraksi Demokrat Interupsi Viral
Saat itu, Fraksi Demokrat menyampaikan pandangan terkait Omnibus Law Ciptaker. Fraksi Demokrat diwakili Sekretaris Fraksi Demokrat, Marwan Cik Hasan.
Rupanya Marwan melewati batas waktu berbicara di podium. Pimpinan rapat mengambil tindakan. Mikrofon Marwan dimatikan sepihak.
"Kami mencermati ada sejumlah persoalan mendasar dari RUU Ciptaker ini...," ucap Marwan lalu mikrofon mati.
Alasan Pemerintahan Jokowi Dukung UU Cipta Kerja Meski Banjir Protes Serikat Karyawan/Buruh
Alasan pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi 'paksakan' omnibus law RUU Cipta Kerja disahkan, ternyata ini tujuannya.
Di tengah lantangnya penolakan berbagai elemen masyarakat sipil, omnibus law RUU Cipta Kerja resmi disahkan menjadi undang-undang melalui rapat paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020).
UU Cipta Kerja terdiri atas 15 bab dan 174 pasal.
Di dalamnya mengatur mengenai ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup.
Pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan alasan pentingnya RUU Cipta Kerja.
RUU Cipta Kerja diperlukan untuk meningkatkan efektivitas birokrasi dan memperbanyak lapangan kerja.
Menurut dia, RUU Cipta Kerja akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah.
"Kita memerlukan penyederhanaan, sinkronisasi, dan pemangkasan regulasi. Untuk itu, diperlukan UU Cipta Kerja yang merevisi beberapa undang-undang yang menghambat pencapaian tujuan dan penciptaan lapangan kerja," ujar Airlangga Hartarto.
"UU tersebut sekaligus sebagai instrumen dan penyederhanaan serta peningkatan efektivitas birokrasi," lanjut dia.
Sementara itu, Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan, UU Cipta Kerja akan mampu membangun ekosistem berusaha yang lebih baik.
Menurut Puan, pembahasan UU Cipta Kerja yang dimulai DPR dan pemerintah sejak April hingga Oktober dilakukan secara transparan dan cermat.
Dia menegaskan, muatan UU Cipta Kerja mengutamakan kepentingan nasional.
"RUU ini telah dapat diselesaikan oleh pemerintah dan DPR melalui pembahasan yang intensif dan dilakukan secara terbuka, cermat, dan mengutamakan kepentingan nasional, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang," kata dia.
Kompas.com mencatat beberapa pasal bermasalah dan kontroversial dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja, di antaranya sebagai berikut:
Pasal 59
UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
Pasal 59 ayat (4)
UU Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan peraturan pemerintah.
Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.
Pasal 79
Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan dipangkas.
Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan.
Selain itu, Pasal 79 juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.
Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.
Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Kemudian, Pasal 79 ayat (5) menyebutkan, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
• KABAR GEMBIRA! Daftar Bantuan Online Selain Prakerja, Cara Buat Kartu Prakerja, Bocoran Gelombang 11
• Kenangan Pilpres 2019, Siapa 9 Naga Penguasa Ekonomi Indonesia, Nasibnya? Dulu Disorot Tim Capres 02
• TERJAWAB SOSOK Singgung 9 Naga di Pilpres 2019, Siapa 9 Naga Konglomerat Indonesia & Nasibnya Kini?
• Kota Tarakan jadi Pilot Project Penukaran Minyak Jelantah dengan Emas, Hitungan Minimal Rp 10.000
Pasal 88
UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja.
Pasal 88 Ayat (3) yang tercantum pada dalam Bab Ketenagakerjaan hanya menyebut tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 dalam UU Ketenagakerjaan.
Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Pasal 88 Ayat (4) kemudian menyatakan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah".
Pasal-pasal UU Ketenagakerjaan yang dihapus
Aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja.
Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.
Namun, dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya.
Selain itu, UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan.
Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan, di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam.
Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih.
Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156.
Namun, Pasal 169 ayat (3) menyebutkan, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja.
Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta Kerja. (TribunKaltim.Co/Rita)